Perkumpulan Pengelola Hutan Adat- Dayak Abay Sembuak- Malinau Kaltara

Perkumpulan Pengelola Hutan Adat Dayak Abay Sembuak (PPHA-DAS) didirikan pada tahun 2018 dikelola delapan orang pengurus yang diketuai Zakaria. Anggota PPHA-DAS adalah seluruh masyarakat adat Sembuak.  Pembentukan PPHA-DAS bertujuan untuk menyelamatkan ekosistem, khususnya daerah aliran Sungai Sembuak dan hutan tersisa di wilayah adat Dayak Abay Sembuak. Dengan melakukan pengawasan terhadap perusakan hutan, rehabilitasi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu secara lestari untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Dayak Abay di Malinau.

Lokasi Hutan  Dayak Abay Sembuak  berjarak  6 km dari pusat kota Malinau kerap menjadi incaran perusahaan  untuk dikonversi. Masyarakat telah menolak setidaknya empat perusahaan HPH dan HTI yang mengantongi izin konsesi. Tingginya ancaman konversi lahan oleh privat memotivasi masyarakat adat DAS  melalui PPHA-DAS untuk melindungi wilayah adatnya berupa bentangan tanah, air, sungai, danau, hutan dan ekosistem agar dimanfaatkan bersama selaras dengan tradisi dan  kearifan lokal.

Keanekaragaman hayati hutan adat Dayak Sembuak seluas 64.203 ha memiliki kemiripan dengan Taman Nasional Kelian Mentarang. Dari identifikasi, setidaknya hutan adat Abay Sembuak memiliki tujuh jenis tanaman penyedap rasa, 17 tanaman obat, empat  jenis kayu untuk penyembuhan, 42 pohon buah, sembilan jenis rambutan, tujuh jenis mangga, delapan jenis durian, 10 jenis padi ladang, delapan jenis padi ketan. Ikan Sungai Sembuak ada 65 jenis, 26 jenis burung, 51 hewan melata dan ampibi serta 40 jenis fauna lainnya, termasuk 15 diantaranya fauna dilindungi.

Secara swadaya, pengelolaan wilayah adat DAS selalu melibatkan pemuda adat.  Merujuk pada peraturan adat, mereka aktif melakukan penyelamatan dan pengamanan wilayah adat dengan tiga pos jaga, pembuatan zonasi kawasan  meliputi Tanah Femagunan (Areal pemekaran pemukiman), Tana Umo ( Tanah perladangan), Tana Malayang (Tanah persawahan), Tana Kabayagan (Hutan untuk kehidupan/mata pencaharian), Tana Sunnu  (Hutan untuk destinasi wisata) dan Tana Togomon (Tanah Terlarang/Keramat). Warga  aktif mengkonservasi flora, menerapkan larangan pemakaian  racun ikan, pengambilan kayu hutan, perburuan satwa dan penerapan sanksi adat bagi pelanggar.

Dengan upaya yang dilakukan, aktifitas penebangan, perburuan dan pengambilan ikan dengan bom berkurang. Sehingga hutan adat tetap lestari. Penghargaan Kalpataru sebagai penguat  semangat  untuk menjaga wilayah. Bagi mereka, hutan adat adalah jantung dan nadi kehidupan. Keberlanjutan hutan adat harus terjaga untuk generasi selanjutnya, karena jika hutan hilang maka masyarakat adat Dayak Abay pun terancam hilang.

Penulis: Puji-Kehati, Tenaga Teknis Kalpataru
Editor: Nurhayati