Mendorong Hutan Adat di Talang Kemuning dan Bintang Marak

 

Perubahan administrasi pemerintahan dari pemerintahan adat menjadi pemerintahan desa di beberapa daerah, tidak diikuti dengan perubahan pranata sosial budaya di tengah masyarakat. Perubahan hanya terjadi pada batasan administrasi formal, sedangkan pranata sosial budaya sepenuhnya dalam kerangka hukum adat. Salah satu contoh dari kejadian ini ada di Desa Talang Kemuning dan Bintang Marak, dua desa ini adalah satu kesatuan adat yang disebut dengan Adat Depati Nyato. Ciri khas dari masyarakat adat adalah masih berjalannya kelembagaan adat, ritual adat yang terjaga, tata-aturan adat masih berjalan dengan baik, khususnya dalam tata pergaulan, pernikahan, dan pengelolaan sumberdaya alam.

Hal yang menarik untuk kita cermati adalah tentang pengelolaan sumberdaya alam di desa. Depati, Ninik Mamak, dan pemangku adat memiliki wewenang dalam mengajun dan mengarah atau penyebutannya adalah ajun arah, ini adalah tradisi pengaturan pola ruang adat, daerah hulu air, persawahan, dan pemukiman. Dalam menentukan ajun arah, hutan (tanah ulayat) tidak diajunarahkan baik karena sebagai kawasan lindung adat maupun cadangan lahan untuk anak cucu. Kawasan ini dilindung oleh Adat Depati Nyato, mereka sadar jika ada kerusakan ekologi di kawasan maka juga akan menimbulkan bencana bagi mereka.

Sebelum berstatus hutan adat, kawasan hutan ini masuk dalam kategori ajun arah lokasi perladangan dan sebagian kawasannya masuk di dalam Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), kemudian areal yang beririsan tersebut dikeluarkan dari TNKS setelah resolusi konflik dan dinyatakan sebagai Hutan Produksi Pola Pemanfaatan Masyarakat (HP3M) oleh Pemda Jambi. Hasil survey dan studi dari WARSI bersama masyarakat menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat menginginkan kawasan tersebut dilindungi untuk fungsi kelestarian. Hasil survey ini kemudian dijadikan bahan musyawarah, dimana dalam musyawarah ini diputuskan bahwa hutan tersebut diperkuat statusnya menjadi hutan adat.

Perlu mendapat perhatian kita, walaupun lembaga adat di suatu desa berjalan sebagaimana mestinya, terkadang kurangnya kerjasama dan koordinasi antara lembaga adat dan lembaga desa bisa berakibat fatal terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan menciderai hukum adat yang berlaku. Kasus di desa ini adalah kades mengeluarkan beberapa SKT pembebasan lahan untuk akses tanpa melibatkan Depati Ninik Mamak dan kades Talang Kemuning, mengeluarkan SKT hutan atas nama perseorangan padahal kades tidak punya kewenangan untuk hal itu, dan tidak adanya itikad-baik untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah.

Permasalahan berikutnya yang muncul adalah klaim atas sahnya proses transaksi tersebut, menurut masyarakat Depati Nyato tidak sah, tetapi pengembang mengaku bahwa prosesnya sah. Upaya adat dari Ninik Mamak dan empat unsur adat lainnya untuk meluruskan dan menjelaskan duduk perkara ditolak oleh para pelaku, hingga akhirnya dibawa ke ranah hukum formal. Beberapa hal yang dipermasalahkan oleh adat adalah: pengembang masuk ke wilayah adat tidak melalui adat dan tidak menghormati aturan adat, pengembang tidak mensosialisasikan kegiatan secara transparan, pembebasan lahan secara sepihak, adanya jual beli lahan di kawasan hutan adat oleh oknum secara sembunyi-sembunyi sehingga menimbulkan gejolak sosial di masyarakat, pengembang kurang kooperatif dalam menyelesaikan masalah.

Melihat kasus di atas, menjadi pembelajaran bagi kita semua, walaupun areal kawasan sudah mendapatkan status resmi sebagai kawasan hutan adat, masih banyak tantangan di depan untuk mempertahankannya. Kedua, adanya lembaga adat resmi di masyarakat ternyata bisa saja dilewati dan tidak dianggap oleh pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan kepentingannya. Permasalahan bisa saja datang dari dalam masyarakat atau dari luar. Hal yang perlu diperhatikan dan diperkuat dalam pengelolaan hutan adat adalah adanya kesamaan cita-cita dalam pemahaman dan pengelolaan hutan adat. Tidak adanya kesamaan cita-cita membuat beberapa pihak tidak peduli dengan status kawasan sebagai apa dan di bawah pengelolaan siapa. Dalam hal ini, posisi pemerintah adalah menjadi jembatan dan penengah antara pihak yang bersengketa. Penyelesaian kasus ini akan menjadi cerminan atas masalah serupa yang mungkin timbul kemudian hari di wilayah lain.

 

Tulisan ini disarikan dari karangan Nopri Hidayat yang berjudul “Mendorong Hutan Adat di Talang Mamak dan Bintang Marak” di dalam buku  “Sekelumit Kisah Lapangan: Mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat” yang diterbitkan oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warsi.

Foto oleh Suar Indonesia

Ditulis : Ridwan F (Staf Dit. Kemitraan Lingkungan)

Editor : Nurhayati (Jafung Madya Dit. Kemitraan Lingkungan)

Ramah Tamah dengan Sahabat Bekantan Indonesia

9 Juni 2022, Direktorat Kemitraan Lingkungan kedatangan tamu istimewa dari Kalimantan Selatan (Kalsel) yaitu anggota Sahabat Bekantan Indonesia (SBI). Pertemuan ini menjadi istimewa karena SBI merupakan salah satu penerima penghargaan Kalpataru 2022 dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Rombongan SBI didampingi oleh perwakilan dari pemerintah daerah Kalsel dan diterima di KLHK oleh Direktur Kemitraan Lingkungan.

Sedianya, pada tanggal 9 Juni 2022 ada acara serah terima penghargaan Kalpataru, karena satu dan lain hal maka acara tersebut diundur. Tetapi keadaan yang mendadak ini tidak menyurutkan semangat para anggota SBI yang datang jauh-jauh dari Pulau Kalimantan, kegembiraan itu tampak dari binar mata mereka yang tidak bisa disembunyikan.

Menarik untuk diperhatikan dan dijadikan bahan refleksi, anggota dari SBI adalah anak-anak muda, semangat dan usaha mereka patut dicontoh oleh anak-anak muda dari seluruh Indonesia. Sebenarnya Indonesia membutuhkan lebih banyak aksi-aksi dari anak muda seperti mereka di berbagai bidang.

Dalam ramah tamah dan diskusi terbuka dengan pegawai Direktorat Kemitraan Lingkungan, Kak Amalia (ketua yayasan), meluapkan kegembiraannya “Alahmdulillah, pada akhirnya, we did it setelah sekian lama.” SBI telah melaksanakan kegiatan menyelamatkan bekantan sejak 2012, berarti sudah hampir 10 tahun. Mereka memang pantas diganjar penghargaan Kalpataru oleh pemerintah.

Direktur Kemitraan Lingkungan, Jo Kumala Dewi, memberikan ucapan selamat secara langsung serta menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh anggota SBI atas berbagai usaha yang sudah dilakukan untuk menyelamatkan bekantan di Kalsel. Usaha yang dilakukan diantaranya adalah membuat konservasi bekantan, restorasi bakau rambai untuk habitat alami bekantan, dan eco-wisataa bekantan.

Diskusi pada siang itu juga membahas berbagai rencana kerjasama dan berbagai kemungkinan kolaborasi lain yang bisa dilakukan oleh anak-anak muda dan pemerintah. Kak Jo juga menyampaikan bahwa SBI harus mereplikasi kegiatannya tersebut di tempat lain, replikasi merupakan mandat dari Negara bagi setiap penerima penghargaan Kalpataru, yang dalam prosesnya difasilitasi oleh pemerintah.

Melihat penerima penghargaan Kalpataru yang sangat banyak, terutama di Pulau Kalimantan, Jo Kumala Dewi mengingatkan pentingnya kolaborasi antar penerima Kalpataru di Kalimantan. Penerima melakukan kolaborasi yang nantinya bisa memberikan pengaruh lebih luas tentang pentingnya menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan dan alam.

Penerima Kalpataru, harapannya, juga menginisiasi berbagai kelompok anak muda yang konsen di bidang lingkungan untuk dapat bergerak bersama. Gerakan anak-anak muda memang kecil, tetapi jika dilakukan bersama-sama dan konsisten akan menjadi gerakan yang besar dan berdampak luas. Kak Jo menyampaikan “kegiatan-kegiatan lingkungan memang harus dimulai dari hal-hal kecil dan dari diri sendiri”.

Sahabat SBI siap melakukan aksi selanjutnya di lapangan, dan berkolaborasi dengan berbagai pihak dan  ternyata sangat banyak yang bisa dilakukan untuk kegiatan-kegiatan lingkungan. Kami menantikan kiprah SBI yang lebih luas untuk kelestarian lingkungan dan alam.

Ditulis : Ridwan F (Staf Dit, Kemitraan Lingkungan)

Editor : Nurhayati (Jafung Madya Dit. Kemitraan Lingkungan)

Bekantan dan Anak Muda: Menolak Punah

Berdasarkan laporan yang disediakan oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2022, total spesies hewan Indonesia yang terancam ada 1.225 spesies. Dari jumlah tersebut, 192 di antaranya sangat terancam punah, 361 terancam punah, dan 672 rentan terancam punah. Sementara itu, 3 spesies sudah dinyatakan punah.

 

Pada tahun 2000, bekantan (nasalis larvatus) yang berhabitat di hutan bakau, rawa dan hutan panti dikategorikan sebagai hewan dengan status endangered atau terancam punah oleh IUCN. Hewan endemik Kalimantan yang dikenal pemalu dan pandai berenang ini telah menjadi fauna maskot Kalimantan Selatan sejak tahun 1990. Adanya konflik dengan manusia seperti konversi lahan dan degradasi habitat serta sulitnya perkembangbiakan di habitat asli ditengarai menjadi alasan bekantan terancam punah.

Keresahan ini membuat Pusat Studi & Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Biodiversitas Indonesia) untuk mendirikan Komunitas Sahabat Bekantan Indonesia (SBI). Komunitas ini dibentuk dalam rangka membantu pemerintah dalam upaya perlindungan bekantan di Prov. Kalimantan Selatan. Tujuannya adalah sosialisasi untuk pelestarian dan perlindungan bekantan, pencegahan dan penghentian perburuan serta perdagangan bekantan, dan konservasi secara in-situ dan ex-situ. Ada tiga kegiatan besar yang sedang dilakukan SBI dalam upaya melindungi dan melestarikan bekantan yaitu:

  1. Konservasi, dengan mendirikan pusat rehabilitasi di Kota Banjarmasin dan stasiun riset bekantan di Pulau Curiak.
  2. Restorasi mangrove rambai melalui mangrove rambai center. Hingga 2021 sudah menanam 1.100 lebih mangrove rambai kurang lebih seluas 10 Ha.
  3. Mengembangkan eco-wisata bekantan.

Menariknya, Yayasan SBI yang didirikan sejak tahun 2012, sebagian besar anggotanya adalah ana-anak muda pada tingkat perguruan tinggi. Perhatian dan waktu yang diberikan oleh anak-anak muda terhadap kelestarian alam Indonesia perlu mendapat apresiasi setinggi-tingginya dari berbagai pihak dalam berbagai bentuk. Mereka adalah penerus yang akan menjaga tanah air Indonesia yang kaya akan flora dan fauna, sangat disayangkan jika generasi berikutnya hanya mengetahi flora dan fauna yang telah menjadi sejarah melalui foto dan video tanpa tahu bentuk nyatanya di alam.

Pada tahun 2022, SBI dianugerahi penghargaan Kalpataru kategori Penyelamat. Salah satu dari 10 penerima penghargaan Kalpataru tahun 2022. Penerima penghargaan bukanlah pemenang, melainkan sebuah apresiasi tertinggi Pemerintah Indonesia kepada masyarakat yang berjasa terhadap kelestarian alam dan lingkungan. Harapannya, bahwa dari seluruh penerima Kalpataru bisa menjadi dan memberi contoh serta dan mengajari dalam melakukan pola-pola kegiatan kelestarian alam dan lingkungan.

Selain penerima penghargaan Kalpataru, di seluruh Indonesia, ada ribuan anak muda yang peduli dengan isu-isu lingkungan. Dalam kelompok-kelompok kecil sefrekuensi, mereka bergerak bahu-membahu melakukan  kampanye dan aksi kegiatan menjaga alam dan lingkungan. Dari mereka kita belajar bahwa menjaga kelestarian alam dan lingkugan bisa dimulai dari diri sendiri dan melalui hal-hal kecil.

Ditulis : Ridwan F (Staf Dit, Kemitraan Lingkungan)

Editor : Nurhayati (Jafung Madya Dit. Kemitraan Lingkungan)

Sumber:

https://www.iucnredlist.org/

https://www.bekantan.org/

https://kmisfip2.menlhk.go.id/news/detail/554

SEJARAH KALPATARU

Bangsa Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat melimpah, maka kelestarian alamnya pun menjadi tanggungjawab semua elemen masyarakat. Sejak 1980, Pemerintah Indonesia memberikan Penghargaan Kalpataru kepada meraka yang berjasa dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Hingga tahun 2022, sudah ada 408 penerima Penghargaan Kalpataru yang tersebar di seluruh Indonesia. Penghargaan Kalpataru adalah penghargaan yang diberikan kepada mereka, baik individu, maupun kelompok, yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan, dan membina perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan.

Relief Kalpawreksa atau Kalpataru di Candi Pawon yang dijaga Kinnara-Kinnari, Apsara, dan Dewata

Relief Kalpataru di Candi Prambanan yang diapit Kinnara-Kinnari

Berdasarkan asal-usulnya, Lambang Kalpataru merujuk kepada relief pohon yang terdapat di Candi Mendut, relief ini juga ditemukan di Candi Pawon, Candi Prambanan, dan Candi Borobudur, Jawa Tengah. Secara bahasa, pohon ini bernama Kalpawreksa (aksara Dewanagari), Kalpavṛkṣa (International Alphabet of Sanskrit Transliteration, IAST), atau Kalpataru, Kalpadruma, dan Kalpapāda. Istilah Kalpataru banyak di singgung dalam kitab kesusateraan India awal, misalnya Kitab Purana, Ramayana, Buvanakosa, Vayupurana, Meghaduta, dan Bhanabata. Namun dalam dokumen Sansekerta tidak menyebutkan secara spesifik atau menghubungkannya dengan pohon tertentu. Di Nusantara, Sumber tertulis pertama yang menyebutkan istilah kalpataru kemungkinan besar adalah prasasti berbentuk yupa peninggalan Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai. Selanjutnya cerita Tantu Panggelaran menyinggung suatu tempat bernama Hiranyapura yang dipenuhi dengan kalpataru. Penyebutan istilah kalpataru dan yang sejenis, juga terdapat dalam kitab Udyogaparwa, Brahmandapurana, Ramayana, Arjunawiwaha, dan Hariwijaya.

Relief Kalpataru di Candi Mendut bersama dengan dua bidadari, Harītī, dan Āţawaka

Relief Kalpataru di Candi Borobudur

Pada relief candi, penggambaran kalpataru selalu bertumpu pada lima ciri utama, yaitu binatang pengapit, jambangan bunga, untaian manik-manik atau mutiara, payung, dan burung. Binatang pengapit merupakan simbol dari pohon agar tetap suci dan jauh dari gangguan setan. Jambangan bunga merupakan simbol kekayaan, kemakmuran, dan kesuburan. Hal ini digambarkan oleh untaian manik-manik atau mutiara. Payung merupakan simbol kesucian. Sedangkan burung Kinnara-Kinnari (makhluk berwujud setengah manusia dan setengah burung) adalah makhluk penjaga pohon dan sekaligus lambang kehidupan.

Kalpataru merupakan gambaran pohon kahyangan, yang penuh dengan bunga-bunga, baik yang mekar maupun yang masih kuncup. Pada beberapa bunga yang mekar, di tengah-tengah mahkotanya yang terbuka menjuntai mutiara dan manik-manik. Bunga-bunga dan dedaunan tersusun dalam pola setangkup, membentuk gumpalan padat yang sedikit cembung, seakan menyembul dari sebuah vas bunga yang membentuk bagian batang pohon. Dalam mitologi Hindu, artinya adalah pohon yang mengabulkan permintaan. Pohon ini mencerminkan suatu tatanan lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang serta merupakan tatanan yang menggambarkan keserasian hutan, tanah, air, udara, dan makhluk hidup. Pada akhirnya, relief dan nama Kalpataru dipakai pemerintah dalam memberikan penghargaan kepada mereka yang memberikan sumbangsih pada kelestarian dan keberlanjutan alam Indonesia.

Ditulis: Ridwan

Editor: Andreas

Sumber:

  • Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.30/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2017 Tentang Penghargaan Kalpataru
  • Tim Kalpataru 2020, Penghargaan Kalpataru 2020, Direktorat Kemitraan Lingkungan: Jakarta, 2020.
  • https://www.museumnasional.or.id/relief-kalpawreksa-3812
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Kalpataru_(penghargaan)
  • https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kalpawreksa&tableofcontents=1
  • http://p3ejawa.menlhk.go.id/article22-kalpataru-penghargaan-tertinggi-bagi-pejuang-lingkungan.html#:~:text=Sejarah%20Penghargaan%20Kalpataru&text=untuk%20para%20pahlawan%20lingkungan%20hidup,jasanya%20pada%20usaha%20pelestarian%20lingkungan
  • https://www.kompas.com/stori/read/2022/02/09/130000979/penghargaan-kalpataru-sejarah-makna-dan-kategorinya?page=all
  • https://www.facebook.com/TWCMEDIAA/posts/relief-pohon-kalpataru-di-candi-prambananselain-keberadaan-garuda-pada-kompleks-/2584275141647804/
  • http://borobudurpedia.id/kalpataru/

Wamen LHK: FoLU Net-Sink 2030, Langkah Maju Indonesia untuk Penanganan Perubahan Iklim

SIARAN PERS
Nomor: SP.130 /HUMAS/PPIP/HMS.3/05/2022

Keseriusan Indonesia untuk urusan penanganan isu perubahan iklim, tergambar pada inisiasi “Indonesia FoLU Net-Sink 2030”. Komitmen ini merupakan pencanangan pencapaian penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya atau FoLU (Forestry and other Land Use). Suatu kondisi dimana tingkat serapan sudah berimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi sektor FoLU terkait pada tahun 2030.

Langkah maju dari sektor FoLU salah satunya adalah dengan keluarnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 168 tentang FoLU NetSink 2030 untuk pengendalian perubahan iklim pada tanggal 24 Februari 2022.

“Melalui Kepmen LHK Nomor 168 Tahun 2022 ini, pemerintah menunjukkan keseriusan untuk mengusung konsep ‘Indonesia FoLU Net Sink 2030’ sebagai sebuah pendekatan dan strategi dimana pada tahun 2030, tingkat serapan emisi sektor FoLU ditargetkan sudah berimbang atau lebih tinggi dari pada tingkat emisinya (Net Sink),” demikian disampaikan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong dalam webinar Green Economy Indonesia Summit 2022: The Future Economy of Indonesia, Rabu (11/05), di Jakarta.

Selanjutnya, dikatakan Alue Dohong setelah 2030 Sektor FoLU ditargetkan sudah dapat menyerap GRK bersamaan dengan kegiatan  penurunan emisi GRK dari aktivitas transisi energi atau dekarbonisasi serta kegiatan eksplorasi sektor lainnya, tidak terkecuali sektor pertanian.

“Dengan komitmen sektor FoLU yang ditargetkan dapat menurunkan hampir 60% dari total target penurunan emisi nasional, diharapkan ini dapat menjadi pondasi atau landasan untuk mencapai netral karbon/net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat,” tegas Alue Dohong dalam webinar yang diikuti lebih dari 2.500 peserta secara virtual.

Di samping FoLU, Pemerintah juga telah menyusun Strategi Implementasi NDC pada tahun 2017, ditindak-lanjuti dengan penyusunan Road Map NDC Mitigasi pada tahun 2019. Pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia juga menyampaikan update NDC dan menyusun strategi jangka panjang pembangunan rendah karbon berketahanan iklim (Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050 atau LTS-LCCR 2050) dan telah disampaikan ke Sekretariat UNFCCC pada Juli 2021 sebelum pelaksanaan COP 26 UNFCCC di Glasgow pada November 2021 kemaren. Penyampaian ini sesuai dengan Keputusan 1/CP.21 Pasal 4 Ayat 19 UNFCCC, yang memandatkan negara yang meratifikasi Paris Agreement untuk menyusun rencana jangka panjang rendah emisi karbon berketahanan iklim (LTS-LCCR).

“Bapak Presiden Jokowi juga telah menyampaikan target Indonesia untuk mencapai Net-Zero Emission pada tahun 2060 atau sedapat-dapatnya lebih awal. Arahan Bapak Presiden kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sangat jelas, bahwa kita menjanjikan yang bisa kita kerjakan, tidak boleh hanya retorika, karena kita bertanggung jawab pada masyarakat kita sendiri sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” tegasnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato yang hadir sebagai pembicara kunci dalam webinar ini, menyampaikan bahwa pengendalian perubahan iklim juga menjadi bagian dari agenda G20, dimana salah satunya adalah transisi energi.

“Di dalam transisi energi terkait juga dengan pembangunan rendah karbon. Pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan selain untuk upaya pencapaian target penurunan emisi juga perolehan dukungan finansial yang bisa mempercepat energi rendah karbon,” ungkap Airlangga.

Selain transisi energi, dikatakan Airlangga, untuk pembangunan lain berbasis hijau, pemerintah juga mendorong carbon capture dan storage. Pembangunan ini termasuk di dalamnya industri berbasis gasifikasi seperti yang ada di Sumsel dan Kaltim, dan akan dibangun prototype carbon capture dan storage di Pulau Jawa.

“Diharapkan kita bisa menghitung nilai serapan karbon yang dihasilkan sehingga target penurunan emisi 29% tahun 2030 dapat segera tercapai,” jelas Airlangga.

Turut hadir dalam webinar ini Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ego Syahrial, Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR Diana Kusumastuti, Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri Kemenperin Doddy Rahadi, dan perwakilan dunia usaha serta peserta webinar.

Sumber: https://www.menlhk.go.id/site/single_post/4769/wamen-lhk-folu-net-sink-2030-langkah-maju-indonesia-untuk-penanganan-perubahan-iklim

Sosialisasi Perhutanan Sosial dalam Rangka Pengembangan Jejaring Kemitraan dengan Dunia Usaha

Riau, 25 November 2021 – “Meraih Mimpi Bersama – Masyarakat Sejahtera Hutan Lestari – Masyarakat Perhutanan Sosial dan Dunia Usaha.

Direktorat Kemitraan Lingkungan, PSKL, KLHK menggelar kegiatan sosialisasi yang melibatkan hampir 100 peserta dari berbagai perusahaan BUMN dan BUMS yang ada di Provinsi Riau, di Hotel Premiere Pekanbaru. Acara perdana ini memperkenalkan program Perhutanan Sosial sebagai program prioritas nasional yang ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian hutan. “Dari tidak tahu menjadi tahu”, itu komentar yang muncul dari peserta setelah mengikuti acara pada hari ini. Tentunya hal ini perlu ditindaklanjuti agar terwujud kemitraan dunia usaha bagi perhutanan sosial.

Selain Direktur Kemitraan Lingkungan, Jo Kumala Dewi yang membawakan materi “Perhutanan Sosial dan Potensi Kerjasama Mitra Dunia Usaha”, Apri Dwi Sumarah, Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera memaparkan potret “Keberhasilan Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial dalam Kemitraan.”

Dilanjutkan dengan materi “Program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan/TJSL BUMN” berdasarkan PERMEN BUMN No.5 Tahun 2021 oleh Tedy Poernomo mewakili Asisten Deputi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Kementerian BUMN. Paparan diakhiri oleh Riyandoko, Kepala Balai Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat, Region Riau APP Sinar Mas, yang menceritakan pengalaman dalam menggalang kegiatan kemitraan.

Salah satu Mitra Strategis dalam mendukung Perhutanan Sosial adalah kalangan Dunia Usaha, baik melalui kegiatan CSR atau TJSL yang sangat sejalan dengan kesejahteraan masyarakat, kelestarian lingkungan dan perbaikan kualitas hidup. Begitulah inti paparan Direktur Kemitraan Lingkungan sebagai pembuka diskusi.

Sedangkan dari perspektif Kementerian BUMN, yang mendukung pernyataan Direktur Kemitraan Lingkungan bahwa peran sosial BUMN dan perusahaan di bawahnya sudah selayaknya mengacu pada pembangunan berkelanjutan berdasarkan prinsip akuntabilitas, terintegrasi, terarah, terukur dampaknya. Hal ini bertujuan agar memberikan manfaat bagi pembangunan perusahaan, berkontribusi pada penciptaan nilai tambah dan membina usaha mikro dan usaha kecil agar lebih tangguh dan mandiri, serta masyarakat sekitar perusahaan dengan berorientasi pada 4 pilar sosial, ekonomi, lingkungan serta hukum dan tata kelola. Selain itu Tedy juga menjelaskan bahwa peran BUMN dengan program-program lingkungan dan kehutanan sudah diamanatkan dalam semangat BUMN itu sendiri.

BPSKL Wilayah Sumatera menyoroti perkembangan program Perhutanan Sosial yang ada di Sumatera, khususnya di Provinsi Riau, tantangan dan hambatan, serta peluang dan potensi kerjasamanya antara perusahaan dengan KUPS.

Perhutanan Sosial merupakan pintu masuk dalam menjalin kolaborasi usaha bersama dengan masyarakat sekitar hutan, dapat dimulai dari yang merupakan kewajiban, berlanjut dengan hal yang beyond compliance, demikian pengalaman yang dibagikan oleh Riyandoko.

Kegiatan yang dimoderatori oleh Kepala P3E Sumatera ini mengawali langkah kerjasama di kalangan dunia usaha dalam mendukung keberhasilan program perhutanan sosial. Diharapkan pada kesempatan berikutnya lebih banyak informasi dan kegiatan yang lebih konkrit untuk didiskusikan menjadi program kerjasama dalam CSR/TJSL. Demikian salah satu hasil evaluasi dari peserta.

 

Pameran PSKL di Paviliun Indonesia, COP-26 di Jakarta.

Sejak tanggal 1-12 Nopember 2021, KLHK mengadakan pagelaran pameran dari seluruh perwakilan Direktorat Jenderal dan para mitra KLHK, di Paviliun Indonesia di Auditorium Manggala Wanabakti, KLHK. Hari ini adalah hari terakhir Paviliun Indonesia  turut serta merayakan acara COP 26-UNFCCC yang sedang berlangsung di Glasgow UK.

Paviliun Indonesia berfungsi sebagai soft diplomacy bersamaan dengan hard diplomacy meja perundingan digelaran COP-26 UNFCCC, Glasgow. Sebagai upaya untuk menyuarakan tindakan, strategi, dan inovasi Indonesia kepada dunia internasional berupa aksi-aksi iklim Indonesia dalam mencegah peningkatan suhu global dibawah 1,5 derajat Celcius.

Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan turut andil merayakan dengan membuka stand pameran dan menggelar talk show secara hibrid. Masing-masing Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL), memamerkan produk hutan bukan kayu yang telah diolah dan dikemas dengan menarik.

Produk unggulan BPSKL ini merupakan hasil karya para Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). KUPS dengan didampingi oleh para pendamping Perhutanan Sosial berhasil mengolah lahannya, sehingga produk meningkat secara kualitas juga kuantitas. Hasil hutan KUPS seperti; minyak cengkih dari Maluku, berbagai olahan pala dari Maluku Utara, kopi dan madu dari hampir seluruh BPSKL dan lain sebagainya.

Para wakil KUPS tersebut, juga berbagi pengalaman melalui media sosial yang saat ini sedang terkenal, yaitu podcast. Salah satu podcast yang digelar adalah obrolan antara ibu Yuli, bapak Olop dari Maluku dan ibu Tia dari Papua dengan host ibu Lilian dan Pijan. Obrolan mereka bertema “Pengarusutamaan Gender dalam Perhutanan Sosial“.

Berbicara tentang hasil hutan Maluku dan Papua berarti bicara rempah-rempah, ibu Yuli dari Maluku Utara lebih menggeluti pala, sedangkan bapak Olop dari Maluku sangat pakar dalam hal pengolahan cengkih. Sesuai tema, narasumber bercerita bahwa keberhasilan pengelolaan hasil hutan ini sangat bergantung pada para perempuan, juga didukung oleh anak-anak. Namun tetap mengutamakan keadilan yang responsif gender dalam pembagian pekerjaan.

Stand PSKL di Paviliun Indonesia di Auditorium Manggala Wanabakti menjadi etalase dari keberhasilan PSKL dalam mengelola kawasan hutan. Masyarakat setempat sebagai subjek pengolah, mendapatkan hasil langsung keberhasilan perhutanan sosial. Perhutanan sosial ini merupakan strategi dan tindakan bertujuan mensejahterakan masyarakat dan melestarikan hutan yang di ujungnya adalah turut menyumbang penurunan suhu global.

Sepuluh Pahlawan Lingkungan Terima Anugerah Kalpataru 2021

SEBANYAK 10 individu dan organisasi yang berjasa pada upaya pelestarian lingkungan hidup menerima anugerah Kalpataru 2021 pada hari ini, Kamis (14/10). Para pemenang penghargaan itu merupakan pahlwan lingkungan yang sudah berkontribusi dan sekaligus menjadi amanah dalam memberi contoh baik bagi masyarakat.

“Penghargaan Kalpataru merupakan amanah terhadap penerimanya untuk tetap menjaga dan terus meningkatkan kepeloporan serta upaya-upaya pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dalam acara Penganugerahan Kalpataru 2021, Kamis (14/10).

Siti mengatakan bahwa sejak awal perjalanan Kalpataru di 1980, para penerimanya merupakan contoh dari aksi nyata pada lingkungan. Hingga memasuki 41 tahun perjalanan anugerah tersebut diharapkan terus memberi dampak positif baik dari sisi ekologi, sosial budaya dan ekonomi terhadap lingkungannya.

Kalpataru diharapkan mampu memotivasi lebih banyak orang untuk peduli terhadap lingkungan. Para pemenangnya merupakan pelopor di tengah masyarakat. “Ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi, kepeloporan dan ketokohan dalam melakukan berbagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan secara berkelanjutan,” imbuhnya. Di tahun 2021, Kalpataru diberikan kepada 10 individu dan organisasi dari berbagai daerah di Indonesia.

Selain itu ada penghargaan khusus kepada tokoh pemuda yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Adapun, pemenang dalam kategori perintis lingkungan adalah Purwo Harsono dari D.I. Yogyakarta, Damianus Nadu dari Kalimantan Barat, Darmawan Denassa dari Sulawesi Selatan, dan Muh. Yusri dari Sulawesi Barat. Sementara untuk kategori pengabdi lingkungan dianugerahkan kepada Suswaningsih dari D.I. Yogyakarta dan bagi kategori penyelamat lingkungan adalah Lembaga Pengelola Hutan Desa Pasar Rawa dari Sumatra Utara, Forum Pemuda Peduli Karst Citatah dari Jawa Barat, Sombori Dive Conservation dari Sulawesi Tengah

Pada kategori pembina lingkungan diberikan kepada Suhadak dari Lampung dan K.H. Zarkasyi Hasbi dari Kalimantan Selatan. Sedangkan kategori penghargaan khusus diberikan kepada Ali Topan dari Sulawesi Selatan sebagai pemuda inspiratif untuk advokasi lingkungan. (H-3)

Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/439894/10-pahlawan-lingkungan-terima-anugerah-kalpataru-2021

Kala Pohon Pala di Romang Tak Bisa Digoyang Lagi

Kami Akan Lawan PT  GBU Sampai Titik Darah Penghabisan

“Masyarakat hanya menggoyang batang pohon pala dan buahnya yang sudah tua akan jatuh. Kemudian di goyang lagi dan buahnya jatuh kembali. Tidak perlu memetik langsung di atas pohon,”ujar Oyang Orlando Petrusz, Tokoh masyarakat pulau Romang, Kecamatan Pulau-pulau Terselatan, Maluku Barat Daya, kepada saya saat kami berbincang soal eksplorasi tambang oleh PT Gemala Borneo Utama (GBU) di pulau tersebut. Dia menggambarkan kesuburan tanah Romang sebelum datang GBU dengan misi eksplorasi emas.

Catatan: Tajudin Buano-Ambon

Pulau Romang merupakan salah satu pulau di kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Pada tahun 2006, Maluku Barat Daya masih bergabung dengan kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB).Luas Pulau Romang hanya 175,49 Km2. Kalau dikonversikan menjadi 17.500 Ha. Sumberdaya alam Pulau Romang memang melimpah. Selain tumbuhan umur panjang seperti Pala hutan, Pala super dan Cengkeh, kawasan hutan Romang juga dijadikan lahan Kakao. Sementara hasil hutan yang paling dominan adalah kayu cendana. Kawasan lautnya, jugadihuni banyak organisme; Lola, Teripang dan Ikan berbagai jenis.

Kesuburan tanah seluruh Pulau di kabupaten Maluku Barat Daya ini di pengaruhi kondisi alam. Seperti Romang, Damer, Wetar dan Babar pulau memiliki kesuburan tanah, karena daerah-daerah memiliki titik basah atau curah hujan tinggi sehingga menyebabkan tanahnya subur. Khusus di Romang, waktu suburnya tanah, mulai dari Oktober, November hingga Desember.

Pala hutan di Pulau Romang, mempunyai buah berukuran besar dan berkualitas. Biasanya buah pala yang hanya dipungut dibawah pohon tersebut setelah itu dikeringkan. Baik bunga maupun isinya hargai Rp70 ribu sampai Rp80 ribu per kilogram.

“Tapi itu dulu. Sejak PT GBU masuk hutan 2006, tumbuhan-tumbuhan ini mulai terganggu kehidupannya. Memang masih ada, tapi kuantitas dan kualitas rendah,” kata Orlando, menceritakan tentang kehidupan masyarakat pulau Romang 9 tahun lalu, sebelum anak perusahaan Robust Resources Limited dari Australia itu masuk dan beroperasi di kawaan Hutan Hukum Adat pulau Romang.

Luas areal pertambangan PT GBU 2000 ha lebih. Izin pertama 2000 ha, kemudian bertambah menjadi 9000 ha. Ketika masuk lahan Eksplorasi mencapai 9000 ha, terjadilah kemarahan rakyat yang sudah memuncak. Jika dibandingkan dengan luas total pulau Romang 17.500 H, maka sudah lebih dari setengah pulau areal eksplorasi tambang PT GBU.

Selain itu, pengambilan sampel menggunakan bahan kimia seperti Mercuri dan lainnya untuk memecahkan batu dan menggali tanah (sumur). Residunya (ampasan) Mercuri bercampur dengan air. Air yang terkontaminasi dengan bahan kimia itu mengalir dari hutan masuk ke perkebunan rakyat mencemari tanaman. Juga pohon-pohon umur panjang.

“Dari sinilah timbul keresahan-keresahan kecil dari masyarakat. Tapi sepertinya tidak mendapatkan perhatian dari pihak perusahaan maupun pemerintah,” tutur Orlando, yang pernah dianiaya, karena melaporkan Bupati MBD Barnabas Orno ke Polda Maluku, 2012 silam.

Konflik di Pulau Romang terjadi ketika PT GBU mulai melakukan penelitian di 3 desa yakni Negri Jerusu, Hila dan Solad pada tahun 2006. PT GBU kemudian melakukaneksplorasi, setelah memperoleh izin dari Bupati MTB pada 2008. Setelah beroperasi selama 2 tahun, perizinan eksplorasi kembali diperpanjang pada 2009.

Puncaknyapada tahun 2012 bulan Juni. Rakyat membuat penolakan besar-besaran dengantuntutan PT GBU harus angkat kaki dari hutan dan tanah pulau Romang. Caranya adalah, rakyat datang beramai-ramai ke lokasi eksplorasi untuk merusak Gly Camp dan alat-alat berat milik PT GBU. Sebelumnya, penyampaian lisan dan tertulis ke camat dan bupati tapi tidak digubris.

Setelah perlawanan masyarakat sudah gencar dilakukan, PT GBU kemudian melakukan pendekatan dengan bupati untuk mengamankan eksplorasi yang masih sementara berjalan. Hubungan akrab bupati dan PT GBU inilah muncul dugaan dengan pemberian uang sebanyak Rp8 Milyar. Dana ini diberikan kepada pemerintah daerah dengan pesan kuat.

“Tetapi karena bupati merasa berkuasa, maka mau diberikan kepada siapa saja atau digunakan sesuai hematnya pemerintah daerah. Yang tidak benar adalah, dana hibah dari PT GBU itu tidak dimasukan dalam dokumen Anggaran Pendapatan Asli Daerah. Padahal dana ini datang dari pihak ketiga (perusahan),”protesnya. Kata dia, sumber pendapatan terdiri dari APBN berupa Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), APBD dan pendapatan lain-lain dari sumbangan pihak ketiga.

Dia melanjutkan,Berdasarkan informasi yang diperoleh, dana Rp8 Milyar tersebut digunakan untuk pembangunan di daerah lain, bukan Romang. Karena itu, pemuka perjuangan masyarakat adat Romang, melaporkan bupati ke Reskrimsus POlda Maluku. Mereka dipimpim Orlando sendiri.Tetapi kasus ini tidak pernah dikembangkan. Tidak ada penyelidikan baik polda.

Dikatakan, aktifitas pertambangan di Pulau Romang, dibatasi UU oleh nomor 27 tahun 2007 yang telah diubah dengan UU nomor 1 tahun 2014 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam UU ini disebutkan, pulau atau wilayah dengan luas kurang dari 20.000 (dua puluh ribu) hektar tidak bisa dilakukan penambangan apapun.

“Sedangkan luas Pulau Romang hanya 175,49 Km2. Kalau di konversikan menjadi 17.500 Ha. Berarti, secara otomatis UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ini membatasi proses eksplorasi dan eksploitasi pertambangan ini. Untuk itu, Komnas HAM akan merekomendasikan agar izin-izin eksplorasi PT GBU harus dicabut,” jelasnya, berdasarkan kesimpulan akhir Komnas HAM dari kegiatan Ikuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Dalam Kawasan Hutan, di Sabtu (1/11) di Ambon.

Harapan Baru

Kesimpulan Komnas HAM ini menjadi tonggak dan harapan baru dalam memperjuangkan hak masyarakat pulau Romang. Mereka meminta, jika sudah keputusan legal soal tidak berlakunya lagi izin, maka PT GBU harus ganti rugi atas segala kerusakan hutan, matinya tanaman umur panjang dan masalah lainnya.

Hadirnya PT GBU, bukan hanya merusak lingkungan dan alam Romang, tetapi juga melahirkan konflik antar sesama masyarakat Romang. Karena ada yang dimanjakan dan ada juga yang tidak dipedulikan. Yang di manjakan ini hanya kelompok masyarakat tertentu saja. Maka keharmonisan dan persaudaraan hilang.

“Dulu, sebelum perusahaan GBU masuk, masyarakat tidak pernah menggubris soal pemanfataan batu dan tanah di kebun atau di laut. Mereka memanfaatkannya secara bersama dalam suasana kekeluargaan dan kebersamaan untuk pondasi rumah. Sekarang sudah tidak bisa lagi. Semoga Komnas HAM konsisten memperjuangkan ini,”kilahnya.

Harapan baru juga muncul dari kalangan Mahasiswa dan Pemuda Romang yang selama ini berjuang mempertahankan tanah mereka. Sebuah gerakan lintas komponen telah dibentuk. Nama gerakan ini“Save Romang”. Gerakan ini lahir dari rasa prihatin atas perlawanan masyarakat terhadap PT GBU yang tidak membuahkan hasil, sejak 2006.

Ketua Mahasiswa Romang, Isack Knyairlay berharap, gerakan Save Romang mendapatkan dukungan secara kolektif dari masyarakat Maluku. Terutama dari kabupaten Maluku Barat Daya. “perjuangan ini akan kami galakan dalam skala besar dengan mengusung tema”Save Romang”. Kita juga mengharapkan dukungan, terutama dari masyarakat Romang sendiri dan masyarakat Maluku secara keseluruhan untuk gabung,”ucap Isack.

Menurut dia, status tanah di Pulau Romang sejak dulu adalah tanah adat dan sudah diakui. Karena sebelum negara ini merdeka, masyarakat Romang sudah menjaga hutan dan sumberdaya lainnya dengan pendekatan hukum adat. Kalau pemerintah pusat dan daerah berdalil bahwa masuknya perusahaan tambang untuk memberikan kesempatan pekerjaan, juga merupakan upaya mematikan tatanan dan hukum adat secara sistematis.

Selain itu, masyarakat adat yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan tingkat sekolah dasar dan menengah, tidak memiliki kemampuan melakukan pekerjaan eksplorasi maupun produksi tambang. Ini terbukti, warga Romang yang bekerja di PT GBU hanya dijadikan sebagai kuli dan dihargai rendah dari semua pegawai dan karyawan PT GBU. Padahal mereka adalah pemilik lahan.

“Biasanya mereka dihargai 50-60 ribu dan statusnya sebagai pekerja lepas. Kalau kita bandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) buruh kasar yang ditetapkan oleh pemerintah, itu sekitar 60-75 ribu per hari. Ini kan namanya diskriminasi,” tegas dia.

Januari 2015, Mahasiswa dan semua komponen masyarakat Romang menentukan sikap. Kalau PT GBU tidak menghentikan kegiatan eksplorasi dan meninggalkan Romang, masyarakat akan by pas dan menggunakan hukum alam. Kalau PT GBU bertahan maka terus melakukan kegiatan penambangan.

Upacara adat akan dilakukan untuk membangunkan roh moyang para leluhur untuk melawan PT GBU. Bukan saja PT GBU, tetapi pihak-pihak lain yang berada dibelakang atau selama ini membekingi PT GBU. Target perjuangan ini adalah, PT GBU harus keluar dari Romang dan mengganti rugi.

“Upacara adat dengan lebah madu dan buaya akan kita hidupkan semua untuk berurusan dengan mereka. Selain itu juga kita akan angkat parang untuk melawan,”kata Isack dengan nada marah.

“Kami tetap akan melawan PT GBU sampai titik darah penghabisan. Uang sebanyak apapun tidak pernah bisa menggantikan darah yang sudah tumpah atau membayar keresahan selama ini.,”tegas Orlando Petrus. (*)

 

Penulis, Tajudin Buano, AJI Maluku