Penting! Peran Pendampingan dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial

Program Perhutanan Sosial menjadi angin segar masyarakat sekitar hutan bisa mengelola hutan. Namun  dalam perjalanannya,  banyak masyarakat yang sudah mendapatkan izin masih belum bisa mengelola hutan secara maskimal. Karena itu, peran pendampingan menjadi sangat penting agar masyarakat bisa mengelola hutan dari hulu-hilir dan memberikan dampak ekonomi yang nyata sekaligus melestarikan hutan. 

Program Perhutanan Sosial memang bukan merupakan program baru di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, program yang awalnya lebih dikenal dengan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ini pada tahun 2015 menjadi salah satu program utama Presiden Jokowi untuk memberikan kesempatan pada masyarakat di sekitar hutan memiliki akses mengelola  hutan.

Bila dulu akses pengelolan hutan hanya diperuntukkan bagi korporasi, namun dengan adanya program Perhutanan Sosial, masyarakat sekitar hutan bisa mendapatkan hasil hutan dengan mengelolanya sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan.

Direktur Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dra. Jo Kumala Dewi, M.Sc mengatakan, pada periode pertama ada sekitar 12,7 juta hektar (ha) area hutan negara yang akan diberikan kepada masyarakat untuk diberikan akses kelola.

“Memang pada awalnya sempat disalahpahami bahwa hutan ini akan diberikan kepada masyarakat. Padahal bukan lahan hutannya, tapi akses kelolanya. Akses kelola yang diberikan itu selama 35 tahun kepada masyarakat,“ ujarnya.

Sejak 2015 hingga saat ini, Jo Kumala Dewi mengatakan, sudah sekitar 4,9 juta ha lahan yang diberikan izin pengelolaanya kepada lebih dari 1 juta KK dengan lebih dari 7.400 Surat Keputusan (SK) Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Ditengah animo masyarakat dalam pengelolaan Perhutanan Sosial ini masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama dalam hal pendampingan. Kumala Dewi mengaku, banyak masyarakat yang kebingungan ketika mendapatkan ijin mengelola lahan yang luas untuk jangka panjang.

“Pengelolaannya harus benar-benar. Dalam pengelolaan secara keilmuan ada tiga. Pertama kelola kelembagaan, kemudian kelola kawasannya, yaitu fisik hutannya. Ketiga Kelola Usaha. Sehingga seringkali, pak Jokowi didalam event penyerahan SK selalu mengatakan jangan kelolanya secara konvensional,” ujarnya.

Peran Pendampingan

Karena itu peran pendampingan kepada masyarakat yang mendapatkan ijin pengelolaan hutan menjadi sangat penting. Pendampingan diperlukan agar masyarakat yang mendapatkan ijin hanya mengelola lahan secara konvensional namun harus menjadi bisnis Perhutanan Sosial.

Penampingan diperlukan dalam hal pengembangan usaha Kehutanan Sosial, terutama pendampingan cara menyusun rencana kelola bertahap mulai dari 1 tahun, 10 tahun hingga 35 tahun. Setelah memiliki RKPS masyarakat bisa membuat kelompok usaha untuk mendorong komoditas unggulan daerahnya.

“Bagaimana para pemegang ijin itu bisa menjadi businessman yang bergerak di bidang agroforestry. Silvopasture dan silvofishery kalau di pesisir, karena itu diaturlah ada kewajiban pemerintah memberikan pendampingan,” ungkapnya.

Kumala Dewi juga tak menyangkal jika pendamping (penyuluh kehutanan) yang saat ini berjumlah 1.510 dirasa masih sangat kurang. Seharusnya menurutnya, satu orang mendampingi 1 SK. Saat ini di lapangan ternyata tiap satu pendamping bisa lebih dari 1 SK.

“Jadi pendamping pemerintah bisa dibilang penyuluh kehutanan yang pegawai negeri, ada juga yang PKSN swadaya masyarakat, ada juga yang bakti rimbawan. Nah istilahnya pendamping pemerintah itu terdiri dari itu,” tuturnya.

Namun demikian kata Kumala Dewi, di luar pendamping tersebut pihaknya sedang mencoba membuat terobosan dengan kolaborasi pendampingan dengan penyuluh pertanian, penyuluh desa, bahkan penyuluh sosial BPK, dan kelautan perikanan.

Bukan hanya  penyuluh, pendampingan Perhutanan Sosial juga bisa dilakukan berbagai pihak. Dari mulai akedemisi dengan berbagai program inovasi mahasiswa dan sebagainya, LSM, dunia usaha dengan CSRnya hingga petani milenial yang kini sukses dengan berbagai terobosan dibidang  pengolahan hasil pertanian.

Diungkapkan Jo Kumala Dewi, petani milenial bisa memberikan pendampinan kepada para masyarakat dalam mengelola hasil hutan mulai dari mengolah, mengemas, hingga memasarkannya. Artinya, pendampingan jangan hanya dibayangkan sebagai pendampingan yang harus melekat secara terus menerus. Pendampingan bisa dengan konsep bermitra antara pendamping dengan masyarakat pengelola Perhutanan Sosial.

“Saya sudah sempat bicara dengan Sandy Okta, ketua petani millenial. Saya juga pernah coba dengan salah satu petani milenia di Makassar, kita ngobrol dengan para pendamping dari Maluku, Papua dan Makasar,” tambahnya.

Menurut Kumala Dewi, masih banyaknya permasalahan dalam pengelolaan Perhutanan Sosial. Ada beberapa lokasi yang sudah berhasil dan bisa dijadikan contoh. Seperti beberapa destinasi wisata di lokasi Perhutanan Sosial yang bukan hanya dijual hasil hutannya. Salah satunya destinasi wisata Aik Beriak di Lombok, NTB.

Memang kata Kumala Dewi, secara alam ada dalam hutan, hanya selama ini tidak dikelola dengan baik karena tidak  ada aksesnya. Namun ketika diberikan kepada masyarakat dan dikelola dengan baik, lalu dibuat akses jalannya dan kemudian masuk kulinernya, banyak wisatawan yang datang. “Masih banyak lagi hasil pengelolaan PS yang berhasil dan bisa dijadikan contoh,” ungkapnya.

Sumber artikel: https://tabloidsinartani.com/detail/indeks/agri-penyuluhan/20088-Penting-Peran-Pendampingan-dalam-Pengelolaan-Perhutanan-Sosial