Menteri LHK: Inisiatif Strategis Gabungan LSM, Cetak 618 Pemimpin Muda Green Leaders

SIARAN PERS
Nomor: SP. 051/HUMAS/PPIP/HMS.3/03/2024

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya mewisuda 293 pemuda dari berbagai regional yang merupakan peserta Pelatihan dan Pendidikan Green Leadership Indonesia (GLI) Angkatan ke-3 di Jakarta, Senin (4/3).

“Saya ingin menyampaikan ucapan selamat kepada seluruh wisudawan/wisudawati atas peresmian pelantikan hari ini sebagai kader pimpinan GLI dan akan selanjutnya juga nanti diantara saudara-saudara akan berkiprah antara lain sebagai Green Ambassadors Indonesia,” ujarnya.

Green Leadership Indonesia sebagai program pendidikan lingkungan hidup bagi pemuda merupakan inisiatif yang baik dan datang dari organisasi lingkungan hidup seperti Institut Hijau Indonesia, HUMA, Walhi serta KNTI. Inisiatif ini patut mendapat dukungan dari pemerintah dan tentu saja dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Program Green Leadership Indonesia telah meluluskan 618 leaders dari 3 angkatan yang dilaksanakan. Pada angkatan pertama sebanyak 118 leaders, angkatan kedua 207 leaders, dan angkatan ketiga 293 leaders.

“Nantinya para alumni GLI tentu akan mengambil peran yang sangat penting untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan kelestarian dalam bentuk proritas utama isu keadilan sosial dan keadilan ekologis dalam institusi atau komunitas mereka. Sehingga kedepan Indonesia akan terus bertambah dalam memiliki calon pemimpin muda yang dapat berempati terhadap isu-isu kelestarian hutan dan lingkungan yang selaras dengan jati diri Bangsa Indonesia,” kata Menteri Siti.

Dukungan KLHK disalurkan dalam fasilitas selama kegiatan pendidikan, diantaranya melalui pendampingan peserta dalam kegiatan-kegiatan berskala local, nasional hingga internasional. Sehingga dapat terjalin proses transfer ilmu dan diskusi-diskusi dalam kegiatan pembelajaran peserta di dalam rangkaian kelas. KLHK juga mendukung pelaksanaan kelas intensif hijau di GLI guna mendalami isu dan pengetahuan di berbagai macam sektor yang dapat membantu pengembangan potensi peserta didik.

Founder Greeen Leadership Indonesia sekaligus Ketua Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad menyampaikan bahwa kegiatan Green Leadership Indonesia merupakan satu proses yang panjang bagi para leaders karena mereka belajar bersungguh-sungguh selama 6 bulan mulai dari membangun karakter individunya, berbagai keterampilan, wawasan, kemudian mereka juga mencoba melakukan analisis hal-hal yang substantif dan struktural mulai dari tingkat lokal, regional, nasional dan internasional.

“Saya berpesan kepada para leaders bahwa hari ini anda diwisuda, tugas berat menanti didepan. Anda adalah para leaders, saat ini sedang mengikuti proses pendidikan, tetapi setelah pulang, anda akan jadi pemimpin dimanapun anda berada, apapun profesi yang anda tekuni, lakukan sepenuh hati karena masa depan Indonesia ada pada anda semua,” ujarnya.

Dengan bekal pengetahuan dan leadership, diharapkan tercipta akselerasi generasi muda berwawasan lingkungan yang mencintai Indonesia, yang mampu berdiri sejajar dengan pemuda-pemudi di dunia dari berbagai negara.

———
Jakarta, KLHK, 04 Maret 2024

Penanggung jawab berita:
Plt. Kepala Biro Hubungan Masyarakat, KLHK
Nuke Mutikania

Sumber: www.ppid.menlhk.go.id

OJK: Bursa Karbon RI Terbaik di Asia

SIARAN PERS
Nomor: SP. 047/HUMAS/PPIP/HMS.3/03/2024

Indonesia, melalui Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC) telah meningkatkan ambisinya dalam komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Semula, target penurunan emisi GRK Indonesia dengan kemampuan sendiri adalah 29%, menjadi 31,89% pada ENDC, sedangkan target dengan dukungan internasional sebesar 41% menjadi 43,20% pada ENDC. Peningkatan target tersebut didasarkan kepada kebijakan-kebijakan nasional terakhir terkait perubahan iklim, seperti kebijakan sektoral terkait, antara lain FOLU Net-sink 2030, percepatan penggunaan kendaraan listrik, kebijakan B40, peningkatan aksi di sektor limbah seperti pemanfaatan sludge IPAL, serta peningkatan target pada sektor pertanian dan industri.

Nilai Ekonomi Karbon, pengaturan di Indonesia

Perpres 98/2021 mengatur pelaksanaan aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan lklim yang dilakukan melalui penyelenggaraan NEK untuk mencapai target NDC dan pengendalian emisi untuk pembangunan nasional. Penyelenggaraan NEK dilakukan pada sektor dan sub sektor dengan pelaksana oleh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat, melalui 4 (empat) mekanisme yaitu: Perdagangan Karbon; Pembayaran Berbasis Kinerja, Pungutan atas Karbon; dan/atau Mekanisme lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, adanya NEK dapat menjadi insentif untuk pencapaian NDC dengan mendukung upaya yang selama ini dilakukan seperti pengendalian kebakaran hutan, pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, atau transisi teknologi untuk mewujudkan energi baru terbarukan.

Perpres NEK ditujukan untuk pasar domestik maupun internasional. Apabila perdagangan karbon terjadi antara dua entitas di dalam negeri, maka perhitungan pengurangan emisi GRK yang dicapai akan tetap diperhitungkan sebagai kontribusi Indonesia. Adanya regulasi pasar karbon membuka peluang Indonesia untuk menerima pendanaan yang lebih luas dalam pengendalian perubahan iklim. NEK merupakan ukuran kinerja dunia dalam pengelolaan perubahan iklim yang merefleksikan tingkat keberhasilan negara dalam mengendalikan perubahan iklim. Bagi Indonesia, NEK merupakan bagian dari kekayaan alam Indonesia yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan dikuasai oleh negara, sesuai dengan azas filosofis sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD  1945.

Sebelum Paris Agreement, atau yang sering disebut dengan rejim Protokol Kyoto, perdagangan karbon telah diatur dan berlangsung dengan mekanisme Clean Development Mechanism/CDM, Joint Credit Mechanism (JCM) yang merupakan kerjasama bilateral Indonesia-Jepang). Di sisi lain Protokol Kyoto memicu perdagangan yang juga tidak diatur secara spesifik di Protokol Kyoto, yaitu mekanisme perdagangan karbon sukarela (Voluntary Carbon Mechanism/VCM) yang dilakukan secara langsung oleh pihak independen (tanpa ada pencatatan oleh negara).

Pada saat itu muncullah berbagai skema perdagangan karbon voluntary seperti banyak dikenal skema crediting Plan Vivo, Verra, Gold Standard, dan lain-lain (penilai independen internasional dan diantaranya menjadi market place). Di masing-masing negara besar seperti Amerika, muncul berbagai skema crediting yang juga masih berjalan sampai saat ini. Beberapa skema crediting tersebut juga masuk ke Indonesia dan menjalankan transaksi serta kerja sama skema crediting dan beroperasi di Indonesia. Mencatat hasil persidangan di COP28 di Dubai UEA (rejim Paris Agreement), dipastikan tidak ada pengaturan dan rekognisi terhadap perdagangan karbon secara sukarela atau VCM. Indonesia secara tegas telah berkomitmen dan meratifikasi Paris Agreement melalui UU Nomer 16 tahun 2016, sehingga dalam peraturan yang berlaku di Perpres 98 Tahun 2021  dan PermenLHK 21 tahun 2022 tidak mengatur dan mengenali VCM di Indonesia.

Di era Protokol Kyoto telah terjadi perdagangan karbon tanpa otorisasi dan pencatatan (karena sifat sukarela-nya, sehingga pasar-lah yang menentukan dirinya sendiri, bagaimana kredit dihitung, tata aturan bisnis karbon yang ditetapkan sendiri, ukuran pasar dan kapitalisasi ditetapkan sendiri dan berbagai tata aturan main yang memang ditentukan oleh pasar dengan kesepakatan masing-masing, sehingga skema crediting ini lebih dikenal sebagai private crediting scheme).

Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional, KLHK, Dr. Wahyu Marjaka menjelaskan, untuk pencapaian NDC  dan dengan insentif karbon dikenal  aturan dengan Perpres 98/2021 serta PermenLHK 21/2022. Ada beberapa  pihak pemilik konsesi kehutanan yang sudah menjalankan kontrak dagang karbon dengan pihak-pihak skema crediting private tersebut yang tidak sesuai dengan aturan Indonesia dan terhadapnya telah dilakukan tindakan oleh pemerintah, demikian ditegaskan Wahyu Marjaka di Jakarta, Jumat (01/03/2024).

Terbaik dan Jadi Rujukan

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, sampai saat ini, bursa karbon Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain, bursa karbon Indonesia jauh lebih baik, Bahkan di tingkat ASEAN, kita terbesar. Pada saat launching volume transaksi terbesar cukup besar. “Menariknya adalah timeline, karena pemerintah pusat dan kementerian terkait sepakat bahwa launching itu harus disegerakan, sebab isu perubahan iklim sangat mengemuka dan mendesak dicarikan solusi efektifnya,” ujar Direktur Pengawasan Bursa Karbon OJK (Otoritas Jasa Keuangan), Aldy Erfanda, menjawab pertanyaan terkait perkembangan perdagangan di bursa karbon Indonesia, Jumat (01/03/2024).

Untuk besaran volume perdagangan di bursa karbon Indonesia, dapat dilihat pada tabel terlampir.

Seperti diketahui, Indonesia telah memulai perdagangan kredit karbon perdananya pada tanggal 26 September 2023. Hal tersebut menjadi catatan sejarah bagi Indonesia karena memiliki misi yang cukup penting, yaitu menciptakan pasar dalam mendanai pengurangan emisi gas rumah kaca dan menjadi peserta utama dalam perdagangan karbon global.

Peluncuran perdagangan bursa karbon diresmikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Berdasarkan penetapan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang menyelenggarakan perdagangan ini adalah Bursa Efek Indonesia (BEI). Izin usaha Penyelenggara Bursa Karbon telah diberikan kepada BEI oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat Keputusan nomor KEP-77/D.04/2023 pada 18 September 2023 lalu.

Aldy mengatakan, perdagangan karbon melalui bursa karbon jadi proyek strategis nasional. Di samping volume, kita perlu berbangga dengan apa yang kita jalankan, karena konsep perdagangan karbon, kita mengadopsi sistem perdagangan karbon yang paling kompleks di dunia. Kenapa paling kompleks? Karena kita memilih proses Cap-Trade-Tax. artinya  dilakukan penetapan cap atau allowance- kemudian dilakukan trade artinya perdagangan karbon dan -tax artinya diterapkan  pajak karbon.

Di negara lain lebih sederhana, di beberapa negara tetangga, langsung tax, tidak ada penetapan batas atas, tidak ada fasilitas tradingnya, negara tersebut tidak mau ribet. Ada juga negara lain yang menerapkan yang ada batas atas dan trade-nya, tidak ada tax-nya. “Nah, itu yang perlu kita banggakan dengan sistem yang kita pilih, meski sangat kompleks,” kata Aldy.

Secara global, kata Aldy, Indonesia menjadi negara yang sangat  dipandang secara internasional mengenai perdagangan karbon melalui bursa karbon, meskipun untuk mendapatkan progres seperti ini tidak mudah. Apalagi kita sangat spesifik untuk mencapai target NDC. Jadi per sektor harus bekerja, seperti sektor FOLU, Energi, dan limbah. Aldy menjelaskan, secara teknis, semua itu terkait dengan kerangka atau frame work yang jelas dan pengampunya ada di KLHK, jadi memang tidak mudah tugas dan peran KLHK.

Saat ini memang banyak yang harus kita kerjakan demi keberlangsungan perdagangan karbon melalui bursa karbon yang terbaik. Dikatakan Aldy, Indonesia mencoba mengadopsi yang paling kompleks agar kita mendapatkan perdagangan yang kredibel. Untuk menjaga kredibilitas secara nasional dan internasional, maka aturannya tidak mudah dan perlu kajian komprehensif. “Nah, yang namanya regulasi, pasti ada pihak yang suka dan tidak suka. Tapi secara umum kita sudah satu suara dan satu misi yaitu kita ingin Indonesia memiliki perdagangan  carbon, yang integritasnya, transparansinya baik dan mencegah double counting- carbon.

Rintis Perdagangan Karbon Internasional

Ke depan lanjut Aldy, masih banyak pekerjaan rumah. Dalam waktu dekat kita merencanakan pilot proyek mengenai perdagangan karbon internasional di bursa karbon Indonesia dan menuju ke sana,  kita sudah rapat kordinasi regulator, (Menkomarinvest, OJK, ESDM, KLHK). Di situ ada kemajuan pesat, sudah ada kesepakatan  mengenai perdagangan  internasional.

Selama ini banyak pihak yang skeptis yang menyebut kita lambat dan macam-macamlah, tapi kita tetap berproses. “Target? Tahun 2024 ini sudah bisa dibuka perdagangan karbon internasional di bursa karbon Indonesia. Ini tidak mudah, karena kita harus mempersiapkan bermacam regulasi yang mendukung target tersebut yang  sudah ada regulasi mendasarnya,” katanya.

Tentu saja ini kita buat pilot projek bersama kementerian terkait lainnya, bukan hanya OJK. Dengan tahapan ini, memang banyak dunia internasional melalui Kedubes mereka di Jakarta menemui OJK untuk menanyakan soal ini, ada yang dari Australia, AS, Jepang, Taiwan , dan sebagainya. “Mereka interst sekali. Ke depannya, kita akan koordinasi dengan Kemenlu. Tim teknis sudah melakukan itu, juga kementerian terkait akan kita libatkan.”

Antusiasme dunia internasional tertarik karena potensi karbon Indonesia, karena Indonesia salah satu negara yang memiliki hutan yang besar. Nature base kita memang sangat besar. Kita bekerja keras soal perdagangan karbon ini karena kita ingin memberikan kontribusi yang juga amat besar bukan saja bagi kepentingan nasional, tapi dunia internasional mengingat penurunan emisi global sangat penting.

Harapannya, progress regulasi-regulasi itu bakal berkembang pesat. Kenapa framenya regulasi, sebab target NDC kita menuntut 5 sektor bekerja, tapi selama ini yang bekerja baru dari KLHK, dan ESDM yang lain harus menyusul termasuk pertanian, dan perindustrian.(*)
———
Jakarta, KLHK, 01 Maret 2024

Penanggung jawab berita:
Plt. Kepala Biro Hubungan Masyarakat, KLHK
Nuke Mutikania

Sumber: www.ppid.menlhk.go.id

Kemajuan Aksi Perubahan Iklim Indonesia: Leading by Examples

Nomor: SP.003/HUMAS/PPIP/HMS.3/1/2024

Tantangan dan Komitmen

Saat ini dunia menghadapi tantangan yang berat, bumi menghadapi triple planet challenges yakni perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi.  Kenaikan suhu global telah menyebabkan panas ekstrim yang melanda berbagai wilayah termasuk Indonesia. Bahkan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Climate Ambition Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ambisi Perubahan Iklim yang diselenggarakan di Markas Besar PBB di New York pada Bulan September 2023 sebagai bagian dari pertemuan Majelis Umum PBB ke-78 menyatakan bahwa “humanity has opened the gates of hell”, kemanusiaan telah membuka gerbang menuju neraka. Hal ini menunjukan bahwa krisis iklim sudah menjadi masalah yang sangat genting dan perlu menjadi perhatian serius semua negara.

Komitmen Indonesia dalam upaya menjaga kenaikan suhu global sesuai Persetujuan Paris (Paris Agreement) telah dituangkan dalam Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC) yaitu pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan sebesar 43,20% dengan bantuan internasional. Selain itu, Indonesia juga telah menyampaikan visi dan formulasi jangka panjang melalui dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR  2050), termasuk rencana Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat.  Untuk mendukung rencana pencapaian NZE 2060 atau lebih cepat, sektor FOLU (Forestry and Other Land Use) dan energi menjadi tulang punggung pengurangan emisi GRK Indonesia. Untuk memastikan kontribusi dari sektor FOLU, maka Indonesia telah menyusun Rencana Operasional FOLU Net-Sink 2030.

Pengurangan Emisi GRK

Keseriusan pemerintah Indonesia dalam penanganan Perubahan iklim dan pencapaian target NDC telah disampaikan oleh Presiden pada pidato pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau COP28 Dubai, Uni Emirat Arab.

Penyampaian terkait keberhasilan tersebut tentunya didukung dengan data dan informasi yang akurat, transparan dan kredibel. Sebagai mana data terkait dengan tingkat pengurangan emisi GRK dapat dilaporkan bahwa dari hasil perhitungan inventarisasi GRK nasional menunjukkan tingkat emisi GRK di tahun 2022 sebesar 1.220 Mton CO2e yang diperoleh dari masing-masing kategori/sektor yakni Energi sebesar 715,95 Mton CO2e, Proses Industri dan Penggunaan Produk, sebesar 59.15 Mton CO2e, Pertanian sebesar 89,20 Mton CO2e, Kehutanan dan Kebakaran Gambut sebesar 221,57 Mton CO2e dan Limbah sebesar 221,57 Mton CO2e. Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2021), total tingkat emisi naik sebesar 6,9 %. namun tingkat emisi tahun 2022 apabila dibandinbgkan dengan BAU pada tahun yang sama menunjukkan pengurangan sebesar 42%.

Demikian juga untuk keberhasilan di sektor lain seperti FOLU (Forestry and Other Land Use). Dengan memperhatikan hasil pemantauan perubahan tutupan hutan dari tahun 2020 dan 2021, dapat dilihat bahwa Angka Deforestasi Netto Indonesia tahun 2021-2022 mengalami penurunan sebesar 8,4 %. Apabila dilihat dari data series setiap periode pengamatan mulai periode tahun 1996-2000, besaran deforestasi dapat mengalami peningkatan atau pengurangan. Hal itu terjadi karena dinamisnya perubahan penutupan lahan akibat aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan sehingga mengakibatkan hilangnya penutupan hutan atau penambahan penutupan hutan karena penanaman.

Sebagai gambaran umum, data deforestasi mulai periode tahun 1996-2000 hingga periode tahun pemantauan 2020-2021 menunjukkan bahwa deforestasi berhasil diturunkan pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir yaitu pada angka 0,11 juta ha.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2023 berhasil ditekan lebih kecil dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama, bahkan kondisi 2023 lebih kering. Kondisi ini diantisipasi melalui berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun dan secara konsisten dilakukan berbagai upaya untuk mencegah karhutla, mulai dari monitoring hotspot, penetapan kebijakan, aksi-aksi di lapangan baik aksi pencegahan, pemadaman, hingga penegakan hukum. Hal ini dapat menjadi indikasi adanya keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Keberhasilan ini dicapai melalui keterpaduan dan kolaborasi para pihak dalam pengendalian karhutla.

Indonesia berhasil memitigasi dampak El Nino sehingga jumlah hotspot dan luas karhutla tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya. Luas karhutla pada tahun 2023 adalah 1.161.192 ha sedangkan luas karhutla pada tahun 2019 adalah 1.649.258 ha. Penurunan luas karhutla jika dibandingkan tahun 2019 seluas 488.065 ha atau 29,59%. Sedangkan perbandingan total jumlah hotspot tahun 2019 dan 2023 : (tanggal 1 Januari – 31 Desember 2023), berdasarkan Satelit Terra/Aqua (NASA) dengan confident level high : 10.673 titik, pada periode yang sama tahun 2019 jumlah hotspot sebanyak 29.341 titik (terdapat kenaikan jumlah hotspot sebanyak 18.668 titik/ 63,62 %).

Sektor energi memiliki peran strategis dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik melalui proses transisi energi, khususnya pengembangan Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan (EBTKE), Rencana Pengembangan PLT Berbasis EBT pada Green RUPTL PLN 2021 – 2030 dengan mengacu Green RUPTL, pengembangan EBT akan menghasilkan total investasi sekitar USD 55,18 Miliar, membuka 281.566 lapangan kerja baru dan mengurangi emisi GRK sebesar 89 juta ton CO2e.

Rekognisi Pembayaran Berbasis Kinerja / Result-Based Payment (RBP)

Mengacu pada Article 5 Paris Agreement “Parties are encouraged to take action to implement and support, including through results-based payments,….…”, Indonesia telah dapat secara konkret menunjukkan kemajuan implementasi REDD+ yang merupakan bagian dari aksi mitigasi sektor FOLU.  REDD+ di Indonesia dilaksanakan melalui pendekatan secara nasional serta dapat diimplementasikan pada sub-nasional (provinsi), dengan kerangka kerja REDD+ yang mencakup empat elemen saling terkait mengenai arsitektur REDD+ dan implementasinya, dukungan sumberdaya serta kelembagaan, peraturan dan sistem.

Kinerja pengurangan emisi GRK Indonesia melalui REDD+ telah mendapatkan rekognisi internasional yang diwujudkan melalui pembayaran berbasis kinerja / Result-Based Payment (RBP).  Pada saat ini Indonesia tercatat sebagai negara yang menerima RBP paling besar, dengan total komitmen RBP sebesar USD 439,8 Juta, dimana dari total komitmen tersebut Indonesia telah menerima pembayaran sebesar USD 279,8 Juta.

RBP tersebut berasal dari: (1) RBP REDD+ melalui Green Climate Fund (GCF) sebesar USD 103,8 Juta untuk volume pengurangan emisi GRK 20,3 juta tCO2eq pada periode tahun 2014-2016.  RBP tersebut selanjutnya akan disalurkan kepada nasional dan subnasional yang telah bertkontribusi pada pengurangan emisi GRK (34 provinsi) melalui Mekanisme Pembagian Manfaat (Benefit Sharing Mechanism) yang telah disepakati bersama oleh pemangku kepentingan terkait; (2) Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)-Carbon Fund tingkat sub nasional di Provinsi Kalimantan Timur sebesar USD 110 Juta untuk volume pengurangan emisi GRK 22 Juta tCO2e untuk periode tahun 2019-2024; (3) BioCarbon Fund – the Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF – ISFL) tingkat sub nasional di Provinsi Jambi sebesar USD 70 Juta untuk kinerja pengurangan emisi periode tahun 2020-2025; (4) Result Based Contribution (RBC) melalui kerjasama RI-Norway sebesar USD 56 juta untuk volume pengurangan emisi GRK sebesar 11,2 juta tCO2eq periode tahun 2016-2017 (tahap 1) dan sebesar USD 100 Juta untuk pengurangan emisi GRK sebesar 20 juta tCO2e untuk periode 2017-2019 (tahap 2).

Keberhasilan Indonesia dalam mengimplementasikan REDD+ dan menerima RBP telah direkognisi oleh UNFCCC dan menjadi contoh baik implementasi skema REDD+. Oleh karenanya, pada rangkaian COP28 di UAE, Dubai, Indonesia diminta berbagi pengalaman keberhasilan pelaksanaan REDD+ pada side event UNFCCC dan pada sesi-sesi diskusi di beberapa Pavilion Negara Pihak, termasuk Pavilion Ecuador, Brazil, dan Indonesia.

Program Komunitas untuk Iklim (Proklim)

Masyarakat secara partisipatif telah melakukan aksi iklim baik adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim di tingkat tapak.  Kontribusi nyata aksi iklim oleh masyarakat di tingkat tapak telah didorong dan difasilitasi melalui Program Kampung Iklim (ProKlim) sejak tahun 2012 dan menjadi gerakan nasional pada tahun 2015.  Hingga tahun 2023 ProKlim telah dilaksanakan pada 7.264 lokasi ProKlim.

Sejalan dengan semangat peningkatan ambisi pengurangan emisi GRK, pada tahun 2023 ProKlim telah bertransformasi (rekonseptualisasi) menjadi Program Komunitas untuk Iklim (ProKlim). Dengan konsep yang baru diharapkan ProKlim dapat menjangkau kelompok yang lebih luas dan membuka peluang seluruh pihak untuk memberikan konstribusi lebih luas, seperti: komunitas sekolah, komunitas kampus, komunitas pesantren, komunitas penggiat lingkungan, dan komunitas lainnya.
ProKlim dilakukan secara sistematis dan dicatatkan dalam Sistem Registri Nasional (SRN) PPI.  Rekonseptualisasi ProKlim ini diharapkan mampu mengakselerasi pencapaian target pembentukan 20.000 kampung iklim pada 2024 serta menggalang partisipasi aktif dari kelompok masyarakat/komunitas yang lebih luas dan beragam serta para pemangku kepentingan dalam beradaptasi dan bermitigasi untuk merespon dampak negatif perubahan iklim.

Keberhasilan Negosiasi di Tingkat Global

Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa di dunia sangat aktif dalam melakukan diplomasi dan negosiasi untuk memperjuangkan upaya pengendalian perubahan iklim di tingkat global. Partisipasi dan diplomasi Indonesia, melalui aksi nyata (leading by example) telah memberikan warna dan mempengaruhi hasil berbagai negosiasi isu perubahan iklim.  Lebih lanjut, aksi-aksi nyata yang telah dilakukan Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia lebih awal menginisasi beberapa kasi pengendalian perubahan iklim sebelum aksi tersebut menjadi komitmen atau keputusan di tingkat global, sebagai contoh pada saat COP UNFCCC memandatkan agar Negara Pihak untuk meningkatkan ambisi pengurangan emisi GRK yang sejalan dengan skenario 1,5oC, Indonesia justru telah mulai menyusun Dokumen Second NDC Indonesia, yang menyelaraskan target NDC Indonesia dengan skenario 1,50C yang tercantum dalam dokumen Long Term Strategy – Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dengan target pengurangan emisi GRK global tahun 2030: 43% dan tahun 2035: 60% terhadap tingkat emisi GRK tahun 2019. Contoh lainnya adalah Indonesia telah menyampaikan target NDC yang economy-wide dan mencakup 6 (enam) jenis GRK mencakup seluruh sektor dan kategori sesuai kondisi nasional, sementara banyak Negara Pihak lainnya belum menyampaikan target NDC secara economy-wide.

Kontribusi dalam Konteks Regional (ASEAN)

Kepemimpinan Indonesia dalam Pengendalian Perubahan Iklim juga ditunjukkan melalui kerja sama regional.  Pada masa keketuaan ASEAN 2023, Indonesia telah menginisiasi 3 (tiga) deliverables terkait pengendalian perubahan iklim, yakni: (1) ASEAN Joint Statement on Climate Change to the COP 28 UNFCCC (AJSCC); (2) ASEAN Community-based Climate Action; dan (3) ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control (ACCTHPC).

AJSCC merupakan dokumen berisi posisi dan pandangan ASEAN mengenai kebijakan perubahan iklim global. Sebagai ASEAN Chair 2023, Indonesia menjadi lead country penyusunan AJSCC to the COP 28. ASEAN menyerukan seluruh Parties untuk memperkuat komitmennya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendesak negara maju untuk memenuhi komitmennya memberikan dukungan finansial sebesar 100 billion USD/tahun.

ASEAN Community-based Climate Action merupakan kajian yang disusun dengan mempertimbangkan kondisi geografis ASEAN yang merupakan wilayah rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dalam hal ini, Non Party Stakeholders (NPS), termasuk komunitas lokal, mempunyai peran penting dalam upaya kawasan untuk mengatasi perubahan iklim. Tujuan kajian ini untuk mengembangkan sistem manajemen pengetahuan aksi iklim berbasis komunitas dan mendorong partisipasi komunitas lokal untuk melaksanakan aksi iklim di Kawasan ASEAN.

Sedangkan deliverable ke-3, yaitu ACCTHPC berfungsi untuk: (i) memfasilitasi kerja sama dan koordinasi kebakaran lahan dan/atau hutan atau pencemaran asap yang timbul dari kebakaran di Kawasan ASEAN, (ii) membangun sistem informasi, keahlian, teknologi, teknik dan pengetahuan, dan (iii) penguatan kerjasama mitra penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di kawasan ASEAN.  ACCTHPC berlokasi di Jakarta, Indonesia.

Penguatan Aksi Perubahan Iklim

Dalam upaya mendorong upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, Indonesia telah memikirkan pemberian insentif kepada para pelaku aksi mitigasi, yaitu melalui kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yaitu melalui Perdagangan Karbon. Indonesia juga telah mengimplementasikan Enhance Transparency Framework sebagai mandat artikel 13 Paris Agreement, yang antara lain membangun Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) untuk merekognisi aksi-aksi yang telah dilakukan oleh stakeholders yang telah mengikuti metodologi dan aturan-aturan yang telah disepakati Internasional. Melalui proses di SRN dapat diterbitkan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang dapat diperjualbelikan sebagai bagian dari insentif kepada para pelaku aksi mitigasi.

Pemerintah Indonesia terus meningkatkan upaya penyadartahuan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim kepada seluruh elemen masyarakat terkait dengan masalah Iklim dan Karbon, seperti efisiensi energi, pengelolaan, dan mencegah kebakaran hutan dan lahan.  Sangat diharapkan kepada masyarakat luas di tingkat tapak untuk menghindari terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang akan berkontribusi besar terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca.  Untuk itu Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membangun dan menyediakan layanan publik berupa Rumah Kolaborasi dan Konsultasi Iklim dan Karbon (RKKIK) untuk meningkatkan literasi perubahan iklim dan kolaborasi antara para pemangku kepentingan.

Untuk lebih dapat berkontribusi dalam upaya global pengendalian perubahan iklim dan menjaga kepentingan bangsa Indonesia, Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan akan terus menguatkan aksi nyata dan memimpin dengan contoh (leading by examples)(*)
_________________
Jakarta, KLHK, 12 Januari 2024

Penanggung jawab berita:
Plt. Kepala Biro Hubungan Masyarakat, KLHK
Nunu Anugrah

Sumber: www.ppid.menlhk.go.id