Suku Punan Batu dan Upaya Pemkab Bulungan

Suku Punan Batu dan Upaya Pemkab Bulungan

Baca selengkapnya di korankaltara.com

Mendapat Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, Terima Anugerah Kalpataru

TANJUNG SELOR, Koran Kaltara – Suku Punan Batu Benau Sajau menjadi salah satu topik perbincangan masyarakat dalam beberapa pekan terakhir. Setelah mendapat pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) dari Pemkab Bulungan pada tahun 2023, Suku Punan Batu Benau Sajau menerima penganugerahan Kalpataru 2024 Kategori Penyelamat Lingkungan, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 5 Juni 2024.

Kalpataru sendiri merupakan penghargaan tertinggi di bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diberikan pemerintah kepada individu maupun kelompok, yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan, dan membina Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dari catatan media, keberadaan masyarakat Punan Batu Benau memang menjadi perhatian khusus Pemkab Bulungan. Pada  6 Juni 2023, Bupati Bulungan, Syarwani, secara langsung menyerahkan Surat Keputusan (SK) Perlindungan Masyarakat Hukum Adat pada masyarakat Punan Batu di Liang Meriam, area Gunung Batu Benau.

“Saya atas nama pribadi dan Pemerintah Kabupaten Bulungan turut berbangga dan mengucapkan selamat atas diraihnya penghargaan Kalpataru tahun 2024. Hal tersebut selaras dengan komitmen Pemda Bulungan menjalankan program pembangunan berkelanjutan,” kata Syarwani kala itu.

Syarwani menyampaikan terimakasih kepada Kementerian LHK atas apresiasinya terhadap MHA Punan Batu Benau Sajau. “Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada seluruh mitra strategis yang selama ini membantu Pemkab Bulungan dalam mendukung keberadaan masyarakat hukum adat Punan Batu Benau Sajau,” jelasnya.

Menurut Bupati, MHA Punan Batu Benau Sajau memang layak mendapat penghargaan tersebut. Mereka selama ini telah terbukti aktif dalam melaksanakan upaya penyelamatan lingkungan, utamanya berdasarkan kearifan lokal.

“MHA Punan Batu Benau Sajau selama ini komitmen menyelamatkan lingkungan. Mereka menjaga kelestarian hutan adat di sepanjang tepian Hulu Sungai Sajau dan hutan di sekeliling Gunung Benau,” ungkapnya.

Syarwani berharap penghargaan ini menjadi penyemangat bagi MHA Punan Batu Benau Sajau dan kelompok MHA lain, utamanya dalam menjaga dan melindungi kelestarian hutan dan lingkungan.

Paska penerimaan Kalpataru, Pemkab Bulungan melangsungkan acara Taklimat Media bertajuk Legalitas Hutan Adat Untuk Perlindungan MHA Punan Batu Benau Sajau di Jakarta (6/6). Dalam kesempatan itu, Bupati Syarwani menyatakan untuk menjamin kelangsungan wilayah jelajah dan ruang hidup mereka.

Pemkab Bulungan disebut sedang memperjuangkan proses peralihan status wilayah jelajah dan ruang hidup MHA Punan Batu Benau Sajau menjadi Hutan Adat.

“Pemkab Bulungan siap mendukung proses dan tahapan selanjutnya bagi warga Punan Batu, agar wilayah mereka yang luasnya mencapai 18 ribu hektar bisa mendapat status sebagai hutan adat,” kata Syarwani.

Selain itu, MHA akan memiliki otoritas dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan dan orisinalitas adat budaya mereka. “Ketika sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan adat, siapapun datang tentu berlaku mengikuti hukum adat yang dipegang,” kata Syarwani (12/6).

Pihak luar nantinya wajib menghormati aturan adat yang ditetapkan Suku Punan Batu Benau Sajau. “Ketika masyarakat menyatakan orang luar yang masuk harus menggunakan pakaian seperti yang mereka pakai, saya (bupati) pun harus menghormati,” ujarnya.

Perwakilan MHA Punan Batu Benau Sajau, Makruf mengatakan, impian dia bersama kelompoknya adalah hutan tempat hidup mereka bisa terjaga dan tetap utuh. Setelah menerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Makruf berharap wilayah jelajah dan ruang hidup mereka bisa ditetapkan sebagai Hutan Adat.

“Penetapan ini penting untuk memastikan luas kawasan hutan tidak semakin berkurang atau tidak beralih fungsi. Saat ini wilayah hidup kami semakin terbatas, semoga kami bisa mendapat jaminan atas hutan yang merupakan tempat tinggal kami,” kata Makruf yang hadir bersama temannya bernama Samsul dalam acara Taklimat Media.

Hadirkan Kemajuan Tanpa Hilangkan Orisinalitas dan Kearifan Lokal

Pemkab Bulungan menggelar Konvoi Piala Penghargaan di seputar Kota Tanjung Selor (12/6). Perayaan yang dimulai dari Kantor Pemkab Bulungan dan berakhir di Hutan Kota Bunda Hayati, mengikutsertakan puluhan warga MHA Punan Batu Benau Sajau. Mereka hadir dengan menggunakan pakaian khas adat mereka.

Saat diwawancarai media, Syarwani mengatakan, Pemkab Bulungan berkomitmen untuk menghadirkan kemajuan tanpa menghilangkan orisinalitas dan kearifan lokal MHA Punan Batu Benau Sajau.

“Perubahan dan kemajuan adalah sebuah keniscayaan, tapi kami berkomitmen agar orisinalitas dan kearifan lokal masyarakat hukum adat dipertahankan,” kata Syarwani (12/6)

“Kami memahami tidak mungkin memaksakan ukuran kebahagiaan kita dengan saudara saudara kita di Masyarakat Hukum Adat Punan Batu Benau Sajau,” jelasnya melanjutkan.

Pemkab akan terus memberikan perlindungan terhadap keberlangsungan MHA Punan Batu Benau Sajau. Utamanya dalam pemenuhan pelayanan sosial dasar, yakni bidang kesehatan dan pendidikan. Namun demikian, konsep pelayanan akan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

“Kami tidak membangun dalam konsep harus mendirikan puskesmas, tidak mesti harus pembangunan seperti itu, tetapi menerjunkan petugas kesehatan secara periodik dan berkala, terjadwal, itu bagian komitmen dalam memberikan pelayanan kesehatan,” paparnya.

Lanjut dia, konsep penyelenggaraan sekolah rimba lebih dimungkinkan daripada kegiatan belajar mengajar secara formal. Pemkab nantinya akan menyusun formulasi agar anak usia sekolah di MHA Punan Batu Benau Sajau, tetap bisa mengakses layanan pendidikan.

“Konsep membangun sekolah rimba menjadi komitmen dalam memenuhi kewajiban pemerintah daerah sesuai apa yang diamanatkan undang undang dasar, tanpa menghilangkan identitas di sana,” bebernya.

Formulasi dan strategi yang tetap diakui menjadi kunci pemenuhan perlindungan bagi MHA Punan Batu Benau Sajau. Pemkab tidak bisa menyamakan lokasi tempat tinggal mereka dengan masyarakat pada umumnya.

“Kita khawatir apabila infrastruktur dan fasilitas dibangun di sana, memang memudahkan akses dari luar untuk mendatangi, tapi itu bisa jadi merusak orisinalitas dan kearifan lokal mereka sebagai MHA Punan Batu Benau Sajau,” ujarnya.

Pemkab Bulungan juga sedang merumuskan pendampingan kegiatan perekonomian dan ketersediaan pangan.

“Kami juga merumuskan strategi pengembangan ekonomi jangka panjang yang bisa diterima dan diterapkan Masyarakat Hukum Adat Punan Batu di sana,” ujar Bupati.

Perkenalkan Geopark Batu Benau kepada Masyarakat

Pemkab Bulungan dengan Komunitas Begimpor Malom dan Yayasan Konvervasi Alam Nusantara (YKAN), menggelar olahraga lari dengan tema Begimpor De Benuanta 2024 Run 5K, bertempat di halaman Kantor Bupati Bulungan, Sabtu (8/6).

Bupati Bulungan Syarwani, S.Pd., M.Si saat melepas peserta Begimpor De Benuanta 2024 Run 5K mengatakan, jika kegiatan tersebut selain upaya mengajak masyarakat Bulungan untuk membudayakan kegiatan olahraga juga merupakan upaya memperkenalkan Geopark Batu Benau.

Menurutnya, Taman Bumi (aspiring Geopark) Batu Benau Sajau adalah kekayaan alam Kabupaten Bulungan, yang tidak ada duanya di dunia.

“Dalam kawasan Geopark Batu Benau ada catatan prasejarah, ada masyarakat adat, dan berlimpahnya keanekaragaman hayati, ini adalah harta Bulungan yang berharga,”ujar bupati.

Pemerintah Kabupaten Bulungan bersama dengan mitra strategisnya dalam sepekan terakhir menggelar serangkaian kegiatan untuk mendukung penetapan kawasan Geopark Batu Benau.

Salah satu prasyarat pengakuan Taman Bumi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) adalah pemahaman masyarakat setempat tentang keberadaan warisan geologi ini.

“Kegiatan Begimpor ini diharapkan memberikan pemahaman dan edukasi pada masyarakat jika kita memiliki kekayaan alam berupa gugusan karst (batu gamping) di Batu Benau Sajau,”jelasnya.

Dipaparkan, Masyarakat Punan Batu sejak April 2023 sudah mendapatkan pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat dari Pemkab Bulungan. Suku Dayak Punan Batu Benau merupakan satu-satunya suku pemburu dan peramu aktif terakhir di Pulau Kalimantan.

Populasi mereka sekitar 106 jiwa hidup secara nomaden (berpindah-pindah) dengan daya jelajah sepanjang 18.497 hektare. Pada bentang alam tersebut, terdapat kawasan karst yang sedang diusulkan menjadi Taman Bumi Batu Benau Sajau.

“Karst ini tak hanya penting untuk tempat tinggal warga Punan Batu, melainkan juga cadangan karbon dan penyimpan air bagi Bulungan,” kata bupati.

Gunung Batu Benau diharapkan menjadi taman bumi pertama di Provinsi Kalimantan Utara. Taman bumi  adalah wilayah geografis tunggal atau gabungan, yang memiliki situs warisan geologi (Geosite) dan bentang alam yang bernilai, terkait aspek Warisan Geologi (Geoheritage), Keragaman Geologi (Geodiversity), Keanekaragaman Hayati (Biodiversity), dan Keragaman Budaya (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengembangan Taman Bumi (Geopark).

Sebagai syarat utama pengusulan geopark, Gubernur Kalimantan Utara telah mengajukan sebelas titik keragaman geologi untuk ditetapkan sebagai Warisan Geologi Nasional oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Selain itu, Gubernur Kaltara  juga telah membentuk tim penyusun dokumen usulan Taman Bumi yang terdiri dari unsur Organisasi Perangkat Daerah (OPD) provinsi dan kabupaten, perguruan tinggi, lembaga non-pemerintah, dan tokoh masyarakat.

Ditambahkan, Manajer Senior Program Terestrial YKAN Niel Makinuddin menyatakan Taman Bumi Batu Benau adalah aset, warisan, kekayaan, dan berkah untuk warga Bumi Benuanta.

“Kini tinggal, masyarakat Bulungan dan masyarakat Kaltara, untuk terus menggaungkan dan kemudian mengelola taman bumi ini, “ujar Niel Makinuddin.

Empat Usulan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Berproses

Pemerintah Kabupaten Bulungan sedang memproses empat usulan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) saat ini. Demikian disampaikan Bupati Bulungan, Syarwani.

Dia menjelaskan, salah satu usulan berasal dari Desa Punan Dulau yang ada di Kecamatan Sekatak. Secara teknis, Pemkab Bulungan sudah memiliki Perda Nomor 12 Tahun 2016 yang mengatur mekanisme pengakuan MHA tersebut.

“Kami sudah memiliki mekanisme sesuai amanat perda tersebut yang harus dipenuhi bersama, salah satunya soal pembentukan panitia,” kata Syarwani (12/6).

Empat usulan pengakuan MHA disebut sudah memenuhi persyaratan secara administratif. Pemkab dipastikan memberi perlakuan sama terhadap seluruh usulan yang masuk.

“Apa yang kita berikan kepada Suku Punan Batu Benau Sajau terkait dengan MHA, itu akan sama persis diterima saudara kita lainnya yang mengusulkan pengakuan dan perlindungan sebagai MHA di Bulungan,” paparnya.

“Selain di Desa Punan Dulau, ada satu usulan lain di Kecamatan Sekatak, kemudian ada dari daerah Sajau,” jelas Syarwani melanjutkan.

Jabatan Ketua Panitia MHA diisi oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bulungan, Risdianto. Selain persoalan administratif kewilayahan, masyarakat yang mengajukan pengakuan MHA, harus bisa menunjukkan komitmen menjaga kelestarian alam dan adat istiadat mereka.

“Poin poin tersebut yang harus komitmen untuk dipenuhi. Ada juga beberapa syarat lainnya yang diatur dalam pedoman teknis, leading sector nya ada di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Bulungan,” pungkasnya. (*)

Reporter: Agung Riyanto

Redaktur: Nurul Mujib Lamunsari

Sumber: korankaltara.com

Idi Bantara, Kisah Diplomasi Avokad di Gunung Balak

Oleh VINA OKTAVIA
Baca Selengkapnya di kompas.id

Idi Bantara (57) lega, kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak, Lampung, kini mulai rimbun dengan pohon avokad. Tanaman itu juga menjadi jalan kesejahteraan bagi petani. Perjuangan Idi mengajak masyarakat bergerak melestarikan alam berbuah penghargaan Kalpataru.

Idi Bantara

Petani di kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak kini lebih sejahtera. Mereka juga mulai mempunyai kesadaran untuk merimbunkan kembali kawasan hutan dengan berbagai jenis tanaman berkayu.

Geliat konservasi itu tampak kontras jika dibandingkan dengan kondisi sebelum tahun 2020. Kala itu, petani menolak keras program Perhutanan Sosial yang ditawarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. Petani malah acap kali menuntut pelepasan status kawasan hutan lindung Gunung Balak.

Sebagian besar petani menanam jagung dan tanaman hortikultura lainnya. Mereka juga mendirikan permukiman. Berbagai fasilitas pendidikan dan kantor pemerintahan desa juga berdiri di sana. Area yang berstatus hutan lindung itu tidak lagi berbentuk hutan.

Melihat persoalan tersebut, Idi mencoba menganalisis penyebabnya. Rentetan konflik di kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak membuat masyarakat antipati dengan petugas kehutanan.

Menilik sejarahnya, pembukaan kawasan hutan Gunung Balak oleh masyarakat sudah terjadi sejak tahun 1963. Meski berstatus hutan lindung, sudah banyak desa definitif di dalam kawasan hutan.

Pada tahun 1980, pemerintah mencanangkan program reboisasi besar-besaran dan meminta masyarakat keluar dari hutan lewat program transmigrasi lokal. Namun, beberapa tahun kemudian, pembukaan lahan oleh masyarakat pendatang kembali terjadi.

Pembukaan lahan yang masif selama puluhan tahun itu menimbulkan konflik, baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antarmasyarakat penggarap lahan. Hal itulah yang membuat petani setempat selalu menolak kedatangan petugas kehutanan.

Karena itulah, saat pertama kali masuk ke Gunung Balak, Idi tidak mengaku sebagai Kepala Balai Pengelolaan (BP) Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Seputih Way Sekampung. Idi berpura-pura sebagai warga biasa yang hendak membeli tanaman jagung.

Dari situ, ia kemudian mencari kenalan petani setempat. Ia sering datang ke sana untuk sekadar ngopi bareng petani sembari membahas tentang tanaman dan masa depan kawasan hutan seluas 22.072,19 hektar tersebut.

Seorang petani menunjukkan buah avokad hasil panen dari dalam kawasan hutan KPH Gunung Balak, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, saat acara festival wisata hutan di Bandar Lampung, Senin (3/7/2023).

uatu hari, ia dikenalkan dengan petani bernama Anto Abdul Mutholib (kini almarhum). Anto mempunyai pohon avokad yang tumbuh di dekat rumahnya di kawasan Register 38.

Pohon avokad itu ternyata sudah berusia sekitar 40 tahun. Pohonnya tinggi besar dan berbuah lebat. Dari cerita pemiliknya, avokad itu pernah menghasilkan 1 ton buah dalam setahun. Pohonnya juga bisa tumbuh di berbagai ketinggian, mulai di wilayah dengan ketinggian 10 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga 1.300 mdpl.

Karakter buah avokadnya juga istimewa. Buahnya besar, daging buahnya berwarna kuning, rasanya legit, lumer, dan tidak memiliki garis-garis hitam pada daging buah.

”Avokad ini anugerah yang luar biasa untuk Lampung. Saat itu saya tawarkan kepada petani untuk mengembangkan tanaman avokad di kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak,” kata Idi saat ditemui di Bandar Lampung, Kamis (30/5/2024).

Diplomasi avokad

Setelah mendapat kepercayaan dari para petani, Idi baru membuka identitasnya sebagai Kepala BP DAS Way Seputih Way Sekampung. Ia kemudian mengajak sembilan petani untuk membuat kebun percontohan avokad di lahan seluas 15 hektar. Biaya penanaman avokad itu ditanggung BP DAS Way Seputih Way Sekampung.

Satu tahun berjalan, pohon avokad yang ditanam oleh para petani binaan Idi sudah berbuah. Produksi avokad yang berusia lebih dari 3 tahun sudah mencapai 100-200 kilogram per batang per tahun. Bahkan, saat ini banyak petani yang menanam pohon avokad dengan biaya mandiri.

”Melihat kesuksesan panen avokad, banyak petani hutan yang akhirnya mau belajar membuat bibit dan menanam alpukat secara swadaya,” katanya.

Hingga saat ini, tanaman avokad yang ditanam lewat program rehabilitasi hutan dan lahan di Register 38 Gunung Balak seluas 997 hektar. Setidaknya sudah ada 393.800 batang pohon avokad yang ditanam lewat bantuan pemerintah.

Tak hanya itu, luas lahan yang sudah ditanami avokad secara swadaya oleh masyarakat mencapai 1.000 hektar. Luas lahan yang ditanami avokad masih akan terus bertambah setiap tahun.

Hasil stek bibit buah tanaman avokad jenis pluwang di Desa Sokanandi, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Rabu (29/1/2020). Avokad jenis pluwang saat ini banyak dikembangkan karena buahnya berukuran besar dan harga jual tinggi.

Saat ini, alpukat lokal Lampung itu telah dipatenkan dengan nama Avokad Ratu Puan. Ratu Puan adalah singkatan dari rangkaian tugas program unggulan agroforestri nasional.

Pengembangan tanaman avokad oleh petani di kawasan Register 38 Gunung Balak yang dirintis Idi itu pun menjadi solusi konflik di Register 38 Gunung Balak. Dinas Kehutanan Lampung akhirnya dapat mendorong masyarakat bermitra lewat skema perhutanan sosial.

Sejak saat itu, petani mengelola kawasan hutan dengan menerapkan sistem agroforestri atau pengelolaan lahan yang memadukan tanaman kayu dan tanaman pertanian. Selain untuk menjaga ekologi dan mengatasi masalah alih fungsi lahan, sistem ini juga untuk mendukung ketahanan pangan.

Jenis pohon yang bisa ditanam antara lain avokad, durian, petai, karet, dan kakao. Petani juga masih diizinkan menanam cabai, rempah, dan tanaman hortikultura sebagai tanaman sela.

Hingga tahun 2024, ada lima gabungan kelompok tani yang mendapat izin mengelola perhutanan sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Luas lahan yang sudah dimitrakan sekitar 3.437 hektar dengan jumlah petani sebanyak 1.811 keluarga.

Kesuksesan pengembangan avokad di Register 38 Gunung Balak juga membuat kawasan itu menjadi daerah percontohan nasional dan internasional. Tak terhitung sudah berapa banyak tamu dari sejumlah provinsi di Indonesia yang melakukan studi banding ke sana. Selain itu, ada pula tamu dari sejumlah negara di Asia tertarik melihat kesuksesan pengembangan avokad di Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak.

Sebagai Kepala BP DAS Way Seputih Way Sekampung, Idi juga mendorong program penanaman satu juta pohon setiap tahun di dalam kawasan hutan. Upaya itu dilakukan dengan memberikan bibit gratis kepada petani hutan di Lampung.

Kompos blok

Selain membantu menghijaukan kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak, Idi juga berinovasi membuat kompos blok dari kotoran gajah dan sapi. Inovasi itu muncul saat ia mendapat curhatan dari pengelola Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, beberapa tahun silam.

Menurut Idi, kala itu, limbah kotoran gajah sering kali menumpuk dan belum dimanfaatkan dengan baik. Selain menimbulkan bau tidak sedap, tumpukan dari kotoran satwa dilindungi itu juga mengganggu kebersihan lingkungan sekitarnya dan berpotensi menimbulkan penyakit.

Dari situ, Idi berpikir untuk memanfaatkan kotoran gajah menjadi kompos. Namun, berbeda dari kompos pada umumnya, ia mengolah kotoran gajah itu dan mencetaknya menyerupai balok dengan lubang pada bagian tengahnya. Kompos blok itu dapat dimanfaatkan sebagai media tanam alami sekaligus pupuk yang baik untuk tanaman.

Ia membimbing petani di sekitar kawasan hutan untuk membuat kompos blok. Selain kotoran gajah, kompos blok itu juga dapat dibuat dari kotoran sapi yang banyak terdapat di Lampung.

Baca juga: Munajat, Percik Cinta bagi Anak Terdampak Terorisme

Idi pertama kali bertugas di Lampung sebagai Kepala Seksi Kelembagaan BP DAS Way Seputih Way Sekampung pada tahun 2012. Ia sempat pindah tugas ke Bangka Belitung selama sekitar dua tahun sebelum akhirnya kembali bertugas di Lampung pada tahun 2019.

Selama ini, Idi sering diundang sebagai pembicara di berbagai kegiatan. Kegigihannya mendampingi petani untuk melestarikan alam berbuah penghargaan Kalpataru untuk kategori pengabdi lingkungan. Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Jakarta, pada 5 Mei 2024. Selain Idi, ada sembilan orang lain yang juga mendapat penghargaan atas dedikasi mereka terhadap pelestarian lingkungan hidup.

Setelah pensiun, Idi berencana pulang ke Solo dan melanjutkan proyek mandiri pengembangan kebun genetik. Selama puluhan tahun menjadi petugas kehutanan, ia telah banyak bertemu dengan petani hutan. Dari mereka, Idi menemukan sejumlah bibit unggul untuk berbagai jenis tanaman, mulai dari avokad, durian, hingga padi.

Menjelang purnatugas, Idi berharap kondisi hutan di Lampung semakin baik di masa depan. Menurut dia, tantangan pemulihan ekosistem alam saat ini tidak hanya di dalam kawasan hutan. Alih fungsi lahan yang masif di luar kawasan hutan juga membuat alam semakin kritis.

Namun, ia meyakini, kelestarian alam akan berbanding lurus dengan kesejahteraan yang akan dirasakan manusia. Jika ingin hidup sejahtera, setiap manusia punya kewajiban menjaga kelestarian alam dengan cara paling sederhana. Menanam pohon dan merawatnya.

Editor: DWI AS SETIANINGSIH

Komang Anik Sugiani, Peraih Penghargaan Kalpataru Perintis Lingkungan 2024 asal Buleleng

Baca Selengkapnya di nusabali.com

Konsisten Kelola Sampah, Berdayakan Anak-anak hingga IRT

www.nusabali.com-komang-anik-sugiani-peraih-penghargaan-kalpataru-perintis-lingkungan-2024-asal-buleleng

SINGARAJA, NusaBali
Campur tangan perempuan dalam pelestarian lingkungan tidak perlu diragukan. Komang Anik Sugiani, wakili sosok perempuan inspiratif asal Buleleng yang mampu membuktikan diri. Melalui Yayasan Proyek Jyoti Bali yang secara konsisten mengelola sampah untuk kelestarian lingkungan, mengantarkannya meraih penghargaan Kalpataru 2024, kategori Perintis Lingkungan. Penghargaan itu diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.
Anik saat mengisi acara Podcast Dinas Kominfosanti Buleleng, Selasa (16/7) menjelaskan kepeduliannya terhadap lingkungan sudah dimulai sejak tahun 2009 silam. Saat itu perempuan kelahiran Tajun, 3 Maret 1990 ini berkomitmen untuk memulainya dari diri sendiri. Dia pun mulai mengumpulkan sampah plastik untuk diolah menjadi barang ekonomis.
Seiring berjalannya waktu, dia ingin mengimbaskan praktik baik pengelolaan sampah kepada lingkungan sekitarnya. Hingga pada tahun 2016, dia membentuk komunitas peduli lingkungan dan pada tahun 2020 mendirikan Yayasan Proyek Jyoti Bali yang bermarkas di Desa Mengening, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng.
“Awalnya banyak yang menganggap kegigihan saya mengelola sampah ini gila. Tapi saya yakin sampah bisa menjadi hal berharga,” ucap Anik. Wakil Direktur III Bidang Kemahasiswaan di Politeknik Ganesha Guru Bali, dalam yayasan tersebut memberdayakan Ibu Rumah Tangga (IRT) dan juga anak-anak di Desa Mengening untuk mengelola sampah plastik.
Anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Ketut Suasa dan Komang Suwedini ini menyebut pemberdayaan anak-anak, merupakan upaya edukasi dan penanaman karakter sejak dini untuk peduli pada lingkungan. Sedangkan IRT juga diajak mengelola sampah untuk mendapatkan manfaat ekonomis, pendapatan tambahan dari mengelola sampah plastik.
Kini Yayasan Proyek Jyoti Bali mengelola sekitar 24,6 ton sampah plastik per tahun dengan bantuan mesin pencacah plastik dari Pertamina Foundation. Selain plastik cacah, sampah-sampah plastik itu juga disulap menjadi produk-produk bernilai ekonomi dan bermanfaat. Seperti sofa dari ecobrick dan bantal dari cacahan plastik, telah dipasarkan hingga luar Bali.
Yayasannya bekerja sama dengan berbagai komunitas dan pemerintah desa dalam menjalankan program gerebek sampah. Sampah rumah tangga warga setempat dikumpulkan dan dapat ditukarkan dengan sembako atau bibit tanaman.
Selain itu Anik juga menginisiasi program sawah eco enzym. Lahan percontohannya dilakukan di Desa Kedis, Kecamatan Busungbiu, Buleleng. Desa yang sedang merintis sebagai desa pariwisata dengan pertanian organiknya itu mencoba menerapkan eco enzym dalam pemupukan tanaman padi.
Selain mengurangi pupuk kimia dan menciptakan bahan pangan alami, nasi dari beras di lahan aco enzym ini bisa lebih tahan lama. Nasi yang sudah dimasak bisa tahan hingga tiga hari. Selain kelebihan lainnya memberikan hasil panen yang lebih banyak dan manfaat kesehatan bagi konsumen.
“Tantangan utamanya mengajak orang untuk konsisten dalam pengelolaan sampah. Yang terpenting adalah konsistensi dan keberlanjutan kegiatan. Kalpataru ini adalah bonus dari konsistensi selama ini,” terang lulusan Doktor Teknologi Pembelajaran Universitas Negeri Malang ini. Ke depannya Anik berangan-angan ingin membuat Green School gratis. Program ini ditujukan pada anak-anak kurang mampu dengan dukungan dari beberapa donatur

“Kegialaan” Infirmus Abi Menjaga Alam untuk Masa Depan Anak Cucu

“Kegialaan” Infirmus Abi menjaga alam untuk masa depan anak cucu

Oleh Kornelis Kaha. Sumber: antaranews.com

Kupang (ANTARA) – “Saya disebut gila oleh keluarga dan juga tetangga saya karena hanya air setiap hari,” ucap Infirmus Abi saat memulai kisahnya.

Infirmus Abi (49), pria asal Desa Benlutu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) , Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024 menerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Keprihatinan pada masyarakat di desa kelahirannya yang harus memikul air setiap hari untuk keperluan hidup, membuatnya memikirkan cara untuk membantu masyarakat mendapatkan air bersih dengan mudah.

Pasalnya untuk sampai ke sumber mata air, warga sekitar perlu berjalan sekitar 300 meter, melintasi jalan yang curam dan licin yang bisa berbahaya bagi keselamatan jiwa yang menjalaninya.

Belum lagi saat sudah mendapatkan air, warga di dusun sekitar harus memikul air dengan kondisi jalan setapak yang mendaki tanpa ada tangga dan juga pegangan di kiri kanan.

Menghadapi kondisi sulit seperti itu, sudah merupakan hal yang biasa bagi, terutama tahun 2020-an dan sebelumnya. Pada tahun-tahun berikutnya, warga sekitar sudah mudah mendapatkan air bersih.

Kemudahan itu didapatkan waga berkat perjuangan dari Infirmus Abi, pria separuh baya yang sempat menyelesaikan sekolahnya di Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen So’e pada tahun 1992 itu. Infirmus Abi berhasil menyambungkan air dari sumbernya di dekat kampung tempatnya lahir ke rumah-rumah warga sekitar.

Hal itu dilakukannya secara sendiri dan suka rela. Tidak ada warga atau keluarganya membantu, bahkan istrinya pun hanya bisa marah-marah dan mengeluh karena sikap Infirmus yang kala itu dinilai tidak memperhatikan keluarganya.

Dirinya disebut gila oleh keluarganya, bahkan orang sekitar, karena selama tiga tahun keluarganya merasa kurang diperhatikan.

Selama tiga tahun, setiap jam enam pagi dia pergi ke mata air dan baru pulang jam tujuh malam, demi membantu warga mendapatkan air dengan mudah.

Mengenang masa-masa itu, wajahnya sedih, air matanya tampak tergenang di pelupuk matanya. Hatinya sedih karena sikap orang-orang terdekat kepadanya yang dia nilai tidak mampu memahami perjuangannya demi memenuhi kebutuhan orang banyak.

Infirmus berkaca ke belakang, semua tantangan itu justru menjadi cambuk bagi dirinya untuk membuktikan kepada keluarganya dan warga sekitar bahwa dia bisa melakukan apa yang sudah dikerjakan dari awal.

Suami dari Yasinta L Klau itu kemudian pada tahun 2019 meminta bantuan dari pemerintah desa agar menganggarkan Dana Desa untuk membeli pompa hidran serta pipa agar bisa mengalirkan air ke Desa Lalip, tempatnya tinggal.

Pemerintah desa kemudian menyetujuinya, namun proses pengerjaannya hanya dilakukannya sendiri tanpa bantuan warga atau keluarga terdekat. Sebab, kala itu, tidak ada yang percaya bahwa usaha yang dilakukan Infirmus akan membuahkan hasil.

Meskipun bekerja di tengah ketidakpercayaan warga lain, Infirmus tetap pada tekadnya. DI pikirannya, dia hanya tidak ingin nanti anak-anak cucunya dan warga lain setiap hari harus turun naik bukit untuk mengambil air. Cukup dia dan warga semasanya saja yang melakukan itu.

Usahanya berhasil, Infirmus bisa menyambungkan air dari mata air menuju dusun tempat dia tinggal, bahkan panjang pipanya mencapai lima kilometer. Air pun sempat mengalir.

Hanya sayang, beberapa warga yang tidak senang dengan keberhasilannya, memotong pipa air yang sudah dipasangnya sendiri dengan susah payah itu, sehingga air yang sudah berhasil mengalir terbuang begitu saja.

Ada kurang lebih 15 titik lokasi yang pipanya dipotong orang tidak bertanggung jawab, hanya karena melihat keberhasilan Infirmus Abi.

Dia kemudian mengambil dana pribadinya, tanpa sepengetahuan istrinya sebesar Rp800 ribu untuk membeli pipa bekas untuk dilas agar bisa tersambung lagi air yang sudah mengalir itu.

Kala itu, istrinya marah besar karena untuk membeli beras saja susah, tetapi uangnya malah digunakan untuk mmbeli pipa bekas.

Mempertahankan mata air

Saat dirinya masih berada di bangku sekolah menengah pertama (SMP), sekitar tahun 1982, ayahnya sering mengajak dirinya ke kebun yang lokasinya hanya beberapa meter dari lokasi mata air.

Ia menyaksikan area kebun milik orang tuanya itu berada di ketinggian yang sangat tandus karena minim air. Setelah itu, kurang lebih 3 tahun kemudian, Infirmus Abi meminta ayahnya untuk tidak berkebun lagi di lokasi dekat sumber mata air itu, melainkan pindah ke lokasi lain.

Ia mulai menghijaukan lokasi kebun lama itu dengan menanam banyak pohon untuk bisa menjaga sumber air yang telah ada sejak nenek moyang mereka.

Atas inisiatifnya, keluarga bersepakat untuk tidak lagi berkebun dan bertani di lahan yang terdapat mata air, lalu mulai menanam jenis pohon pelindung, tanaman produktif, sirih, buah, pinang, kemiri, lamtoro, dan anakan bambu.

Dia kemudian mendapatkan bantuan 250 anakan pohon pinang ditanam di lokasi mata air tersebut, sehingga lokasi tersebut dipenuhi pohon pinang. Dia kemudian juga mencari anakan pohon yang batangnya besar dan banyak ranting daunnya, sehingga daerah sekitar tampak gelap walaupun di siang hari.

Kini, sumber mata air di dusun tersebut semakin melimpah. Saking melimpahnya, Infirmus mendapatkan bantuan satu lagi pompa hidran dari TNI AD.

Infirmus yang hanya lulus sekolah melalui paket C itu juga bisa merakit sendiri pompa hidran, sehingga kini sudah ada tujuh pompa hidran di lokasi mata air tersebut.

Mata air yang ada kini tidak hanya digunakan untuk 190-an kepala keluarga di dusun tersebut, namun juga sudah disebar ke kurang lebih dua dusun lainnya yang tidak jauh dari Dusun Lalip.

Keluarga dan tetangganya kini percaya dengan usaha yang dilakukannya, namun cap kegilaan pada Infirmus Abi masih belum terhapus, yakni gila dalam menghadirkan air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di dusun tersebut.

Selain kelimpahan air, dia dan keluarga kini juga bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil panen buah pinang yang sudah dia tanam dari beberapa tahun lalu.

Bagi dia, jika mengrjakan sesuatu dilakukan tanpa harus memikirkan imbalan atau apapun dan ikhlas,  suatu saat Tuhan pasti akan membalasnya.

Bonifasius, warga Dusun Lalip, mengakui kerja keras Infirmus Abi yang hasilnya terlihat saat ini. Dia mengaku melihat sendiri bagaimana perjuangan bapak empat anak itu harus turun naik mata air untuk membuat bak air dan memasang pipa air sendirian, tanpa ada yang mau membantu.

Awalnya, dia mengaku tidak yakin dengan usaha Infirmus Abi, tetapi setelah dia kerja sendirian dan hasilnya ada, barulah dia dan warga lainnya sadar akan makna perjuangan itu.

Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) mengajak masyarakat untuk terus menghargai perjuangan Infirmus Abi dengan ikut menjaga alam dan lingkungan sekitar.

Penghargaan yang didapat oleh Infirmus Abi hendaknya menjadi motivasi bagi semua masyarakat bahwa menjaga lingkungan dan alam bisa dilakukan oleh semua orang, tidak hanya pemerintah.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024