KHDPK: Cara Baru Mengelola Hutan Jawa

Halo

Pada 18 Mei 2022, sekitar 4.000 karyawan Perum Perhutani berdemonstrasi ke kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka menolak kebijakan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).

Melalui kebijakan ini pemerintah hendak mengambil alih 1,1 juta hektare areal hutan Jawa, atau 49% dari luas hutan yang selama ini dikelola Perhutani, sejak zaman Belanda. Para karyawan khawatir kebijakan KHDPK akan mempengaruhi mereka. Para karyawan bahkan khawatir kebijakan baru ini mengancam kelestarian hutan Jawa.

Kekhawatiran para karyawan beralasan karena pemerintah belum melakukan sosialisasi KHDPK secara menyeluruh. Isu KHDPK baru sebatas obrol-obrolan, isu, dan bahan omong-omong, terutama setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan SK 287/2022 pada 5 April 2022 tentang luas KHDPK di tiap provinsi.

Di mana lokasi 1,1 juta hektare belum terang benar. Namun, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto dan Direktur SDM Perhutani Deni Ermansyah menegaskan bahwa KHDPK tak akan diikuti oleh pemecatan. Karyawan yang terdampak KHDPK akan disalurkan menjadi pendamping perhutanan sosial—satu skema yang diakomodasi dalam KHDPK.

KHDPK merupakan mandat UU Cipta Kerja dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang diturunkan dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan. Pemerintah beralasan, kebijakan KHDPK merupakan cara memperbaiki tata kelola hutan Jawa sekaligus memperbaiki performa bisnis Perhutani.

Selama ini BUMN kehutanan ini terbebani oleh pelbagai konflik sosial di areal garapan mereka. Tekanan masyarakat kepada hutan Perhutani melahirkan konflik tenurial yang tak mudah diselesaikan. Izin Pengelolaan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) dan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) yang menjadi skema perhutanan sosial di Jawa dianggap belum maksimal memberikan nilai tambah hutan Jawa kepada aspek ekonomi, sosial, dan ekologi.

KHDPK datang dengan tujuan menarik masalah Perhutani menjadi urusan pemerintah pusat. Sehingga, Perhutani akan fokus menggarap bisnis mereka sebagaimana umumnya perusahaan publik yang mendapat mandat memberikan dividen kepada negara. Relevankah tujuan ini? Bagaimana implementasinya? Bagaimana mencegah para penunggang gelap memanfaatkan celah kebijakan ini?

Kami mengulasnya dalam beberapa artikel. Selamat membaca.

Salam lestari,

Siti Sadida Hafsyah,
Redaktur
redaksi@forestdigest.com

artikel diambil dari forestdigest.com

Wamen LHK: FoLU Net-Sink 2030, Langkah Maju Indonesia untuk Penanganan Perubahan Iklim

SIARAN PERS
Nomor: SP.130 /HUMAS/PPIP/HMS.3/05/2022

Keseriusan Indonesia untuk urusan penanganan isu perubahan iklim, tergambar pada inisiasi “Indonesia FoLU Net-Sink 2030”. Komitmen ini merupakan pencanangan pencapaian penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya atau FoLU (Forestry and other Land Use). Suatu kondisi dimana tingkat serapan sudah berimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi sektor FoLU terkait pada tahun 2030.

Langkah maju dari sektor FoLU salah satunya adalah dengan keluarnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 168 tentang FoLU NetSink 2030 untuk pengendalian perubahan iklim pada tanggal 24 Februari 2022.

“Melalui Kepmen LHK Nomor 168 Tahun 2022 ini, pemerintah menunjukkan keseriusan untuk mengusung konsep ‘Indonesia FoLU Net Sink 2030’ sebagai sebuah pendekatan dan strategi dimana pada tahun 2030, tingkat serapan emisi sektor FoLU ditargetkan sudah berimbang atau lebih tinggi dari pada tingkat emisinya (Net Sink),” demikian disampaikan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong dalam webinar Green Economy Indonesia Summit 2022: The Future Economy of Indonesia, Rabu (11/05), di Jakarta.

Selanjutnya, dikatakan Alue Dohong setelah 2030 Sektor FoLU ditargetkan sudah dapat menyerap GRK bersamaan dengan kegiatan  penurunan emisi GRK dari aktivitas transisi energi atau dekarbonisasi serta kegiatan eksplorasi sektor lainnya, tidak terkecuali sektor pertanian.

“Dengan komitmen sektor FoLU yang ditargetkan dapat menurunkan hampir 60% dari total target penurunan emisi nasional, diharapkan ini dapat menjadi pondasi atau landasan untuk mencapai netral karbon/net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat,” tegas Alue Dohong dalam webinar yang diikuti lebih dari 2.500 peserta secara virtual.

Di samping FoLU, Pemerintah juga telah menyusun Strategi Implementasi NDC pada tahun 2017, ditindak-lanjuti dengan penyusunan Road Map NDC Mitigasi pada tahun 2019. Pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia juga menyampaikan update NDC dan menyusun strategi jangka panjang pembangunan rendah karbon berketahanan iklim (Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050 atau LTS-LCCR 2050) dan telah disampaikan ke Sekretariat UNFCCC pada Juli 2021 sebelum pelaksanaan COP 26 UNFCCC di Glasgow pada November 2021 kemaren. Penyampaian ini sesuai dengan Keputusan 1/CP.21 Pasal 4 Ayat 19 UNFCCC, yang memandatkan negara yang meratifikasi Paris Agreement untuk menyusun rencana jangka panjang rendah emisi karbon berketahanan iklim (LTS-LCCR).

“Bapak Presiden Jokowi juga telah menyampaikan target Indonesia untuk mencapai Net-Zero Emission pada tahun 2060 atau sedapat-dapatnya lebih awal. Arahan Bapak Presiden kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sangat jelas, bahwa kita menjanjikan yang bisa kita kerjakan, tidak boleh hanya retorika, karena kita bertanggung jawab pada masyarakat kita sendiri sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” tegasnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato yang hadir sebagai pembicara kunci dalam webinar ini, menyampaikan bahwa pengendalian perubahan iklim juga menjadi bagian dari agenda G20, dimana salah satunya adalah transisi energi.

“Di dalam transisi energi terkait juga dengan pembangunan rendah karbon. Pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan selain untuk upaya pencapaian target penurunan emisi juga perolehan dukungan finansial yang bisa mempercepat energi rendah karbon,” ungkap Airlangga.

Selain transisi energi, dikatakan Airlangga, untuk pembangunan lain berbasis hijau, pemerintah juga mendorong carbon capture dan storage. Pembangunan ini termasuk di dalamnya industri berbasis gasifikasi seperti yang ada di Sumsel dan Kaltim, dan akan dibangun prototype carbon capture dan storage di Pulau Jawa.

“Diharapkan kita bisa menghitung nilai serapan karbon yang dihasilkan sehingga target penurunan emisi 29% tahun 2030 dapat segera tercapai,” jelas Airlangga.

Turut hadir dalam webinar ini Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ego Syahrial, Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR Diana Kusumastuti, Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri Kemenperin Doddy Rahadi, dan perwakilan dunia usaha serta peserta webinar.

Sumber: https://www.menlhk.go.id/site/single_post/4769/wamen-lhk-folu-net-sink-2030-langkah-maju-indonesia-untuk-penanganan-perubahan-iklim