Masa Depan dan Perjuangan Pengakuan Hutan Adat Dayak Abay Sembuak Malinau Kaltara, Ada Misi Besar?

Penulis: Mohamad Supri | Editor: M Purnomo Susanto

Masa Depan Dan Perjuangan Pengakuan Hutan Adat Dayak Abay Sembuak Malinau Kaltara, Ada Misi Besar?
Masyarakat Adat dan Perkumpulan Pengelola Hutan Adat Dayak Abay Sembuak saat mendatangi kawasan dalam wilayah hutan adatnya di Malinau Utara, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, beberapa hari lalu

TRIBUNKALTARA.COM, MALINAU – Masyarakat Adat Dayak Abay Sembuak merupakan bagian dari rumpun Dayak Abay, satu dari 11 suku adat besar di Malinau Kalimantan Utara. Perkumpulan masyarakat yang tinggal di kecamatan Malinau Utara ini seketika mengemuka pasca menerima penghargaan Kalpataru 2023 kategori penyelamat lingkungan. Ketua Perkumpulan Pengelola Hutan Adat Dayak Abay Sembuak ( PPHDAS), Zakaria saat ditemui TribunKaltara.com di kediamannya, bercerita penghargaan Kalpataru 2023 seumpama bonus bagi kerja keras komunitas masyarakat adat.

Di balik hiruk-pikuk, ketenaran Peraih Kalpataru 2023, ada sebuah misi besar yang masih diperjuangkan dan berlanjut setelah Anugerah yang disematkan langsung Menteri LHK, Siti Nurbaya pada peringatan hari Lingkungan Hidup 2023.

Berawal dari kerja kolektif, misi besar ini berada di pundak Pemuda dan Perkumpulan Pengelola Hutan Adat untuk keberlangsungan hidup anak-cucu masyarakat Abay Sembuak, Pengakuan SK Hutan Adat. Di tingkat kabupaten, Dayak Abay Sembuak telah mengantongi Pengakuan Masyarakat Adat berdasarkan Keputusan Bupati Malinau Nomor: 660.2/K.58/202 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Dayak Abay Sembuak.

Pria berusia 58 tahun sekaligus Sekretaris Adat Desa Dayak Abay Sembuak tersebut telah mengabadikan separuh dari hidupnya memperjuangkan pengakuan Hutan Adat. Perjuangannya masih terus berlanjut, hingga tujuan, legasi yang telah dititipkan kepadanya membuahkan hasil.

Perjuangan Pengakuan Hutan Adat

Meskipun baru dibentuk pada 2018 lalu, namun inisiatif memperjuangkan hutan adat telah dicita-citakan sejak puluhan tahun Silam. Puncaknya pada tahun 2013 silam, saat masa kepemimpinan Ketua Adat DAS Kala itu.

Zakaria bercerita, sebelum Ketua Adat sebelumnya meninggal dunia, dirinya yang hingga saat ini merupakan Sekretaris Adat Dayak Abay Sembuak dititipi pesan untuk mengurus hutan adat, termasuk pengakuan negara terhadap masyarakat dan Hutan Adat yang merupakan masa depan anak-cucu DAS. Bukan tanpa sebab, impian ini berawal dari permasalahan demi permasalahan yang dihadapi masyarakat yang terdampak aktivitas koorporasi, konsesi kayu dan perhutanan kala itu.

Mengurus hutan adat hingga aspek legalitas bukan perkara mudah. Zakaria mengakui dia merupakan orang ke-sekian yang telah berupaya mengurus SK Hutan Adat. Kepengurusan silih berganti menyerah karena ribetnya tetek-bengek pengurusan dokumen. Hingga pada 2021 silam, Masyarakat adat mendapatkan secercah harapan. Kamis, 14 Januari 2021, SK Pengakuan Masyarakat Adat DAS diteken Bupati Malinau kala itu, Yansen Tipa Padan.

“Tahun 2021, kami mendapatkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dari Bupati. Selanjutnya, kami telah mengirimkan berkas ke Kementerian LHK untuk dimohonkan Penetapan SK Hutan Adat,” katanya. Saat ini, Pengelola Hutan Adat DAS didampingi Organisasi pemberdayaan nonpemerintah, LP3M, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang konsen memperjuangkan hak-hak masyarakat adat minor di Malinau Kalimantan Utara.

Filosofi dan Relasi Masyarakat Adat dengan Alam dan Leluhur “Batang fasa nalam timug, dumuli semungguli”. Kalimat ini merupakan peribahasa, petuah sekaligus filosofi yang menjadi pegangan sekaligus prinsip hidup bagi masyarakat adat Abay Sembuak. Secara harfiah Zakaria menjelaskan, peribahasa tersebut kurang lebih berarti, “Batang kayu lapuk yang tenggelam di dasar air/sungai suatu saat dapat bertunas kembali.”

Petuah tersebut punya makna yang mendalam. Secara umum, Masyarakat Dayak Abay Sembuak dididik agar tidak menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat mata dan indera tubuh. Dilarang memandang rendah orang lain hanya karena tidak berpendidikan, berpakaian lusuh dan sejenisnya. Ini sejalan dengan model hidup masyarakatnya yang memiliki keyakinan dan ikatan spiritual yang kuat kepada leluhur, hutan dan alam.

Hubungan antara masyarakat. dengan alam dapat dilihat pada acara-acara adat, upacara dan ritual besar. Tradisi sakral dalam upacara adat seperti pernak-pernik, sajian, altar dan medium “Pemanggilan leluhur” semuanya berasal dari alam, diperoleh dari hutan adat. “Hukum adat mengatur prilaku dan kehidupan kami bermasyarakat,” jelas Zakaria.

Penduduk dan masyarakat adat tunduk dan diatur berdasarkan pranata sosial. Hukum adat mengatur hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, aturan adat melarang petaninatau peladang menggeser batas lahan. Adapula norma saat musim buah yang melarang warga mengambil buah. Boleh mengambil dengan syarat buah telah jatuh ke tanah. Pamali memanjat dan dengan sengaja menjatuhkan buah dari tanaman yang bukan haknya.

Pendamping PPHA DAS, Ketua Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Suku Dayak di Malinau (LP3M), Boro Suban Nikolaus menjelaskan, kearifan lokal dan kebudayaan suku adat saat ini telah berkembang sesuai kebutuhan zaman.

“Salah satunya diatur melalui Peraturan Desa. Ada larangan mengeksploitasi hasil hutan secara berlebihan. Artinya hukum adat tetap hidup dan bertahan, bahkan menjadi hukum positif yang wajib ditaati siapapun,” ungkapnya. Dapat dicermati melalui penerapan semangat hukum adat yang diterapkan ke dalam hukum positif, diantaranya Peraturan Desa dan sejenisnya.

Niko Boro sapaan akrabnya menyampaikan masyarakat adat sadar akan pentingnya legalitas. Dari 5 skema perhutanan sosial, SK Hukum Adat merupakan pilihan terbaik. Sebagai legalitas sekaligus bentuk pengakuan kedaulatan wilayah adat yang jauh telah ada sebelum terbentuknya struktur pemerintahan.

Sumber: kaltara.tribunnews.com