Ramah Tamah dengan Sahabat Bekantan Indonesia

9 Juni 2022, Direktorat Kemitraan Lingkungan kedatangan tamu istimewa dari Kalimantan Selatan (Kalsel) yaitu anggota Sahabat Bekantan Indonesia (SBI). Pertemuan ini menjadi istimewa karena SBI merupakan salah satu penerima penghargaan Kalpataru 2022 dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Rombongan SBI didampingi oleh perwakilan dari pemerintah daerah Kalsel dan diterima di KLHK oleh Direktur Kemitraan Lingkungan.

Sedianya, pada tanggal 9 Juni 2022 ada acara serah terima penghargaan Kalpataru, karena satu dan lain hal maka acara tersebut diundur. Tetapi keadaan yang mendadak ini tidak menyurutkan semangat para anggota SBI yang datang jauh-jauh dari Pulau Kalimantan, kegembiraan itu tampak dari binar mata mereka yang tidak bisa disembunyikan.

Menarik untuk diperhatikan dan dijadikan bahan refleksi, anggota dari SBI adalah anak-anak muda, semangat dan usaha mereka patut dicontoh oleh anak-anak muda dari seluruh Indonesia. Sebenarnya Indonesia membutuhkan lebih banyak aksi-aksi dari anak muda seperti mereka di berbagai bidang.

Dalam ramah tamah dan diskusi terbuka dengan pegawai Direktorat Kemitraan Lingkungan, Kak Amalia (ketua yayasan), meluapkan kegembiraannya “Alahmdulillah, pada akhirnya, we did it setelah sekian lama.” SBI telah melaksanakan kegiatan menyelamatkan bekantan sejak 2012, berarti sudah hampir 10 tahun. Mereka memang pantas diganjar penghargaan Kalpataru oleh pemerintah.

Direktur Kemitraan Lingkungan, Jo Kumala Dewi, memberikan ucapan selamat secara langsung serta menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh anggota SBI atas berbagai usaha yang sudah dilakukan untuk menyelamatkan bekantan di Kalsel. Usaha yang dilakukan diantaranya adalah membuat konservasi bekantan, restorasi bakau rambai untuk habitat alami bekantan, dan eco-wisataa bekantan.

Diskusi pada siang itu juga membahas berbagai rencana kerjasama dan berbagai kemungkinan kolaborasi lain yang bisa dilakukan oleh anak-anak muda dan pemerintah. Kak Jo juga menyampaikan bahwa SBI harus mereplikasi kegiatannya tersebut di tempat lain, replikasi merupakan mandat dari Negara bagi setiap penerima penghargaan Kalpataru, yang dalam prosesnya difasilitasi oleh pemerintah.

Melihat penerima penghargaan Kalpataru yang sangat banyak, terutama di Pulau Kalimantan, Jo Kumala Dewi mengingatkan pentingnya kolaborasi antar penerima Kalpataru di Kalimantan. Penerima melakukan kolaborasi yang nantinya bisa memberikan pengaruh lebih luas tentang pentingnya menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan dan alam.

Penerima Kalpataru, harapannya, juga menginisiasi berbagai kelompok anak muda yang konsen di bidang lingkungan untuk dapat bergerak bersama. Gerakan anak-anak muda memang kecil, tetapi jika dilakukan bersama-sama dan konsisten akan menjadi gerakan yang besar dan berdampak luas. Kak Jo menyampaikan “kegiatan-kegiatan lingkungan memang harus dimulai dari hal-hal kecil dan dari diri sendiri”.

Sahabat SBI siap melakukan aksi selanjutnya di lapangan, dan berkolaborasi dengan berbagai pihak dan  ternyata sangat banyak yang bisa dilakukan untuk kegiatan-kegiatan lingkungan. Kami menantikan kiprah SBI yang lebih luas untuk kelestarian lingkungan dan alam.

Ditulis : Ridwan F (Staf Dit, Kemitraan Lingkungan)

Editor : Nurhayati (Jafung Madya Dit. Kemitraan Lingkungan)

Bekantan dan Anak Muda: Menolak Punah

Berdasarkan laporan yang disediakan oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2022, total spesies hewan Indonesia yang terancam ada 1.225 spesies. Dari jumlah tersebut, 192 di antaranya sangat terancam punah, 361 terancam punah, dan 672 rentan terancam punah. Sementara itu, 3 spesies sudah dinyatakan punah.

 

Pada tahun 2000, bekantan (nasalis larvatus) yang berhabitat di hutan bakau, rawa dan hutan panti dikategorikan sebagai hewan dengan status endangered atau terancam punah oleh IUCN. Hewan endemik Kalimantan yang dikenal pemalu dan pandai berenang ini telah menjadi fauna maskot Kalimantan Selatan sejak tahun 1990. Adanya konflik dengan manusia seperti konversi lahan dan degradasi habitat serta sulitnya perkembangbiakan di habitat asli ditengarai menjadi alasan bekantan terancam punah.

Keresahan ini membuat Pusat Studi & Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Biodiversitas Indonesia) untuk mendirikan Komunitas Sahabat Bekantan Indonesia (SBI). Komunitas ini dibentuk dalam rangka membantu pemerintah dalam upaya perlindungan bekantan di Prov. Kalimantan Selatan. Tujuannya adalah sosialisasi untuk pelestarian dan perlindungan bekantan, pencegahan dan penghentian perburuan serta perdagangan bekantan, dan konservasi secara in-situ dan ex-situ. Ada tiga kegiatan besar yang sedang dilakukan SBI dalam upaya melindungi dan melestarikan bekantan yaitu:

  1. Konservasi, dengan mendirikan pusat rehabilitasi di Kota Banjarmasin dan stasiun riset bekantan di Pulau Curiak.
  2. Restorasi mangrove rambai melalui mangrove rambai center. Hingga 2021 sudah menanam 1.100 lebih mangrove rambai kurang lebih seluas 10 Ha.
  3. Mengembangkan eco-wisata bekantan.

Menariknya, Yayasan SBI yang didirikan sejak tahun 2012, sebagian besar anggotanya adalah ana-anak muda pada tingkat perguruan tinggi. Perhatian dan waktu yang diberikan oleh anak-anak muda terhadap kelestarian alam Indonesia perlu mendapat apresiasi setinggi-tingginya dari berbagai pihak dalam berbagai bentuk. Mereka adalah penerus yang akan menjaga tanah air Indonesia yang kaya akan flora dan fauna, sangat disayangkan jika generasi berikutnya hanya mengetahi flora dan fauna yang telah menjadi sejarah melalui foto dan video tanpa tahu bentuk nyatanya di alam.

Pada tahun 2022, SBI dianugerahi penghargaan Kalpataru kategori Penyelamat. Salah satu dari 10 penerima penghargaan Kalpataru tahun 2022. Penerima penghargaan bukanlah pemenang, melainkan sebuah apresiasi tertinggi Pemerintah Indonesia kepada masyarakat yang berjasa terhadap kelestarian alam dan lingkungan. Harapannya, bahwa dari seluruh penerima Kalpataru bisa menjadi dan memberi contoh serta dan mengajari dalam melakukan pola-pola kegiatan kelestarian alam dan lingkungan.

Selain penerima penghargaan Kalpataru, di seluruh Indonesia, ada ribuan anak muda yang peduli dengan isu-isu lingkungan. Dalam kelompok-kelompok kecil sefrekuensi, mereka bergerak bahu-membahu melakukan  kampanye dan aksi kegiatan menjaga alam dan lingkungan. Dari mereka kita belajar bahwa menjaga kelestarian alam dan lingkugan bisa dimulai dari diri sendiri dan melalui hal-hal kecil.

Ditulis : Ridwan F (Staf Dit, Kemitraan Lingkungan)

Editor : Nurhayati (Jafung Madya Dit. Kemitraan Lingkungan)

Sumber:

https://www.iucnredlist.org/

https://www.bekantan.org/

https://kmisfip2.menlhk.go.id/news/detail/554

SEJARAH KALPATARU

Bangsa Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat melimpah, maka kelestarian alamnya pun menjadi tanggungjawab semua elemen masyarakat. Sejak 1980, Pemerintah Indonesia memberikan Penghargaan Kalpataru kepada meraka yang berjasa dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Hingga tahun 2022, sudah ada 408 penerima Penghargaan Kalpataru yang tersebar di seluruh Indonesia. Penghargaan Kalpataru adalah penghargaan yang diberikan kepada mereka, baik individu, maupun kelompok, yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan, dan membina perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan.

Relief Kalpawreksa atau Kalpataru di Candi Pawon yang dijaga Kinnara-Kinnari, Apsara, dan Dewata

Relief Kalpataru di Candi Prambanan yang diapit Kinnara-Kinnari

Berdasarkan asal-usulnya, Lambang Kalpataru merujuk kepada relief pohon yang terdapat di Candi Mendut, relief ini juga ditemukan di Candi Pawon, Candi Prambanan, dan Candi Borobudur, Jawa Tengah. Secara bahasa, pohon ini bernama Kalpawreksa (aksara Dewanagari), Kalpavṛkṣa (International Alphabet of Sanskrit Transliteration, IAST), atau Kalpataru, Kalpadruma, dan Kalpapāda. Istilah Kalpataru banyak di singgung dalam kitab kesusateraan India awal, misalnya Kitab Purana, Ramayana, Buvanakosa, Vayupurana, Meghaduta, dan Bhanabata. Namun dalam dokumen Sansekerta tidak menyebutkan secara spesifik atau menghubungkannya dengan pohon tertentu. Di Nusantara, Sumber tertulis pertama yang menyebutkan istilah kalpataru kemungkinan besar adalah prasasti berbentuk yupa peninggalan Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai. Selanjutnya cerita Tantu Panggelaran menyinggung suatu tempat bernama Hiranyapura yang dipenuhi dengan kalpataru. Penyebutan istilah kalpataru dan yang sejenis, juga terdapat dalam kitab Udyogaparwa, Brahmandapurana, Ramayana, Arjunawiwaha, dan Hariwijaya.

Relief Kalpataru di Candi Mendut bersama dengan dua bidadari, Harītī, dan Āţawaka

Relief Kalpataru di Candi Borobudur

Pada relief candi, penggambaran kalpataru selalu bertumpu pada lima ciri utama, yaitu binatang pengapit, jambangan bunga, untaian manik-manik atau mutiara, payung, dan burung. Binatang pengapit merupakan simbol dari pohon agar tetap suci dan jauh dari gangguan setan. Jambangan bunga merupakan simbol kekayaan, kemakmuran, dan kesuburan. Hal ini digambarkan oleh untaian manik-manik atau mutiara. Payung merupakan simbol kesucian. Sedangkan burung Kinnara-Kinnari (makhluk berwujud setengah manusia dan setengah burung) adalah makhluk penjaga pohon dan sekaligus lambang kehidupan.

Kalpataru merupakan gambaran pohon kahyangan, yang penuh dengan bunga-bunga, baik yang mekar maupun yang masih kuncup. Pada beberapa bunga yang mekar, di tengah-tengah mahkotanya yang terbuka menjuntai mutiara dan manik-manik. Bunga-bunga dan dedaunan tersusun dalam pola setangkup, membentuk gumpalan padat yang sedikit cembung, seakan menyembul dari sebuah vas bunga yang membentuk bagian batang pohon. Dalam mitologi Hindu, artinya adalah pohon yang mengabulkan permintaan. Pohon ini mencerminkan suatu tatanan lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang serta merupakan tatanan yang menggambarkan keserasian hutan, tanah, air, udara, dan makhluk hidup. Pada akhirnya, relief dan nama Kalpataru dipakai pemerintah dalam memberikan penghargaan kepada mereka yang memberikan sumbangsih pada kelestarian dan keberlanjutan alam Indonesia.

Ditulis: Ridwan

Editor: Andreas

Sumber:

  • Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.30/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2017 Tentang Penghargaan Kalpataru
  • Tim Kalpataru 2020, Penghargaan Kalpataru 2020, Direktorat Kemitraan Lingkungan: Jakarta, 2020.
  • https://www.museumnasional.or.id/relief-kalpawreksa-3812
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Kalpataru_(penghargaan)
  • https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kalpawreksa&tableofcontents=1
  • http://p3ejawa.menlhk.go.id/article22-kalpataru-penghargaan-tertinggi-bagi-pejuang-lingkungan.html#:~:text=Sejarah%20Penghargaan%20Kalpataru&text=untuk%20para%20pahlawan%20lingkungan%20hidup,jasanya%20pada%20usaha%20pelestarian%20lingkungan
  • https://www.kompas.com/stori/read/2022/02/09/130000979/penghargaan-kalpataru-sejarah-makna-dan-kategorinya?page=all
  • https://www.facebook.com/TWCMEDIAA/posts/relief-pohon-kalpataru-di-candi-prambananselain-keberadaan-garuda-pada-kompleks-/2584275141647804/
  • http://borobudurpedia.id/kalpataru/

Penting! Peran Pendampingan dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial

Program Perhutanan Sosial menjadi angin segar masyarakat sekitar hutan bisa mengelola hutan. Namun  dalam perjalanannya,  banyak masyarakat yang sudah mendapatkan izin masih belum bisa mengelola hutan secara maskimal. Karena itu, peran pendampingan menjadi sangat penting agar masyarakat bisa mengelola hutan dari hulu-hilir dan memberikan dampak ekonomi yang nyata sekaligus melestarikan hutan. 

Program Perhutanan Sosial memang bukan merupakan program baru di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, program yang awalnya lebih dikenal dengan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ini pada tahun 2015 menjadi salah satu program utama Presiden Jokowi untuk memberikan kesempatan pada masyarakat di sekitar hutan memiliki akses mengelola  hutan.

Bila dulu akses pengelolan hutan hanya diperuntukkan bagi korporasi, namun dengan adanya program Perhutanan Sosial, masyarakat sekitar hutan bisa mendapatkan hasil hutan dengan mengelolanya sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan.

Direktur Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dra. Jo Kumala Dewi, M.Sc mengatakan, pada periode pertama ada sekitar 12,7 juta hektar (ha) area hutan negara yang akan diberikan kepada masyarakat untuk diberikan akses kelola.

“Memang pada awalnya sempat disalahpahami bahwa hutan ini akan diberikan kepada masyarakat. Padahal bukan lahan hutannya, tapi akses kelolanya. Akses kelola yang diberikan itu selama 35 tahun kepada masyarakat,“ ujarnya.

Sejak 2015 hingga saat ini, Jo Kumala Dewi mengatakan, sudah sekitar 4,9 juta ha lahan yang diberikan izin pengelolaanya kepada lebih dari 1 juta KK dengan lebih dari 7.400 Surat Keputusan (SK) Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Ditengah animo masyarakat dalam pengelolaan Perhutanan Sosial ini masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama dalam hal pendampingan. Kumala Dewi mengaku, banyak masyarakat yang kebingungan ketika mendapatkan ijin mengelola lahan yang luas untuk jangka panjang.

“Pengelolaannya harus benar-benar. Dalam pengelolaan secara keilmuan ada tiga. Pertama kelola kelembagaan, kemudian kelola kawasannya, yaitu fisik hutannya. Ketiga Kelola Usaha. Sehingga seringkali, pak Jokowi didalam event penyerahan SK selalu mengatakan jangan kelolanya secara konvensional,” ujarnya.

Peran Pendampingan

Karena itu peran pendampingan kepada masyarakat yang mendapatkan ijin pengelolaan hutan menjadi sangat penting. Pendampingan diperlukan agar masyarakat yang mendapatkan ijin hanya mengelola lahan secara konvensional namun harus menjadi bisnis Perhutanan Sosial.

Penampingan diperlukan dalam hal pengembangan usaha Kehutanan Sosial, terutama pendampingan cara menyusun rencana kelola bertahap mulai dari 1 tahun, 10 tahun hingga 35 tahun. Setelah memiliki RKPS masyarakat bisa membuat kelompok usaha untuk mendorong komoditas unggulan daerahnya.

“Bagaimana para pemegang ijin itu bisa menjadi businessman yang bergerak di bidang agroforestry. Silvopasture dan silvofishery kalau di pesisir, karena itu diaturlah ada kewajiban pemerintah memberikan pendampingan,” ungkapnya.

Kumala Dewi juga tak menyangkal jika pendamping (penyuluh kehutanan) yang saat ini berjumlah 1.510 dirasa masih sangat kurang. Seharusnya menurutnya, satu orang mendampingi 1 SK. Saat ini di lapangan ternyata tiap satu pendamping bisa lebih dari 1 SK.

“Jadi pendamping pemerintah bisa dibilang penyuluh kehutanan yang pegawai negeri, ada juga yang PKSN swadaya masyarakat, ada juga yang bakti rimbawan. Nah istilahnya pendamping pemerintah itu terdiri dari itu,” tuturnya.

Namun demikian kata Kumala Dewi, di luar pendamping tersebut pihaknya sedang mencoba membuat terobosan dengan kolaborasi pendampingan dengan penyuluh pertanian, penyuluh desa, bahkan penyuluh sosial BPK, dan kelautan perikanan.

Bukan hanya  penyuluh, pendampingan Perhutanan Sosial juga bisa dilakukan berbagai pihak. Dari mulai akedemisi dengan berbagai program inovasi mahasiswa dan sebagainya, LSM, dunia usaha dengan CSRnya hingga petani milenial yang kini sukses dengan berbagai terobosan dibidang  pengolahan hasil pertanian.

Diungkapkan Jo Kumala Dewi, petani milenial bisa memberikan pendampinan kepada para masyarakat dalam mengelola hasil hutan mulai dari mengolah, mengemas, hingga memasarkannya. Artinya, pendampingan jangan hanya dibayangkan sebagai pendampingan yang harus melekat secara terus menerus. Pendampingan bisa dengan konsep bermitra antara pendamping dengan masyarakat pengelola Perhutanan Sosial.

“Saya sudah sempat bicara dengan Sandy Okta, ketua petani millenial. Saya juga pernah coba dengan salah satu petani milenia di Makassar, kita ngobrol dengan para pendamping dari Maluku, Papua dan Makasar,” tambahnya.

Menurut Kumala Dewi, masih banyaknya permasalahan dalam pengelolaan Perhutanan Sosial. Ada beberapa lokasi yang sudah berhasil dan bisa dijadikan contoh. Seperti beberapa destinasi wisata di lokasi Perhutanan Sosial yang bukan hanya dijual hasil hutannya. Salah satunya destinasi wisata Aik Beriak di Lombok, NTB.

Memang kata Kumala Dewi, secara alam ada dalam hutan, hanya selama ini tidak dikelola dengan baik karena tidak  ada aksesnya. Namun ketika diberikan kepada masyarakat dan dikelola dengan baik, lalu dibuat akses jalannya dan kemudian masuk kulinernya, banyak wisatawan yang datang. “Masih banyak lagi hasil pengelolaan PS yang berhasil dan bisa dijadikan contoh,” ungkapnya.

Sumber artikel: https://tabloidsinartani.com/detail/indeks/agri-penyuluhan/20088-Penting-Peran-Pendampingan-dalam-Pengelolaan-Perhutanan-Sosial

Kelahiran Perpres, Percepat Lari Perhutanan Sosial

Perhutanan Sosial sebagai salah satu program Reforma Agraria yang Presiden
Joko Widodo canangkan sebentar lagi akan berlari kencang. Dengan terbitnya
Peraturan Presiden tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan
Perhutanan Sosial membuat implementasi program ini akan semakin lancar
dan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat di sekitar
hutan

Dalam lima tahun berjalan implementasi Program Perhutanan Sosial,  masih  dirasakan belum optimal. Dari hasil evaluasi yang dilakukan di 32 provinsi ada perlambatan implementasi, baik dilihat dari indikator sosial, ekologi dan ekonomi.

Terbitnya Perpres diharapkan akan  ada percepatan distribusi akses perhutanan sosial. Diharapkan target 12,7 juta ha dapat tercapai, tenaga pendamping perhutanan sosial sejumlah 25.000 orang dan peningkatan kualitas kelompok usaha perhutanan sosial.

Dalam Perpres ini  memuat perencanaan jangka menengah hingga tahun 2030 yang menjadi acuan para pihak dalam berkoordinasi, berkolaborasi dalam mencapai tujuan nasional melalui berbagi  peran, sumber daya dan tanggung jawab.

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup  dan  Kehutanan, Bambang Supriyanto mengungkapkan, perhutanan sosial lahir karena melihat 36,7% masyarakat yang tinggal   di     sekitar  hutan   hidup berada di  bawah garis kemiskinan. Bahkan sebelum tahun 2015, terjadi ketidakadilan akses pengelolaan hutan bagi pelaku ekonomi.

Dari 125 juta ha kawasan hutan, sekitar 43 juta telah diberikan hak kelola  kepada  perusahaan  seluas 42,6 juta  ha  (96%). Sementara hak kelola rakyat hanya seluas 400 ribu ha  atau  4%.   Ketimpangan  akses ini  mengakibatkan  akses produksi yang terbatas bagi masyarakat, sehingga banyak klaim yang berbuntut konflik dan berimplikasi hukum.

“Bahkan    kriminalisasi masyarakat penggarap kawasan hutan,”  ujar Bambang  kepada Tabloid  Sinar  Tani  di   Jakarta, beberapa waktu lalu. Karena itu hadirnya  program  Perhutanan Sosial menjadi angin segar bagi masyarakat yang tinggal di  25.863 desa yang ada di sekitar kawasan hutan.

Program Perhutanan Sosial memberikan   tiga   pilar  manfaat dan  fungsi.  Pertama,  pilar  sosial yaitu mampu menyelesaikan persoalan konflik tenurial melalui legalisasi  akses  kelola hutan  oleh masyarakat. Selain itu  memberikan pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah adatnya melalui lima skema   perhutanan   sosial   yakni hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,  kemitraan kehutanan dan hutan adat.

Kedua,     lanjutnya,     pilar ekonomi  yaitu  sebagai  solusi masalah  ekonomi.  Perhutanan sosial memberikan kesempatan penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan melalui usaha hasil hutan. “Perhutanan sosial akan menumbuhkan  sentra ekonomi lokal dan daerah,” kata Bambang.

Ketiga, pilar ekologi. Menurut Bambang, pilar ini  mempunyai manfaat   dan   fungsinya   sangat vital.  Secara   ekologi   perhutanan  sosial    akan     memulihkan masalah lingkungan dengan mengurangi kebakaran hutan, meningkatkan  tutupan  lahan, serta mengembalikan  kualitas lingkungan dan kelestarian hutan dengan partisipasi masyarakat.

Dengan target distribusi akses sebesar  12,7 juta ha, proporsi akses  kelola rakyat nantinya menjadi sebesar 30%. Harapannya ketimpangan akses dapat diselesaikan dan dengan proporsi yang cukup 1-2 ha/KK di  Jawa (budaya bertani) dan 4-5 ha/KK di luar Jawa (budaya pekebun).

Sampai    kini   capaian   akses kelola perhutanan sosial melalui pemberian SK Persetujuan Perhutanan  Sosial  sudah  seluas 4.929.380,01 ha dengan 7.494 unit SK dan  penerima manfaat 1.080.476 KK. SK tersebut telah ditindaklanjuti pengelolaannya dengan      pembentukan 9.219 Kelompok  Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).

Dampak Perhutanan Sosial

Bambang berharap, perhutanan sosial memberikan  dampak  nyata kepada masyarakat. Pertama, dampak jangka pendek yaitu perbaikan dan adaptasi sistem, tersedianya indikasi wilayah kelola dan perbaikan proses bisnis hutan sosial.

Selain   itu,     perbaikan    modal sosial, perbaikan akses masyarakat terhadap  lembaga   keuangan mikro,   pendampingan  dan  akses pasar terhadap produk masyarakat, serta peningkatan kapasitas manajemen masyarakat.

Sedangkan dampak jangka menengah yang akan dirasakan masyarakat  yaitu pengembangan ekonomi domestik, adanya sentra produksi hasil hutan, penurunan konflik tenurial (masyarakat dan perusahaan)   dan   kelestarian hutan. Dampak jangka panjang ialah terbangun pusat ekonomi domestik      dan      pertumbuhan desa sentra produksi hasil hutan berbasis desa yang menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan.

Pasca  persetujuan perhutanan sosial, Bambang  mengatakan, pemerintah terus mendorong masyarakat untuk  memanfaatkan dan mengoptimalkan tata kelola atas areal perhutanan  sosial yang telah diberikan melalui kelola kelembagaan   atau  kelompok, kelola kawasan dan  kelola usaha. Herman/Yul

Sumber. Artikel dari Tabloid Sinar Tani Pertanian Indonesia baru No 3945 Edisi 1 – 7 Juni 2020