Komoditi Tanaman Bertingkat Sebagai Model Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan

Salah satu masalah petani karet adalah ketika harga karet turun dan tidak menentu. Tanpa terkecuali, hal ini juga dialami oleh masyarakat Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba), Kecamatan Batin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi yang pemasukan utama didapat dari getah karet.

Secara tradisional, pemanfaatan lahan oleh masyarakat dimulai dengan behumo, yaitu pembukaan hutan untuk penanaman padi. Tahap selanjutnya, setelah panen padi, yaitu menanam tanaman semusim seperti cabai, jagung, sayuran, dan lain-lain. Begitu panen tanaman semusim, barulah menanam karet sembari ditumpangsarikan dengan durian, nangka, duku, dan lain-lain.

Masa tunggu tanaman karet hingga siap deres bisa sampai sepuluh tahun. Selama masa tunggu, lahan karet tadi dibiarkan begitu saja dibarengi dengan membuka lahan atau behumo di tempat lain. Begitulah pola olah lahan yang dilakukan.

Lahan karet yang dibiarkan tanpa perawatan tadi berubah menjadi hutan sekunder, baik tajuk maupun kerapatannya. Selama masa tunggu, karet akan bersaing dan berbagi lahan dengan tanaman lain yang tumbuh bebas. Pengelolaan karet seperti ini kurang bagus, dari 500 bibit tinggal 200-300 batang yang bisa besar karena persaingan dengan tanaman lain yang dibiarkan tumbuh tanpa diperhatikan.

Berubahnya lahan karet menjadi hutan sekunder sebenarnya menguntungkan secara ekologis, karena beberapa jenis flora-fauna akan tumbuh berdampingan. Secara tidak langsung, hutan sekunder lahan karet juga memiliki fungsi konservasi (penahan longsor, erosi, dan banjir) dan pengatur tata air tanah (hidrologis), dan lain-lain.

Pola pengelolaan lahan secara tradisional dan kurangnya perawatan menjadikan karet kurang menghasilkan secara ekonomi. Selain itu, karet yang ditanam bukan berkualitas tinggi, sehingga getah yang keluar juga sedikit.

Masalah akan bertambah ketika penghujan, karet sulit dideres. Apalagi ketika harga fluktuatif dan masyarakat tidak mempunyai tanaman lain yang bisa dimanfaatkan untuk menopang pendapatan.

Pada akhirnya, permasalahan ekonomi dan ekologi akan mempengaruhi pola pengelolaan lahan yang dalam jangka panjang dikhawatirkan akan merusak kawasan hutan. Jalan keluar yang bisa memadukan kepentingan ekonomi dan ekologi secara berkelanjutan sangat diperlukan.

Salah satunya adalah sistem komoditi tanaman bertingkat. bertujuan mengoptimalkan lahan dengan sedikit menggeser posisi karet sebagai tanaman utama dan diselingi dengan tanaman yang bisa memberikan penghasilan jangka pendek, menengah, maupun panjang.

Cara kerjanya adalah mengembangkan tanaman bernilai ekonomi sebagai pelengkap dan pendamping pohon karet. Antar pohon karet diberi tanaman yang kanopinya bertingkat (rendah, menengah, dan tinggi). Tanamannya juga harus yang memberikan penghasilan bertingkat (harian, mingguan, bulanan, dan tahunan).

Masyarakat dilibatkan dalam merencanakan dan mengembangkan sistem komoditi tanaman bertingkat. Mereka mempelajari jenis tanaman yang cocok sebagai pendamping karet, kondisi lahan, dan hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam menerapkan system komoditi bertingkat. Kunjungan ke daerah yang telah menerapkan sistem ini memberikan harapan dan semangat mengelola lahan dengan lebih baik.

Pohon kakao (cokelat), kapulaga, dan jernang dipilih masyarakat sebagai pendamping. Tanaman ini tidak mengenal perubahan cuaca dan berbuah sepanjang tahun serta harganya bagus di pasaran. Perpaduannya menghasilkan dukungan antar kanopi yang baik, kapulaga yang berkanopi rendah ditopang oleh kakao yang berkanopi menengah. Kakao ditopang karet yang berkanopi tinggi. Kemudian dilengkapi dengan jernang.

Pola ini bisa menjadikan penghasilan masyarakat bertingkat, tidak hanya bergantung pada satu tanaman. Hasil getah karet untuk menopang kebutuhan harian, kakao untuk mingguan, kapulaga untuk bulanan, dan jernang untuk tahunan.

Harapan dalam jangka panjang adalah perubahan pola budidaya tanaman dan pemanfaatan lahan. Pngembangan komoditi bertingkat juga akan membentuk pola pikir, bahwa hutan tidak lagi dipandang sebagai kawasan yang akan dibuka untuk diolah terus-menerus, tetapi juga perlu memperhatikan sisi ekologinya.

Metode komoditi tanaman bertingkat membuat ekonomi masyarakat Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) meningkat dan lestari secara ekologi.

Sumber:

Buku, Dinaldi, Sekelumit Kisah Lapangan: Mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Jambi: 2016, Warsi.

Foto: Agrozine

Ditulis ulang oleh: Ridwan Faqih A

Editor: Nurhayati

Setelah 27 Tahun, MHA Mului Sukses Raih Penghargaan Kalpataru

Masyarakat Kalimantan Timur patut berbangga, pasalnya salah satu kelompok masyarakat di Kabupaten Paser telah ditetapkan sebagai salah satu penerima penghargaan paling bergengsi di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, yakni Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia (RI).

Sebagaimana diketahui, Kalpataru merupakan penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup dan kehutanan yang diberikan pemerintah kepada pihak-pihak yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi dan menyelamatkan lingkungan hidup, serta kehutanan.

Penghargaan tersebut diberikan kepada masyarakat, maupun kelompok yang dinilai layak dan pantas memperoleh Kalpataru, karena perannya dalam melestarikan lingkungan.

Melalui surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.533/MENLHK/PSKL/PSL.3/5/2022, tentang Penerima Penghargaan Kalpataru Tahun 2022, menetapkan 10 penerima penghargaan Kalpataru.

Dari 10 penerima penghargaan Kalpataru, Masyarakat Hukum Adat (MHA) Mului dari Kampung Mului, Desa Swan Slutung, Kecamatan Muara Koman, Kabupaten Paser, menjadi satu-satunya perwakilan Kaltim yang berhak menerima penghargaan tersebut untuk kategori Penyelamat Lingkungan.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim EA Rafiddin Rizal menjelaskan, penghargaan Kalpataru yang diterima oleh MHA Mului menjadi bukti bahwa masyarakat Kaltim sadar betul pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan kehutanan, sekaligus merupakan pengakuan dan apresiasi terhadap perorangan maupun kelompok masyarakat yang secara aktif memelihara kearifan lokal dalam menjaga lingkungan.

“Ini menambah jumlah penghargaan Kalpataru yang telah diperoleh oleh masyarakat Kalimantan Timur selama beberapa tahun terakhir, dan kebanggaan tersendiri, setelah dua tahun terakhir karena situasi pandemi,  Kaltim dapat memperoleh kembali penghargaan Kalpataru,” ucapnya, Jumat (3/6/2022).

“Kami tentu berharap, berbagai program pemerintah tentang upaya menjaga kelestarian lingkungan dapat didukung oleh masyarakat. MHA Mului ini dapat dijadikan contoh bagi masyarakat luas tentang bagaimana merawat, serta menjaga lingkungan hidup tetap asri, dan sudah menjadi tugas kami untuk melakukan inventarisasi, membina, serta mengusulkan untuk penerimaan penghargaan ini di tingkat provinsi dan nasional,” tutur Rizal.

Ditambahkan Rizal, bahwa pemberiaan penghargaan ini akan diberikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo, bertempat di Jakarta atau Bogor, namun untuk pelaksanaan masih menunggu jadwal dan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (ist/sul/adpimprov kaltim)

Sumber berita: https://www.kaltimprov.go.id/berita/setelah-27-tahun-mha-mului-sukses-raih-penghargaan-kalpataru

Zulkifli ASN Kota Ternate Terima Penganugerahan Penghargaan Kalpataru dari Wamen LHK

KBRN, Ternate : Penghargaan Kalpataru yang merupakan bentuk apresiasi tertinggi dari pemerintah kepada individu atau kelompok masyarakat yang berjasa dalam melindungi dan menyelamatkan lingkungan hidup. Dasar pelaksanaan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 30 Tahun 2017 tentang Penghargaan Kalpataru.

Ajang penganugerahan Penghargaan Kalpataru diselenggarakan setiap tahun dengan maksud untuk meningkatkan kesadaran, membuka peluang bagi berkembangnya inovasi dan kreativitas, serta mendorong prakarsa masyarakat, sebagai bentuk apresiasi dan motivasi kepada individu dan kelompok masyarakat dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan secara berkelanjutan.

Adapun sasarannya adalah individu maupun kelompok yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan, dan membina Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Penganugerahan Penghargaan Kalpataru Tahun 2022 dilaksanakan pada Tanggal 20 Juli 2022 bertempat di Gedung Manggala Wanabakti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI oleh Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI yang didampingi Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. Secara keseluruhan jumlah penerima Penghargaan Kalpataru Tahun 2022 berjumlah 10 (sepuluh) penerima dengan berbagai kategori diantaranya: 3 orang Kategori Perintis Lingkungan; 2 orang Kategori Pengabdi Lingkungan; 3 orang Kategori Penyelamat Lingkungan; dan 2 orang Kategori Pembina Lingkungan.

Salah satu penerima Kalpataru kali ini adalah Zulfikli dalam kategori Pengabdi Lingkungan. Program yang dijalankan oleh ASN Kota Ternate ini adalah Gerakan Menabung dan Memanen Air Hujan Kecamatan Kota Ternate Utara (Gemma Camtara).

Selama 42 tahun penyelenggaraannya yang dimulai pada Tahun 1980, telah mencatat 408 penerima penghargaan Kalpataru dari seluruh provinsi di Indonesia. Adapun Provinsi Maluku Utara sendiri baru dua kali mengikuti Penghargaan Kalpataru yakni Pada Tahun 2014 mengusulkan Bapak Amrul Sadik Daga, ASN Pemerintah Kota Ternate untuk kategori Pengabdi Lingkungan. Program yang dilaksanakan Bapak Amrul Sadik Daga adalah penanganan limbah medis di Kota Ternate dan dengan programnya itu ditetapkan sebagai salah satu penerima Penghargaan Kalpataru pada Tahun 2014.

Pada Tahun 2022 melalui dinas Lingkungan hidup Provinsi Maluku utara mengusulkan Bapak Zulkifli, SE, M.Si dalam kategori Pengabdi Lingkungan. Program yang dijalankan oleh ASN Kota Ternate ini adalah Gerakan Menabung dan Memanen Air Hujan Kecamatan Kota Ternate Utara (Gemma Camtara). Program yang bertujuan untuk menangani krisis air bersih dengan mengelola dan memanfaatkan air hujan melalui Instalasi Pemanfaatan Air Hujan (iPAH) ini setelah melalui beberapa tahapan penilaian ditetapkan sebagai salah satu penerima Penghargaan Kalpataru kategori Pengabdi Lingkungan sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.533/MENLHK/PSKL/ PSL.3/5/2022 tentang Penerima Penghargaan Kalpataru Tahun 2022.

Zulkifli kepada rri.co.id Kamis (21/7/2022) usai menerima penganugerahan Kalpataru mengatakan, Saya merasa bersyukur, bahagia dan sekaligus bangga bisa meraih penghargaan ini, bisa membawa nama Pemerintah Kota Ternate dan Provinsi Maluku Utara di ajang nasional. Pada awalnya ketika diusulkan mengikuti Penghargaan Kalpataru Tahun 2022 oleh DLH Provinsi Maluku Utara, saya sempat menolaknya karena di Maluku Utara ada banyak pegiat dan penggiat lingkungan hidup termasuk ASN didalamnya. Bagi saya menerima penghargaan dari negara melalui ajang Kalpataru ini bukan merupakan tujuan dan akhir dari pengabdian tapi ini lebih kepada penambah motivasi dan memperteguh komitmen untuk tetap terus melanjutkan dan mengembangkannya melalui Besa Macahaya. Melalui Besa Macahaya selain tetap concern pada upaya konservasi air tanah dan penyediaan air bersih berbasis air hujan juga pengelolaan sampah dari sumber dan konservasi energi.

”Saya sangat bersyukur, bahagia dan bangga bisa meraih penghargaan ini sekaligus dapat membawa nama Pemerintah Kota Ternate dan Maluku Utara di ajang nasional sebagai penerima Kalpataru,” ungkap Zulkifli.

Gemma Camtara atau Gerakan Menabung dan Memanen Air Hujan Kecamatan Kota Ternate Utara kata Zulkifli yang biasa disapa Ipin dalam perjalanannya tidak sendiri, banyak dukungan dan keterlibatan dari berbagai pihak melalui kolaborasi dan kemitraan. Untuk itu melalui kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Kota Ternate yang selalu mendorong dan memotivasi saya dan ASN Kota Ternate untuk selalu peka dan peduli terhadap permasalahan dan aspirasi masyarakat dengan melahirkan dan menjalankan program inovasi. Saya juga menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara yang telah mengusulkan saya mengikuti Penghargaan Kalpataru. Ucapan terima kasih juga kepada tim kerja Gemma Camtara dan teman-teman di Kantor Kecamatan Kota Ternate Utara serta semua pihak yang telah bersama-sama Gemma Camtara melakukan upaya konservasi air tanah melalui Program Sedekah Air Hujan.

Oleh: Nanang Adrany

Sumber berita: https://rri.co.id/ternate/daerah/1546295/zulkifli-asn-kota-ternate-terima-penganugerahan-penghargaan-kalpataru-dari-wamen-lhk

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Instrumen Pembangunan Masyarakat Desa Sekitar Hutan

Foto: BaKTINews

PHBM Sebagai Media Penguatan Hak Masyarakat Desa Sekitar Hutan

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan skema pengelolaan hutan yang memberi ruang kepada masyarakat desa sekitar hutan sebagai pelaku utama. Sebenarnya inisiatif seperti ini sudah berlangsung sejak lama, dari generasi ke generasi. Misalnya bentuk pengelolaan hutan adat, rimbo larangan, imbo psako/parabukalo dan lain sebagainya.

Pada intinya, semua bentuk ini bertujuan melindungi hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat setempat, jika ada anggota masyarakat yang melanggar maka akan dikenai sanksi adat yang berlaku. Hanya saja inisiatif seperti ini terkadang tidak diakomodir oleh pemerintah.

Era 1960-an sampai dengan 2000-an, pengelolaan hutan masih berorientasi pada modal swasta melalui berbagai skema izin seperti Hak Penguasaan Hutan (IUPHHK HA) dan Hutan Tanaman Industri (IUPHHK HTI). Kedua skema ini banyak dituding berkontribusi besar terhadap  kegagalan pengelolaan hutan di Indonesia.

Menurut data Badan Planologi Kehutanan, dalam kurun waktu 2022-2006 telah terjadi degradasi hutan kurang lebih 1,8 juta Ha/tahun, sedangkan lahan kritis diperkirakan mencapai angka 30,2 juta Ha. CIFOR menyebutkan bahwa 10,2 juta jiwa dari 48,8 juta jiwa yang hidup di sekitar hutan masih tergolong miskin.

Kedua data di atas menunjukkan bahwa tingkat degradasi hutan dan lahan belum berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Hal ini pula lah yang menyebabkan konflik antara masyarakat dengan pihak swasta sebagai pemegang izin. Alasan utamanya adalah ketimpangan izin akses pemanfaatan hutan, masyakat sekitar hutan merasa sebagai pihak yang tersingkirkan. Sehingga penguatan hak masyarakat desa sekitar hutan menjadi penting untuk diakui legal formalnya.

Advokasi dari berbagai pihak telah berhasil mendorong lahirnya regulasi yang mengatur tentang sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat. PP No 6 tahun 2007 menyebutkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang diistilahkan dengan skema perhutanan sosial.

Skema tersebut adalah: Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Kemitraan. Semua skema tersebut memberikan hak kepada masyarakat agar dapat mengelola kawasan hutan lindung dan hutan produksi secara legal.

Mahkamah Konstitusi (MK), melalui putusan No 35 tahun 2012 memutuskan bahwa hutan adat merupakan hutan yang dikelola oleh masyarakat hukum adat sepanjang masih ada dan diakui. Sehingga hutan adat tidak lagi dikategorikan sebagai hutan negara seperti yang disebutkan dalam UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, dengan demikian bentuk PHBM menjadi lebih banyak pilihan, tinggal menyesuaikan dengan kondisi biofisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.

Layanan PHBM Pasca UU Nomor 23 Tahun 2014 dan Perpres Nomor 16 Tahun 2015

Terbitnya dua peraturan perundang-undangan tersebut berimplikasi pada layanan skema PHBM di level pusat dan daerah. Perpres Nomor 16 tahun 2015 telah menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Melalui perpres  ini juga telah meningkatkan dan menggabungkan  struktur dan kewenangan layanan PHBM di dalam Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL). Sebelumnya, layanan PHBM tersebar di beberapa ditjen: hutan desa dan hutan kemasyarakatan di Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, hutan tanaman rakyat di Ditjen Bina Usaha Kayu.

Di tingkat daerah, UU Nomor 23 tahun 2014 telah mengalihkan kewenangan urusan bidang kehutanan yang ada di pemkab kepada pemprov, kecuali taman hutan raya yang tetap di lingkup pemkab. Sebelum ada regulasi ini, pemkab berwenang menerbitkan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan dan izin usaha hasil hutan kayu hutan tanaman rakyat.

Adanya dua regulasi baru tersebut, KLHK membuat Permen LHK tentang hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat. Ada beberapa hal yang menarik di dalam permen tersebut: 1. pemangkasan jalur birokrasi pengurusan izin/hak hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat, 2. Kelompok kerja percepatan perhutanan sosial di setiap provinsi, 3. Permohonan secara online, dan 4. KPH yang sudah operasional berwenang untuk mengesahkan RPHD, RKU, dan RKT.

PHBM Sebagai Instrumen Pembangunan Desa Sekitar Hutan

Permendesa PDTT No 21 tahun 2015 menyebutkan bahwa hutan desa dan hutan kemasyarakatan termasuk kegiatan yang prioritas untuk dibiayai oleh dana desa sepanjang masuk dalam dokumen RPJMDes. KLHK juga menjadikan PHBM sebagai salah satu indikator kinerja utama sebagaimana termaktub dalam RPJMN.

Harapan kedepannya, kedua kementerian ini bisa saling bersinergi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pemda provinsi maupun pemda kabupaten/kota sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat juga harus saling bersinergi dan mendukung dalam mengimplementasikan kebijakan dua kementerian tersebut. Sehingga pertumbuhan ekonomi masyarakat desa sekitar hutan  bisa meningkat dan mengurangi laju urbanisasi dan penumpukan masyarakat di kota.

Tulisan ini disarikan dari Tulisan Adi Junedi yang berjudul “PHBM Instrumen Pembangunan Masyarakat Desa Sekitar Hutan” di dalam buku  “Sekelumit Kisah Lapangan: Mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat” yang diterbitkan oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warsi.

Ditulis : Ridwan F (Staf Dit. Kemitraan Lingkungan)

Editor : Nurhayati (Jafung Madya Dit. Kemitraan Lingkungan)

Sabet Kalpataru, Gubernur Malut Apresiasi Zulkifli Raih Penghargaan Pengabdi Lingkungan

SOFIFI, JN – Pemerintah Provinsi Maluku Utara mengusulkan Zulkifli, SE, M.Si untuk mengikuti program Kalpataru pada kategori Pengabdi Lingkungan dengan mengusung Gerakan Menabung dan Memanen Air Hujan Kembali menerima penghargaan Kalpataru melalui Program Gerakan Menabung dan Memanen Air Hujan Kota Ternate Utara (Gemma Camtara).

Keikutsertaan Zulkifli pada kategori Pengabdi Lingkungan akhirnya menerima satu Penghargaan Kalpataru tahun 2022 yang diserahkan langsung Wakil Menteri Lingkungan Hidup RI, Alue Dohong di Auditorium Manggala Wanabakti KLHK, Jakarta.(20/07)

Atas keberhasilan yang diraih, Gubernur Maluku Utara KH Abdul Gani Kasuba Lc memberi apresiasi penuh dan berharap agar penerimaan penghargaan ini tidak sebatas acara seremonial saja, tetapi dapat menjadi sebuah gerakan bersama demi menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup di Maluku Utara.

Selain itu, Gubernur menegaskan agar Pemerintah Kabupaten dan Kota di seluruh Provinsi Maluku Utara agar turut berperan aktif mendorong kegiatan-kegiatan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.

Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara, Fachruddin Tukuboya yang ikut mendampingi Zulkifli selaku penerima Kalpataru menyatakan, Program yang dilakukan Zulkifli bertujuan untuk menangani krisis air bersih dengan mengelola dan memanfaatkan air hujan melalui Instalasi Pemanfaatan Air Hujan (iPAH).
Olehnya, Pemerintah Provinsi Maluku Utara akan terus mendorong dan mempromosikan karya karya inovasi dan kreativitas seluruh komponen masyarakat Maluku Utara di bidang lingkungan baik secara individu maupun kelompok.

Menurut Ongen, sapaan Fachrudin Tukuboya, Penghargaan Kalpataru merupakan bentuk apresiasi tertinggi dari pemerintah kepada individu atau kelompok masyarakat yang berjasa dalam melindungi dan menyelamatkan lingkungan hidup.

Setelah melalui beberapa tahapan penilaian ditetapkan sebagai salah satu penerima Penghargaan Kalpataru kategori Pengabdi Lingkungan sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.533/MENLHK/PSKL/ PSL.3/5/2022 tentang Penerima Penghargaan Kalpataru Tahun 2022.

Lanjut Ongen, Untuk tahun 2022, Terdapat 4 (empat) kategori dalam ajang ini yaitu Perintis Lingkungan, Pengabdi Lingkungan, Penyelamat Lingkungan dan Pembina. Dan Selama 42 tahun penyelenggaraannya yang dimulai pada Tahun 1980, Provinsi Maluku Utara baru dua kali mengikuti Penghargaan Kalpataru yakni Pada Tahun 2014 mengusulkan Amrul Sadik Daga, ASN Pemerintah Kota Ternate untuk kategori Pengabdi Lingkungan.

Sekedar diketahui, Secara keseluruhan jumlah penerima Penghargaan Kalpataru Tahun 2022 berjumlah 10 (sepuluh) penerima dengan berbagai kategori diantaranya 3 orang Kategori Perintis Lingkungan, 2 orang Kategori Pengabdi, 3 orang Kategori Penyelamat Lingkungan dan 2 orang Kategori Pembina Lingkungan (*)

sumber berita: https://jaretnews.com/sabet-kalpataru-gubernur-malut-apresiasi-zulkifli-raih-penghargaan-pengabdi-lingkungan/

KLHK Serahkan 10 Penghargaan Kalpataru & 42 Nirwasita Tantra

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Alue Dohong menyerahkan penghargaan Kalpataru tahun 2022 kepada 10 orang penerima. Tak hanya Kalpataru, KLHK juga memberikan penghargaan Nirwasita Tantra tahun 2021 kepada 42 kepala daerah.

Penghargaan tersebut merupakan wujud apresiasi kepada para pemimpin daerah dan pejuang lingkungan yang telah menjadi ujung tombak/garda terdepan dalam upaya pemulihan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia. Penghargaan juga secara rutin diberikan oleh KLHK kepada mereka yang telah 

terbukti memiliki kepedulian, komitmen, prakarsa, inovasi, motivasi, dan kreativitas secara berkelanjutan, sehingga berdampak positif terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Para pemimpin dan pejuang lingkungan hidup peraih penghargaan ini diharapkan menjadi contoh, inspirasi, dan pemicu yang mendorong inisiatif dan partisipasi individu atau kelompok masyarakat lainnya secara lebih luas,” ujar Alue Dohong dalam keterangan tertulis

Sumber berita: https://news.detik.com/berita/d-6189389/klhk-serahkan-10-penghargaan-kalpataru–42-nirwasita-tantra.

MANGROVE INDONESIA UNTUK DUNIA

 

Foto: shutterstock

Setiap tanggal 26 Juli, kita memperingati hari mangrove sedunia yang diadopsi oleh UNESCO sejak tahun 2015. Tajuk peringatan hari mangrove sedunia  untuk tahun 2022 adalah “International Day of the Conservation of the Mangrove Ecosystem”.

Menjaga dan melestarikan hutan mangrove menjadi penting karena dalam 20 tahun terakhir, global mangrove alliance memperkirakan lebih dari 60% telah hilang atau terdegradasi hingga saat ini dan dengan tambahan hilang 1 % per tahun. Dengan demikian, hutan mangrove dunia menghilang 3 sampai 5 kali lebih cepat dibandingkan hilangnya hutan global.

Indonesia menjadi salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove dengan luasan 20-25% dari ekosistem mangrove dunia. Menurut KLHK luasan lahan yang dimiliki Indonesia adalah 3.36 juta hektar, dengan rincian sebagai berikut:

  • Papua seluas 1.562.905 Ha
  • Sumatera seluas 660.445 Ha
  • Kalimantan seluas 688.025 Ha
  • Maluku seluas 224.46 Ha
  • Jawa seluas 56.500 Ha
  • Bali-Nusa tenggara seluas 39.974 Ha

Menarik untuk kita perhatikan adalah bahwa hutan mangrove memberikan kontribusi yang besar dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dimana hutan mangrove diyakini mempunyai kapasitas penyerapan karbon 3 sampai 5 kali lebih baik (tergantung kerapatan, besaran pohon, dan lain-lain) dibandingkan hutan tropis.

Tak kalah menarik, yaitu luarbiasanya ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove memberikan kalngsungan berbagai makhluk hidup yang ada di bawah dan sekitarnya: ada ikan, dan kepiting di sela sela akarnya yang kokoh, ada pula berbagai serangga dan burung di ranting-rantingnya yang teduh, pertahanan alami pantai dari gelombang tinggi, abrasi, tsunami dan abrasi, selain itu juga bisa menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat dan wisata alam.

Mari kita jaga ekosistem hutan mangrove kita. Semoga hutan mangrove kita semakin membaik dan lestari.

Penulis: Ridwan F, Staff Dit. KL

Editor: Nurhayati, Jafung Madya Dit. KL

Sumber:

https://www.mangrovealliance.org/mangrove-forests/

https://www.unesco.org/en/days/mangrove-ecosystem-conservation-day

https://www.careourearth.com/world-mangrove-day/

https://www.instagram.com/p/CgdLo1BhVo1/?igshid=YmMyMTA2M2Y=

Kissya Pewaris Adat Haruku

Titik putih di kejauhan itu semakin dekat makin jelas, ketika speedboat yang kami naiki menepi ke pantai. Ternyata sebuah bangunan Gereja, mungkin bangunan termegah di kawasan ini.

Inilah kali pertama aku menginjakkan kaki di pulau kecil Haruku. Pulau yang juga salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Maluku Tengah. Terletak di antara segi tiga Pulau Seram, Pulau Ambon dan Pulau Saparua.

Eliza Kissya
Eliza Marthen Kissya Ketua Kewang dari Haruku

Menumpang speedboat, kami berlima hanya memerlukan waktu 30 menit menyeberang dari pelabuhan Tulehu Ambon ke Haruku.

Matahari pagi masih di seperempat langit, angin laut bertiup lembut. Kedatangan kami disambut oleh om Eliza dan para tetua di pelabuhan. Beriringan kami menyusuri jalan berpasir dan sebagian paving blok. Aroma laut membawa sensasi tersendiri bagiku.

Kami melangkah menuju rumah om Eliza. Berjalan menuju rumah kewang, hanya berjarak 500 meter dari pelabuhan. Belum sampai lima menit kami berjalan, takjub aku melihat pintu gerbang batu. Bangunan kuno gerbang batu dari sebuah benteng. Dari papan keterangan yang dipasang, tertulis “Dibangun pasukan Belanda pada tahun 1626”, saat ini masih tersisa, meski tinggal puing. Di bagian atas gerbang bekas benteng itu bertulisan Nieuw Zeelandia.

Benteng Nieuw Zeelandia
Benteng Nieuw Zeelandia dibangun pada tahun 1626

Benteng Nieuw Zeelandia itu pernah diserang Pattimura bersama pemuda Maluku pada tahun 1817. Berbentuk segi empat dengan dua bastion, tinggi tembok sekitar empat meter. Benteng ini menghadap pulau Ambon, untuk menjaga serangan dari Ambon. Struktur bangunan telah hilang tinggal gerbang yang saat ini agak miring, batunya sudah retak-retak tidak terawat.

Penyebab rusaknya gerbang dan tembok benteng, karena sering sekali ada banjir, dan gempa. Keterangan ini aku peroleh keesokan harinya ketika berjalan-jalan pagi, aku sempat bertanya pada salah satu penduduk.

Beberapa foto tentang Haruku di media sosial, memperlihatkan gerbang benteng Nieuw Zeelandia, digunakan orang sebagai latar belakang foto. Alangkah baiknya apabila ada niat pemerintah Kabupaten atau Desa untuk merawat peninggalan bersejarah ini.

Bertamu ke rumah om Eliza yang juga menjadi rumah Kewang adalah sebuah keberuntungan bagiku. Menambah wawasanku tentang pulau kecil sarat adat yang unik.

Kedatanganku ditemani empat orang dari Dinas LH Maluku dan BPSKL Maluku Papua. Bertujuan untuk memverifikasi om Eliza Marthen Kissya sebagai calon penerima penghargaan Kalpataru 2022.

Negeri Haruku pernah menerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah pada tahun 1985, sebagai Negeri yang menjaga kearifan lokal melindungi lingkungan dengan aturan adatnya yang disebut sasi.

Aturan adat yang berbentuk larangan untuk merusak atau mengganggu lingkungan, dalam istilah Maluku disebut sasi. Ada empat jenis larangan yang hingga hari ini dijaga ketat oleh masyarakat Negeri Haruku. Yaitu : Sasi Laut, Sasi Darat, Sasi Kali dan Sasi Dalam Negeri.

Cerita tentang keberhasilan om Eliza dalam menjaga lingkungan sudah banyak diulas di media. Tapi aku penasaran, sebenarnya siapakah om Eliza ini? Kalau dibilang orang asli Haruku, apakah benar om Eliza Marthen Kissya berdarah asli 100% Haruku?

Om Eli begitu orang lebih suka memanggilnya, sebenarnya mempunyai darah keturunan dari Pulau Jawa, tepatnya tanah Pasundan.

Alkisah pada suatu saat, ada seorang pemuda Haruku (Philip Kissya) yang merantau sampai ke Jawa Barat.
Dan bertemulah dengan seorang gadis Sunda dari Sukabumi bernama Siti. Mereka memadu kasih dan memutuskan untuk hidup dalam satu ikatan perkawinan. Mereka hidup berumah tangga di Sukabumi bersama dengan anak tunggal mereka Benyamin Kissya.

Menyandang nama Kissya memang berat, pemuda perantau yang bernama Philip Kissya ini, mempunyai kewajiban menjadi penjaga lingkungan secara adat yang disebut Kewang. Namun dia tidak merasa mampu dan pergi ke Jawa. Tugas warisan adat itu harus diturunkan pada keturunannya.

Benyamin masih usia remaja, ketika ayahnya meninggal dunia, dan disemayamkan di Sukabumi. Seminggu sebelum menghadap Tuhan, Philip dijemput tetua adat Haruku, diminta agar kembali ke kampung halaman untuk menjadi Ketua Kewang. Namun para utusan adat kembali dengan kegagalan.

Tidak sampai berbilang bulan, istri mediang Philip Kissya (Siti, kemudian mendapat nama baptis Susiana, setelah sampai di Haruku) dan anaknya memutuskan melanjutkan hidup di tanah kelahiran suaminya di Haruku.

Namun sejarah kembali berulang, anak tunggalnya Benyamin Kissya juga tidak bersedia menerima tugas ini. Bahkan dia juga pergi meninggalkan Haruku bersama Ema Watimena istrinya, untuk tinggal di Ambon bekerja sebagai pegawai negeri. Kewajiban sebagai Kewang dijalankan oleh adik sepupu jauh.

Tuntutan dari adat, agar keturunan Kissya bersedia mengemban tugas menjadi Ketua Kewang, ditagih oleh para tetua adat kepada Benyamin. Kali ini tanah Haruku bisa tersenyum bahagia, ketika Eliza Marthen Kissya anak pertama Benyamin, cucu Philip dan Siti, dengan setulus hati, menerima tugas mulia ini.

Masa kecil Eliza memang dihabiskan di Haruku. Untuk mendapatkan pendidikan merawat lingkungan laut, darat, sungai juga hutan, dari pamannya yang masih satu fam dan saat itu menjabat sebagai Ketua Kewang.

Eli kecil telah dipersiapkan sebagai penerus calon Ketua Kewang.
Secara adat fam Kissya mewarisi tugas sebagai ketua Kewang atau “penjaga lingkungan“. Sebagai garis keturunan Kissya, Eliza mempunyai panggilan jiwa sejak kecil, untuk menjaga alam Haruku.

Pengorbanan besar yang dia persembahkan, yakni rela tidak sekolah lagi, dia hanya mengenyam sampai Sekolah Dasar. Karena kalau dia bersekolah SMP harus menyeberang ke Ambon, dan meninggalkan Haruku. Hal inilah yang dikhawatirkan para tetua adat. Dan dengan kebesaran hati seorang anak kecil, dia ikhlas melepas kesempatan untuk tidak mendapatkan pendidikan yang sangat penting bagi hidupnya, demi tanah leluhur Haruku.

Pada usia 30 tahun, yaitu tahun 1979 Eliza Marthen Kissya dinobatkan oleh tetua adat sebagai Ketua Kewang. Bertugas untuk menjaga seluruh lingkungan di Haruku.

Kepemimpinannya berhasil, terbukti dengan diraihnya penghargaan Kalpataru pada tahun 1985, menyatakan bahwa negeri Haruku berhasil menjaga lingkungan dengan menerapkan aturan adat Sasi. Om Eli telah menghidupkan dan menegakkan kembali aturan adat sasi yang telah dimiliki oleh masyarakat adat Haruku sejak tahun 1600 an.
Om Eli sang “Maestro Seni“ (telah mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) merupakan seniman musik okulele dan pakar pantun.

Berdua dengan Om Eliza Kissya pada malam ramah tamah Penghargaan Kalpataru 2022
Bersama om Eli di malam Ramah Tamah Kalpataru

Eliza laki-laki kelahiran Haruku, Maluku pada 12 Maret 1949, mencintai alam dengan sepenuh hati, dengan segala daya mempertahankan aturan adat.

Sudah ratusan anak-anak di Haruku, Seram, Saparua hingga Banda mendapatkan pendidikan lingkungan darinya.

Belajar sepanjang jalan, dilakukan om Eli seumur hidupnya. Hal ini terbukti dengan keberhasilannya, tidak kalah dengan para sarjana. Kecerdasan dan ketekunan om Eli sangat terlihat ketika membahas rencana dan langkah yang akan dia lakukan demi keselamatan lingkungan Haruku.

Pemahaman tentang alam, membawa om Eli keluar jauh dari negeri Haruku, pulau bahkan negaranya. Beberapa negara antara lain Spanyol, Italia telah dia singgahi sebagai nara sumber pada pertemuan tingkat internasional.

Sebagai ahli waris dia pun berkewajiban mewariskannya ke anak cucu. Kini Om Eli membentuk kewang-kewang muda, sebagai penerusnya, kewang bisa berasal dari fam selain Kissya. Namun ketua Kewang  harus dari keturunan Fam Kissya.

Dalam hal ini Om Eli telah mempersiapkan dua orang cucunya, Patricia Kissya dan Emil Kissya.

Nama Emil dia berikan pada cucunya, terilhami oleh Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim. Emil Salim pernah berkunjung ke Haruku ketika akan mencalonkan Negeri Haruku sebagai penerima Kalpataru 1985. Seluruh hidupnya telah dia persembahkan untuk alam Haruku, semoga alam semesta pun memuliakannya.

Angin laut berhembus sepoi-poi, suara petikan okulele om Eli menghanyutkan suasana, malam makin gelap, kutatap langit Haruku bertabur bintang.

Merasa senang berburu gurita
Gurita berenang di laut Aru
Eliza datang dari Haruku ke Jakarta
Untuk menerima Penghargaan Kalpataru

catatan :   Pada tanggal 20 Juli 2022, Eliza Marthen Kissya menerima Penghargaan Kalpataru Kategori Pembina Lingkungan dari KLHK.

Tower Jasmine, 24 Juli 2022

Sumber tulisan : https://inungminto.com/kissya-pewaris-adat-haruku.html

Eliza Kissya, Kepala Kewang Negeri Haruku Penerima Kalpataru

“Rela Tak Bersekolah Demi Melestarikan Warisan Leluhur”

Eliza Marthen Kissya, Kepala Kewang (penjaga lingkungan) Negeri Haruku, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah meraih penghargaan Kalpataru 2022 kategori pembina lingkungan. Ia bertekad menjaga lingkungan hingga akhir hayat.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Alue Dohong menyerahkan Penghargaan Kalpataru tahun 2022 kepada Eliza dan 9 orang penerima lainnya di Jakarta, Rabu, 20 Juli 2022. Eliza diusulkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku.

Tak mudah bagi pria kelahiran 1949, itu menggapai Kalpataru, penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup di Indonesia ini. Eliza telah menjaga lingkungan hidup di Pulau Haruku dan hampir seluruh wilayah di Maluku, jauh sebelum penghargaan ini pertama kali diadakan pada 1980.

Sudah 43 tahun, lelaki yang suka berpantun dan berpuisi itu mengabdi untuk lingkungan. Sejak berumur 30, Opa Eli–biasa dipanggil–telah diberi tanggung jawab menjadi Kepala Kewang di Negeri Haruku.

Ia tak pernah berharap menerima penghargaan. “Saya tidak pernah berpikir sampai menerima penghargaan. Saya mengabdi karena itu tanggung jawab saya,” kata Eliza saat berbincang bersama Ambonterkini.id, 16 Juni lalu di kantor Gubernur Maluku mengenai pengusulan namanya masuk nominasi penerima penghargaan Kalpataru.

Keluarga Eliza adalah keluarga kepala kewang. Kewang merupakan pranata hukum adat yang berperan menjaga alam di darat dan laut. Menurut dia, Kewang berasal kata Ewang, yang bermakna ‘penjaga hutan atau alam’ secara menyeluruh.

Sejak zaman leluhur, tak hanya lelaki, perempuan juga diberi amanah sebagai pengurus Kewang. Karena itu, di dalam Kewang Haruku terdapat 5 perempuan yang mewakili lima soa, berbeda dengan kebanyakan Kewang di Maluku.

Pilihan hidup, sekaligus tanggung jawab meneruskan warisan leluhur itulah, membuat Opa Eli tak menikmati pendidikan seperti kawan sebayanya dulu. Padahal, ayahnya seorang pegawai negeri sipil yang tentu mampu secara ekonomi.

“Saya tidak sekolah meski bapak saya pegawai. Saya harus tetap tinggal di kampung untuk merawat ini (Kewang) karena warisan,”tegasnya.

Meski hanya mengecap pendidikan sampai tingkat sekolah rakyat (SR), tapi Eliza membuktikan, belajar tak hanya sebatas pendidikan di bangku sekolah.

Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Eliza banyak mengikuti pendidikan non-formal, di antaranya Pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987), Latihan Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura (1989), Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Yayasan Hualopu (1991); Studi Banding Pertanian Lahan Kering di Flores (1992); dan Latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).

Dalam kedudukannya sebagai pemangku atau kepala pelaksana adat alias Kewang  Negeri Haruku, Eliza juga terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan regional, antara lain pada Pertemuan Nelayan se-Indonesia Timur di Lombok (1989) serta Simposium Sumber Daya Hukum Lingkungan dan Seminar Hukum Adat Kelautan di Universitas Pattimura, Ambon (1991).

Aktivitas Eliza selama ini hanya di alam. Berupaya mempertahankan kelestarian lingkungan lewat kearifan lokal seperti Sasi, sebab ia yakin, itu merupakan solusi jangka panjang untuk menjaga keharmonisan manusia dan alam.

Sasi adalah larangan mengambil hasil sumber daya alam tertentu dalam waktu tertentu sebagai upaya pelestarian alam demi menjaga mutu dan keberlanjutannya. Ada empat jenis sasi di Negeri Haruku, menurut Eliza, yakni sasi hutan, sasi laut, sasi sungai, dan sasi negeri.

Sasi Laut dengan area sasi dihitung 200 meter dari pesisir pantai ke arah laut, Sasi Sungai yang mengatur perlindungan dan pemanfaatan area sepanjang sungai, Sasi Hutan yang mencakup aturan-aturan pemanfaatan hutan, dan Sasi Negeri yang mencakup aturan-aturan tata cara hidup bermasyarakat.

“Hal-hal inilah yang menjadi nilai jual bagi Kewang Haruku. Jadi, jauh sebelum dunia bicara pembangunan berkelanjutan, adat kita sudah mengajarkan untuk tetap menjaga alam dengan baik,”katanya lagi.

Pada 1985 atau setelah sepuluh tahun diangkat sebagai kepala Kewang, masyarakat Desa Haruku menerima Kalptaru kategori penyelamat lingkungan, yang tak terlepas dari kontribusi Eliza. Konsistensinya membawanya mendapatkan sejumlah penghargaan setelahnya, antara lain Satya Lencana (1999), Coastal Award (2010), penghargaan sebagai tokoh inspiratif dalam penanggulangan bencana dari Badan Penanggulangan Bencana (2012), dan Kalpataru KLHK 2022.

Namun, beragam penghargaan ini tak membuatnya cepat puas. Ia tetap merendah, dan memaknai penghargaan itu sebagai tanggung jawab moril. Karena itu, Eliza terus berada di jalan sunyi pengabdian pada alam.

Pria yang mahir memetik Ukelele, itu telah melakukan penetasan burung Maleo (Eulipoa wallacei), penetasan dan pelepasan penyu, pembibitan dan penanamabn bakau, serta menjaga tradisi Sasi Lompa, larangan masyarakat untuk mengambil ikan lompa (Trisina Baelama),membangun gedung pendidikan lingkungan, tempat pelatihan pertanian organik, dan membangun perpustakaan.

“Banyak orang berusaha mendapatkan sebuah penghargaan, tapi mempertahankan nilai penghargaan itu yang sulit,”ucapnya.

Melahirkan Penerus

Eliza sadar, tantangan mempertahankan kelestarian lingkungan tak mudah. Karena itu, ia telah berikhtiar melahirkan generasi penerus Kewang di Haruku.

Eliza telah mendidik lebih dari 100 orang muda untuk menjadi kewang. Mulai dari anak-anak hingga dewasa, termasuk anak-anak dan cucu-cucunya.

Tak mudah menjadi menjadi kewang, kata Eliza. Harus melalui seleksi ketat dan belajar terus-menerus. “Selama dua tahun terakhir ini, saya membentuk kewang muda Maluku di Banda,”tuturnya.

Menurut kakek 16 cucu ini, Kewang penting ada untuk menjaga seumber daya alam dengan baik demi anak cucuk daerah ini kedepan. Ia juga berpesan bagi siapa pun yang mengabdikan diri untuk lingkungan agar tidak berpikir mengharapkan sesuatu dari pemerintah atau negara.

“Kalau hutan lebat, Maluku bilang Ewang, salah kelola seng (tidak) ada ampong (ampun). Karena warisan leluhur, beta (saya) rela tinggal di kampung,”pantun Eliza menutup perbincangan kami hari itu.

Menjadi Inspirasi

Dikutip dari laman KLHK, sejak 1980, pemerintah Indonesia memberikan Penghargaan Kalpataru kepada mereka yang berjasa dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Hingga tahun 2022, sudah ada 408 penerima Penghargaan Kalpataru yang tersebar di seluruh Indonesia.

Penghargaan Kalpataru adalah penghargaan yang diberikan kepada mereka, baik individu, maupun kelompok, yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan, dan membina perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan.

Penghargaan ini merupakan wujud apresiasi pemerintah kepada para pemimpin daerah dan pejuang lingkungan yang telah menjadi ujung tombak atau garda terdepan dalam upaya pemulihan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia.

Secara rutin diberikan oleh KLHK, kepada mereka yang telah terbukti memiliki kepedulian, komitmen, prakarsa, inovasi, motivasi, dan kreativitas secara berkelanjutan, sehingga berdampak positif terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Para pemimpin dan pejuang lingkungan hidup peraih penghargaan ini diharapkan menjadi contoh, inspirasi, dan pemicu yang mendorong inisiatif dan partisipasi individu atau kelompok masyarakat lainnya secara lebih luas,” ujar Alue Dohong dalam arahannya pada acara penyerahan Penghargaan Kalpataru tahun ini.

Wamen menekankan agar para penerima Penghargaan Kalpataru menjaga amanah untuk terus menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup dan kehutanan di bumi yang hanya satu ini, demi generasi mendatang.

sumber berita: https://ambonterkini.id/news_read/eliza-kissya-kepala-kewang-negeri-haruku-penerima-399

Bekantan dan Anak Muda: Menolak Punah

Berdasarkan laporan yang disediakan oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2022, total spesies hewan Indonesia yang terancam ada 1.225 spesies. Dari jumlah tersebut, 192 di antaranya sangat terancam punah, 361 terancam punah, dan 672 rentan terancam punah. Sementara itu, 3 spesies sudah dinyatakan punah.

 

Pada tahun 2000, bekantan (nasalis larvatus) yang berhabitat di hutan bakau, rawa dan hutan panti dikategorikan sebagai hewan dengan status endangered atau terancam punah oleh IUCN. Hewan endemik Kalimantan yang dikenal pemalu dan pandai berenang ini telah menjadi fauna maskot Kalimantan Selatan sejak tahun 1990. Adanya konflik dengan manusia seperti konversi lahan dan degradasi habitat serta sulitnya perkembangbiakan di habitat asli ditengarai menjadi alasan bekantan terancam punah.

Keresahan ini membuat Pusat Studi & Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Biodiversitas Indonesia) untuk mendirikan Komunitas Sahabat Bekantan Indonesia (SBI). Komunitas ini dibentuk dalam rangka membantu pemerintah dalam upaya perlindungan bekantan di Prov. Kalimantan Selatan. Tujuannya adalah sosialisasi untuk pelestarian dan perlindungan bekantan, pencegahan dan penghentian perburuan serta perdagangan bekantan, dan konservasi secara in-situ dan ex-situ. Ada tiga kegiatan besar yang sedang dilakukan SBI dalam upaya melindungi dan melestarikan bekantan yaitu:

  1. Konservasi, dengan mendirikan pusat rehabilitasi di Kota Banjarmasin dan stasiun riset bekantan di Pulau Curiak.
  2. Restorasi mangrove rambai melalui mangrove rambai center. Hingga 2021 sudah menanam 1.100 lebih mangrove rambai kurang lebih seluas 10 Ha.
  3. Mengembangkan eco-wisata bekantan.

Menariknya, Yayasan SBI yang didirikan sejak tahun 2012, sebagian besar anggotanya adalah ana-anak muda pada tingkat perguruan tinggi. Perhatian dan waktu yang diberikan oleh anak-anak muda terhadap kelestarian alam Indonesia perlu mendapat apresiasi setinggi-tingginya dari berbagai pihak dalam berbagai bentuk. Mereka adalah penerus yang akan menjaga tanah air Indonesia yang kaya akan flora dan fauna, sangat disayangkan jika generasi berikutnya hanya mengetahi flora dan fauna yang telah menjadi sejarah melalui foto dan video tanpa tahu bentuk nyatanya di alam.

Pada tahun 2022, SBI dianugerahi penghargaan Kalpataru kategori Penyelamat. Salah satu dari 10 penerima penghargaan Kalpataru tahun 2022. Penerima penghargaan bukanlah pemenang, melainkan sebuah apresiasi tertinggi Pemerintah Indonesia kepada masyarakat yang berjasa terhadap kelestarian alam dan lingkungan. Harapannya, bahwa dari seluruh penerima Kalpataru bisa menjadi dan memberi contoh serta dan mengajari dalam melakukan pola-pola kegiatan kelestarian alam dan lingkungan.

Selain penerima penghargaan Kalpataru, di seluruh Indonesia, ada ribuan anak muda yang peduli dengan isu-isu lingkungan. Dalam kelompok-kelompok kecil sefrekuensi, mereka bergerak bahu-membahu melakukan  kampanye dan aksi kegiatan menjaga alam dan lingkungan. Dari mereka kita belajar bahwa menjaga kelestarian alam dan lingkugan bisa dimulai dari diri sendiri dan melalui hal-hal kecil.

Ditulis : Ridwan F (Staf Dit, Kemitraan Lingkungan)

Editor : Nurhayati (Jafung Madya Dit. Kemitraan Lingkungan)

Sumber:

https://www.iucnredlist.org/

https://www.bekantan.org/

https://kmisfip2.menlhk.go.id/news/detail/554