Peningkatan Kapsitas Pendamping PS Wilayah Sulawesi Selatan

Direktur Jenderal PSKL, Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc secara langsung memberikan arahan sekaligus membuka acara Peningkatan Kapasitas Pendamping Perhutanan Sosial di Makassar 25-27 Juli 2023. Kegiatan peningkatan kapasitas ini merupakan implementasi dari hasil survei Training Needs Assessment (TNA) pada bulan Maret 2023 pada seluruh pendamping. Ada 4 komponen utama dalam survei kebutuhan peningkatan kapasistas pendamping yang dilaksanakan meliputi: 1) Peningkatan Kapasitas Pendamping Pra Persetujuan; 2) Peningkatan Kapasitas Pendamping Pasca Persetujuan, 3) Tingkat Kompetensi Pendamping; 3) Pengarusutamaan Gender (PUG).

Hasil survei yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat keragaman jenis kebutuhan peningkatan kapasitas pendamping pada masing-masing wilayah BPSKL bahkan pada masing-masing provinsi. Salah satu hasil survei dan analisis di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa penyusunan RKPS dan perhitungan nilai ekonomi (NEKON) hasil penjualan dari produk/jasa perhutanan sosial adalah 2 di antara 29 kebutuhan proritas peningkatan kapasitas bagi pendamping.

Dengan didukung BPDLH, Direktorat Kemitraan Lingkungan, Direktorat PUPS, dan BPSKL Wilayah Sulawesi memulai 3 tahapan model peningkatan kapasitas, yaitu: tahap 1 secara virtual kepada seluruh pendamping, perwakilan KPS dan KPH di wilayah Sulawesi (26 Juni 2023); tahap 2 secara virtual untuk seluruh pendamping, perwakilan KPS, dan KPH di Provinsi Sulawesi Selatan (11 Juli 2023); tahap 3 secara faktual untuk 50 pendamping dan 5 kepala KPH di Provinsi Sulawesi Selatan (25-27 Juli 2023). Materi peningkatan kapasitas yang diberikan pada tiap tahap didesain berbeda sesuai target yang diharapkan.

Dirjen PSKL menyampaikan beberapa arahan penting dalam pembukaan yaitu terkait kebutuhan dan peran pendamping perhutanan sosial, khususnya dalam mendukung percepatan pengelolaan perhutanan sosial. Dirjen PSKL menjelaskan pula tentang target percepatan distribusi akses legal, pengembangan usaha Perhutanan Sosial, dan pendampingan hingga tahun 2030 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2023 tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Direktur Kemitraan Lingkungan, Dra. Jo Kumala Dewi, M.Sc. dalam penutupan peningkatan kapasitas pendamping, 27 Juli 2023 menyampaikan apresiasi kepada 50 pendamping dan 5 kepala KPH atas kerja sama dalam memfasilitasi penyusunan 55 RKPS di Provinsi Sulawesi Selatan yang telah disahkan oleh Kepala BPSKL Wilayah Sulawesi. Berdasarkan target APBN tahun 2023 dalam fasilitasi penyusunan RKPS di BPSKL Wilayah Sulawesi adalah 61 RKPS dan realisasi 131 RKPS dengan rincian: Wilayah I target 31 RKPS dan realisasi 71 RKPS (55 melalui peningkatan kapasitas pendamping); Wilayah II target 18 RKPS dan realisasi 44 RKPS; Wilayah III target 12 RKPS dan realisasi 16 RKPS. Dengan demikian BPSKL Wilayah Sulawesi dalam fasilitasi penyusunan RKPS mencapai lebih dari 200% dari target.

Pemahaman pendamping terhadap perhitungan NEKON semakin baik, sehingga diharapkan terjadi pelaporan NEKON secara berkala. Atas capaian ini, Direktur Kemitraan Lingkungan yang mendapat tugas dari Dirjen PSKL sebagai pembina di wilayah ini cukup puas dan mendorong balai agar terus memaksimalkan pencapaian kinerja mendukung capaian PSKL secara nasional. Mengakhiri kegiatan peningkatan kapasitas pendamping ini, dilaksanakan evaluasi bersama dengan mendengarkan pengalaman dan kesan pendamping dan KPH dalam mengikuti peningkatan kapasitas pendamping perhutanan sosial. Sebagai pembelajaran bahwa model peningkatan kapasitas pendamping perhutanan sosial dengan berbasis TNA nampaknya cukup efektif dan aplikatif sehingga diharapkan dapat dilaksanakan oleh balai pada tingkat regional, seksi wilayah atau pada tingkat provinsi.

Editor: Kardian

Temu Mitra Perhutanan Sosial dalam Rangka Sinergitas Program Proper di Wilayah Sulawesi

Rabu, 26 Juli 2023, Direktorat Kemitraan Lingkungan bekerjasama dengan BPSKL wilayah Sulawesi menyelenggarakan kegiatan Temu Mitra Perhutanan Sosial di Panakkukang, Makassar. Acara dihadiri oleh Dirjen PSKL, Dr. Bambang Supriyanto, M.Sc., Kepala BPSKL Wilayah Sulawesi, Muchsin, S.Hut., M.Si, perwakilan Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Ir. Edy Nugroho Santoso, DLHK Provinsi Sulawesi Selatan, penerima Penghargaan Kalpataru Tahun 2023, LPHD Cindakko, penerima Kalpataru dan 50 perusahaan yang bergerak dalam sektor migas, manufaktur, dan agroindustri.

Pertemuan ini adalah salah satu upaya KLHK untuk mendorong percepatan program perhutanan sosial melalui integrasi program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER). Pelaku usaha yang melaksanakan CSR dalam mendukung kegiatan #PerhutananSosial akan memperoleh nilai khusus dalam PROPER.

Proses ini merupakan tindak lanjut dari Getting Commitment yang telah ditandatangani oleh 5 holding company pada tanggal 5 Juni 2023 di Jakarta, bertepatan dengan puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Pada kesempatan tersebut, dilakukan penandatanganan kesepakatan antara dunia usaha yaitu PT Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi Unit Operasi DPPU Hasanuddin dengan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial yaitu Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Cindakko.

Dirjen PSKL menekankan bahwa dalam mengsukseskan program perhutan sosial diperlukan dukungan para pihak baik pemerintah pusat dan daerah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, media dan Dunia Usaha.

Editor: Kardian

Ngobrol Asik di Wisata Hutan Pinus Moncong Sipolong, PS di Kabupaten Gowa

Gowa, 25 Juli 2023 Ngobrol Asik di Moncong Sipolong bersama Dirjen PSKL, Dr. Bambang Supriyanto, M.Sc didampingi Direktur Kemitraan Lingkungan, Kepala Balai PSKL Sulawesi, Kepala KPH Jeneberang. Sebanyak 17 KPS bersama pendamping menyampaikan berbagai cerita perkembangan pengelolaan PS dan tantangan yang dihadapi.

Dirjen PSKL memberikan berbagai tips dalam menghadapi tantangan pengembangan PS, serta strategi untuk melaksanakan pendampingan yang lebih baik. Dalam kesempatan ini pula, Dirjen PSKL melakukan penanaman pohon bersama KPS dan menyampaikan bantuan Bang Pesona kepada 3 KPS di Wilayah Kabupaten Gowa dengan nilai sebesar Rp 50 juta untuk masing-masing KPS.

Editor: Kardian

Kunjungan Peserta Program Global Exploration Indonesia 2023

 

Kali ini, Direktorat Kemitraan Lingkungan menerima kedatangan kunjungan peserta program Global Exploration Indonesia 2023. Peserta program ini adalah pelajar Sekolah Menengah Atas dan guru dari Stella Maris College Netherlands. Program yang bekerja sama dengan DeTara Foundation ini berlangsung selama 20 hari, bertujuan untuk menjalin persahabatan antar negara, belajar dan terlibat dalam kegiatan komunitas lokal dalam bidang lingkungan, seni serta budaya.

Dalam kunjungannya di Kantor KLHK Manggala Wanabhakti, peserta berkesempatan mengekplor Arboretum Ir. Lukito Daryadi, mengenal dan berdiskusi tentang program Perhutanan Sosial Indonesia, serta diperkenalkan dengan Museum Kehutanan. Selama di KLHK, mereka dipandu oleh staf Direktorat Kemitraan Lingkungan dan staf Museum Kehutanan

Meskipun masih sangat belia, namun para siswa begitu aktif berdiskusi terkait materi Perhutanan Sosial. Bagi mereka isu ini menarik, karena program seperti ini tidak ada di Belanda. Perhutanan Sosial merupakan corrective policy untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan. Masyarakat diberi izin akses dan didampingi mengelola kawasan sekaligus diberi tanggung jawab untuk melestarikannya.

Tim Stella Maris College menyampaikan apresiasi kepada KLHK atas penerimaan dan pembelajaran yang bermanfaat sehingga para siswa dapat mengetahui kebijakan lingkungan yang diambil di Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan.

Direktur Kemitraan Lingkungan juga berpesan kepada peserta, apapun cita – cita mereka kelaknya, hendaknya tetap selalu berpikir dan bertindak dengan perspektif lingkungan. Setiap kegiatan yang kita lakukan akan memberikan dampak terhadap lingkungan. Masalahnya adalah kita hanya mempunyai satu bumi. Jadi kita harus menjaganya dengan baik.

Penulis: Tim Publikasi Direktorat KL

Editor: Kardian

Masa Depan dan Perjuangan Pengakuan Hutan Adat Dayak Abay Sembuak Malinau Kaltara, Ada Misi Besar?

Penulis: Mohamad Supri | Editor: M Purnomo Susanto

Masa Depan Dan Perjuangan Pengakuan Hutan Adat Dayak Abay Sembuak Malinau Kaltara, Ada Misi Besar?
Masyarakat Adat dan Perkumpulan Pengelola Hutan Adat Dayak Abay Sembuak saat mendatangi kawasan dalam wilayah hutan adatnya di Malinau Utara, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, beberapa hari lalu

TRIBUNKALTARA.COM, MALINAU – Masyarakat Adat Dayak Abay Sembuak merupakan bagian dari rumpun Dayak Abay, satu dari 11 suku adat besar di Malinau Kalimantan Utara. Perkumpulan masyarakat yang tinggal di kecamatan Malinau Utara ini seketika mengemuka pasca menerima penghargaan Kalpataru 2023 kategori penyelamat lingkungan. Ketua Perkumpulan Pengelola Hutan Adat Dayak Abay Sembuak ( PPHDAS), Zakaria saat ditemui TribunKaltara.com di kediamannya, bercerita penghargaan Kalpataru 2023 seumpama bonus bagi kerja keras komunitas masyarakat adat.

Di balik hiruk-pikuk, ketenaran Peraih Kalpataru 2023, ada sebuah misi besar yang masih diperjuangkan dan berlanjut setelah Anugerah yang disematkan langsung Menteri LHK, Siti Nurbaya pada peringatan hari Lingkungan Hidup 2023.

Berawal dari kerja kolektif, misi besar ini berada di pundak Pemuda dan Perkumpulan Pengelola Hutan Adat untuk keberlangsungan hidup anak-cucu masyarakat Abay Sembuak, Pengakuan SK Hutan Adat. Di tingkat kabupaten, Dayak Abay Sembuak telah mengantongi Pengakuan Masyarakat Adat berdasarkan Keputusan Bupati Malinau Nomor: 660.2/K.58/202 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Dayak Abay Sembuak.

Pria berusia 58 tahun sekaligus Sekretaris Adat Desa Dayak Abay Sembuak tersebut telah mengabadikan separuh dari hidupnya memperjuangkan pengakuan Hutan Adat. Perjuangannya masih terus berlanjut, hingga tujuan, legasi yang telah dititipkan kepadanya membuahkan hasil.

Perjuangan Pengakuan Hutan Adat

Meskipun baru dibentuk pada 2018 lalu, namun inisiatif memperjuangkan hutan adat telah dicita-citakan sejak puluhan tahun Silam. Puncaknya pada tahun 2013 silam, saat masa kepemimpinan Ketua Adat DAS Kala itu.

Zakaria bercerita, sebelum Ketua Adat sebelumnya meninggal dunia, dirinya yang hingga saat ini merupakan Sekretaris Adat Dayak Abay Sembuak dititipi pesan untuk mengurus hutan adat, termasuk pengakuan negara terhadap masyarakat dan Hutan Adat yang merupakan masa depan anak-cucu DAS. Bukan tanpa sebab, impian ini berawal dari permasalahan demi permasalahan yang dihadapi masyarakat yang terdampak aktivitas koorporasi, konsesi kayu dan perhutanan kala itu.

Mengurus hutan adat hingga aspek legalitas bukan perkara mudah. Zakaria mengakui dia merupakan orang ke-sekian yang telah berupaya mengurus SK Hutan Adat. Kepengurusan silih berganti menyerah karena ribetnya tetek-bengek pengurusan dokumen. Hingga pada 2021 silam, Masyarakat adat mendapatkan secercah harapan. Kamis, 14 Januari 2021, SK Pengakuan Masyarakat Adat DAS diteken Bupati Malinau kala itu, Yansen Tipa Padan.

“Tahun 2021, kami mendapatkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dari Bupati. Selanjutnya, kami telah mengirimkan berkas ke Kementerian LHK untuk dimohonkan Penetapan SK Hutan Adat,” katanya. Saat ini, Pengelola Hutan Adat DAS didampingi Organisasi pemberdayaan nonpemerintah, LP3M, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang konsen memperjuangkan hak-hak masyarakat adat minor di Malinau Kalimantan Utara.

Filosofi dan Relasi Masyarakat Adat dengan Alam dan Leluhur “Batang fasa nalam timug, dumuli semungguli”. Kalimat ini merupakan peribahasa, petuah sekaligus filosofi yang menjadi pegangan sekaligus prinsip hidup bagi masyarakat adat Abay Sembuak. Secara harfiah Zakaria menjelaskan, peribahasa tersebut kurang lebih berarti, “Batang kayu lapuk yang tenggelam di dasar air/sungai suatu saat dapat bertunas kembali.”

Petuah tersebut punya makna yang mendalam. Secara umum, Masyarakat Dayak Abay Sembuak dididik agar tidak menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat mata dan indera tubuh. Dilarang memandang rendah orang lain hanya karena tidak berpendidikan, berpakaian lusuh dan sejenisnya. Ini sejalan dengan model hidup masyarakatnya yang memiliki keyakinan dan ikatan spiritual yang kuat kepada leluhur, hutan dan alam.

Hubungan antara masyarakat. dengan alam dapat dilihat pada acara-acara adat, upacara dan ritual besar. Tradisi sakral dalam upacara adat seperti pernak-pernik, sajian, altar dan medium “Pemanggilan leluhur” semuanya berasal dari alam, diperoleh dari hutan adat. “Hukum adat mengatur prilaku dan kehidupan kami bermasyarakat,” jelas Zakaria.

Penduduk dan masyarakat adat tunduk dan diatur berdasarkan pranata sosial. Hukum adat mengatur hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, aturan adat melarang petaninatau peladang menggeser batas lahan. Adapula norma saat musim buah yang melarang warga mengambil buah. Boleh mengambil dengan syarat buah telah jatuh ke tanah. Pamali memanjat dan dengan sengaja menjatuhkan buah dari tanaman yang bukan haknya.

Pendamping PPHA DAS, Ketua Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Suku Dayak di Malinau (LP3M), Boro Suban Nikolaus menjelaskan, kearifan lokal dan kebudayaan suku adat saat ini telah berkembang sesuai kebutuhan zaman.

“Salah satunya diatur melalui Peraturan Desa. Ada larangan mengeksploitasi hasil hutan secara berlebihan. Artinya hukum adat tetap hidup dan bertahan, bahkan menjadi hukum positif yang wajib ditaati siapapun,” ungkapnya. Dapat dicermati melalui penerapan semangat hukum adat yang diterapkan ke dalam hukum positif, diantaranya Peraturan Desa dan sejenisnya.

Niko Boro sapaan akrabnya menyampaikan masyarakat adat sadar akan pentingnya legalitas. Dari 5 skema perhutanan sosial, SK Hukum Adat merupakan pilihan terbaik. Sebagai legalitas sekaligus bentuk pengakuan kedaulatan wilayah adat yang jauh telah ada sebelum terbentuknya struktur pemerintahan.

Sumber: kaltara.tribunnews.com

Perkumpulan Pengelola Hutan Adat- Dayak Abay Sembuak- Malinau Kaltara

Perkumpulan Pengelola Hutan Adat Dayak Abay Sembuak (PPHA-DAS) didirikan pada tahun 2018 dikelola delapan orang pengurus yang diketuai Zakaria. Anggota PPHA-DAS adalah seluruh masyarakat adat Sembuak.  Pembentukan PPHA-DAS bertujuan untuk menyelamatkan ekosistem, khususnya daerah aliran Sungai Sembuak dan hutan tersisa di wilayah adat Dayak Abay Sembuak. Dengan melakukan pengawasan terhadap perusakan hutan, rehabilitasi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu secara lestari untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Dayak Abay di Malinau.

Lokasi Hutan  Dayak Abay Sembuak  berjarak  6 km dari pusat kota Malinau kerap menjadi incaran perusahaan  untuk dikonversi. Masyarakat telah menolak setidaknya empat perusahaan HPH dan HTI yang mengantongi izin konsesi. Tingginya ancaman konversi lahan oleh privat memotivasi masyarakat adat DAS  melalui PPHA-DAS untuk melindungi wilayah adatnya berupa bentangan tanah, air, sungai, danau, hutan dan ekosistem agar dimanfaatkan bersama selaras dengan tradisi dan  kearifan lokal.

Keanekaragaman hayati hutan adat Dayak Sembuak seluas 64.203 ha memiliki kemiripan dengan Taman Nasional Kelian Mentarang. Dari identifikasi, setidaknya hutan adat Abay Sembuak memiliki tujuh jenis tanaman penyedap rasa, 17 tanaman obat, empat  jenis kayu untuk penyembuhan, 42 pohon buah, sembilan jenis rambutan, tujuh jenis mangga, delapan jenis durian, 10 jenis padi ladang, delapan jenis padi ketan. Ikan Sungai Sembuak ada 65 jenis, 26 jenis burung, 51 hewan melata dan ampibi serta 40 jenis fauna lainnya, termasuk 15 diantaranya fauna dilindungi.

Secara swadaya, pengelolaan wilayah adat DAS selalu melibatkan pemuda adat.  Merujuk pada peraturan adat, mereka aktif melakukan penyelamatan dan pengamanan wilayah adat dengan tiga pos jaga, pembuatan zonasi kawasan  meliputi Tanah Femagunan (Areal pemekaran pemukiman), Tana Umo ( Tanah perladangan), Tana Malayang (Tanah persawahan), Tana Kabayagan (Hutan untuk kehidupan/mata pencaharian), Tana Sunnu  (Hutan untuk destinasi wisata) dan Tana Togomon (Tanah Terlarang/Keramat). Warga  aktif mengkonservasi flora, menerapkan larangan pemakaian  racun ikan, pengambilan kayu hutan, perburuan satwa dan penerapan sanksi adat bagi pelanggar.

Dengan upaya yang dilakukan, aktifitas penebangan, perburuan dan pengambilan ikan dengan bom berkurang. Sehingga hutan adat tetap lestari. Penghargaan Kalpataru sebagai penguat  semangat  untuk menjaga wilayah. Bagi mereka, hutan adat adalah jantung dan nadi kehidupan. Keberlanjutan hutan adat harus terjaga untuk generasi selanjutnya, karena jika hutan hilang maka masyarakat adat Dayak Abay pun terancam hilang.

Penulis: Puji-Kehati, Tenaga Teknis Kalpataru
Editor: Nurhayati

Ranger Perempuan dari Damaran Baru, Bener Meriah

Sekelompok Pencinta Alam di Desa Damaran Baru berkumpul pada tahun 2010. Kegiatan utama mereka mendaki gunung api Bur Ni Telong dengan ketinggian 2500 mdpl. Selama Pendakian mereka menyusuri hutan dan sungai yang ada di Damaran Baru.

Desa Damaran Baru merupakan Desa langanan banjir, BNPB menetapkan Desa Damaran Baru sebagai Desa Rawan Bencana. Ada Daerah Aliran Sungai (DAS) Wih Gile, yang tiap tahun rawan mengantarkan luapan air dari hulu sungai hutan Bener Meriah.

Awalnya masyarakat percaya, itu hanyalah bencana dari Tuhan. Padahal Kelompok Pencita alam Bur Ni Telong sudah seringkali mengingatkan bahwa kerusakan gunung Bur Ni Telong dan kawasan hutan Damaran Baru bukan karena bencana yang diturunkan Tuhan, melainkan karena mulai berubah fungsi alamnya dari Hutan Lindung menjadi perkebunan dan penebangan.

Himbauan sudah sejak tahun 2010, empat tahun lamanya sampai akhirnya kelompok ini membetuk LSM yang bernama Bur Ni Telong dan disahkan oleh pemerintah Bener Meriah pada tahun 2014. Tahun 2015 terjadi bencana banjir bandang di desa Damaran Baru melalui sungai Wih Gile yang membawa luapan air, lumpur, pasir dan batu-batuan yang meluncur dari hutan Damaran Baru dan gunung Bur Ni Telong.

Dampak banjir bandang menyadarkan para penduduk, untuk segera membuat satgas perlindungan hutan Damaran Baru. Proses ini awalnya dilakukan selama dua tahun masih bersama LSM Bur Ni Telong dilakukan oleh beberapa laki-laki. Pada tahun 2016 LSM Bur Ni Telong mulai melibatkan perempuan yang menurut mereka geram mendengar banyaknya perusakan lingkungan di hutannya. Dengan melibatkan perempuan proses perubahan perilaku, para perusak lingkungan makin berkurang. Pada tahun 2017 terbentuklah LPHK Damaran Baru yang terdiri dari 42 orang, 23 perempuan dan 19 laki-laki, tugasnya melakukan perlindungan Hutan Damaran Baru. Kelompok ini disahkan oleh Kepala Desa Damaran Baru. Karena melibatkan perempuan LPHK Damaran Baru lebih dikenal dengan sebutan Ranger Perempuan atau “Mpu Uteh”, oleh warga sekitar.

Dengan keberadaan LPHK Damaran baru dan Mpu Uteh-nya. Sekarang ini sudah tidak terjadi lagi banjir di desa tersebut, dan menurut citra satelit tutupan lahan mulai berangsur-angsur membaik.

Kekukuhan kelompok inilah yang akhirnya pada tahun 2019, mendapatkan kepercayaan pemerintah untuk turut menjaga, memanfaatkan dan melindungi hutan Damaran Baru melalui Perhutanan Sosial dalam skema Hutan Desa seluas 251 ha.

Penulis: Mashury Alif

Editor: Nurhayati

Muhammad Ikhwan AM

Muhammad Ikhwan lelaki berumur 43 tahun lahir di Maros tanggal 10 Oktober 1980 merupakan penduduk asli Desa Salenrang, Kabupaten Maros dimana Karst Rammang-rammang berada. Ikhwan adalah seorang aktivis pecinta lingkungan sejak sekolah, menjadikannya peka pada masalah sosial dan lingkungan disekitar. Kecintaan beliau terhadap alam sudah dirasakan sejak mengecap pendidikan di Madrasah Aliyah.

Ikhwan, sejak usia remaja, telah memperjuangkan mimpinya untuk mempertahankan dan mewariskan budaya masyarakat (kearifan lokal) akan pentingnya kawasan Kars bagi generasi mendatang. Dia juga membuktikan bahwa kegiatan pertambangan batuan marmer merusak lingkungan dan hanya sesaat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan wisata berbasis masyarakat. Semua biaya itu berasal dari hasil kerjanya sebagai tukang bengkel motor, kadang dibantu dari gaji istrinya yang seorang guru.

Kegiatan yang Ikhwan lakukan adalah mengadvokasi penyadaran masyarakat, pemerintah dan juga perusahaan agar kegiatan ekstraktif tidak dilakukan untuk mengeksploitasi Kawasan Karst di Desa Salenrang. Selain advokasi, Ikhwan juga merintis kegiatan ekowisata Kawasan Rammang–rammang agar masyarakat dapat memanfaatkan Kawasan karst untuk peningkatan taraf hidup di Desa Salenrang.

Selama 17 tahun Ikhwan termotivasi untuk merintis mempertahankan keberadaan Kars. Konsistensi serta pengorbanannya dalam menghadapi segala resiko telah diakui dan mengubah pola pikir banyak pihak. Ikhwan aktif dan membangun jejaring sesama aktivis lingkungan untuk bersama – sama mengadvokasi masyarakat tentang konservasi lingkungan di Provinsi Sulawesi Selatan. Kegiatan ini juga menyadarkan publik akan pentingnya fungsi kawasan Karst yang merupakan kawasan esensial. Kawasan yang berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem meliputi kekayaan flora dan fauna serta sebagai penyimpan cadangan air.

Kegiatan advokasi yang dilakukan pada akhirnya berbuah keberhasilan karena pada tahun 2013 izin tambang berhasil dicabut pemerintah daerah.  Tidak hanya sampai dalam hal penarikan izin tambang, advokasi yang dilakukan Ikhwan juga mengantarkan Kawasan Karst Rammang – rammang untuk mendapatkan penghargaan sebagai UNESCO Global Geopark yang merupakan kawasan terbesar kedua di dunia setelah China yang akan diberikan pada September 2023.

Ikhwan memiliki harapan dengan advokasi yang dilakukan dapat melestarikan dan menjaga Kawasan karst dari ancaman eksploitasi ekstraktif yang muncul kapan saja. Pengakuan yang diberikan merupakan pengingat akan pentingnya Kawasan karst untuk menjaga keseimbangan alam sebagai satu ekosistem serta memiliki banyak manfaat bagi kehidupan. Ekowisata Rammang – rammang yang hadir di Kawasan karst Desa Salenrang hanya sebagai bonus yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Penulis: Dadang K & Andreas M Pardede

Editor: Nurhayati

Petronela Merauje, Bersama Perempuan Menjaga Hutan Perempuan

Petronela Merauje adalah seorang ibu rumah tangga yang lahir di Jayapura pada tanggal 21 Februari 1981. Perempuan asli Kampung Enggros, Kecamatan Abepura, Kota Jayapura ini adalah seorang tokoh perempuan yang berpengaruh dalam perlindungan Hutan Perempuan (Tonotwiyat) dan Teluk Youtefa. Ketertarikannya pada isu perempuan dan lingkungan hidup dimulai pada tahun 2010 saat terlibat dalam kegiatan aksi penanaman mangrove bersama Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG).

Perempuan yang saat ini berusia 42 tahun dan lebih akrab dipanggil dengan nama “Mama Nela” ini merasa terpanggil untuk menjaga Hutan Perempuan karena banyaknya sampah yang hanyut terbawa arus dan menurunnya luasan hutan mangrove tersebut karena pembangunan. Hutan Perempuan memiliki arti penting bagi para perempuan di Kampung Enggros. Hutan Perempuan adalah hutan mangrove yang berada di Teluk Yotefa yang menjadi tempat untuk

para perempuan “bersuara” karena secara adat perempuan di Suku Enggros tidak memiliki hak suara. Saat berada di Hutan Perempuan, para perempuan tersebut tidak memakai busana (telanjang) dan laki-laki dilarang masuk. Bagi laki-laki yang melanggar aturan ini akan dikenakan denda adat.

Bagi Mama Nela menyelamatkan keberadaan mangrove di Hutan Perempuan sama pentingnya dengan menyelamatkan peran perempuan di Kampung Enggros. Hal ini mendorong Mama Nela untuk melakukan kegiatan penanaman mangrove mencapai 20.000 bibit secara mandiri untuk menjaga kerapatan hutan mangrove agar para perempuan yang berada di dalam Hutan Mangrove yang tidak menggunakan busana tersebut tidak terlihat dari luar hutan. Selain itu juga untuk menjaga habitat kerang yang menjadi mata pencaharian utama perempuan di Kampung Enggros.

Di dalam Hutan Perempuan tersebut Mama Nela melakukan pemberdayaan perempuan dengan memberikan pelatihan kepada perempuan dalam mengelola sampah menjadi souvenir yang dijual kepada wisatawan, selain itu juga diberikan pelatihan untuk mengolah buah mangrove menjadi makanan seperti es krim, puding, nugget, dan lainnya. Kegiatan pembinaan tidak hanya dilakukan di Kampung Enggros tetapi juga dilakukan di lima kelompok binaan lainnya di luar Kampung Enggros. Mama Nela berharap melalaui upaya advokasi dan penyelamatan lingkungan yang dilakukannya, peran perempuan di Kampung Enggros dapat diakui serta tumbuhnya kesadaran pada setiap perempuan tentang  rasa memiliki Hutan Perempuan sehingga terus dapat menjaga nilai adat hutan sebagai identitas budaya.

Penulis: Tim Kalpataru