Eliza Kissya, Kepala Kewang Negeri Haruku Penerima Kalpataru

“Rela Tak Bersekolah Demi Melestarikan Warisan Leluhur”

Eliza Marthen Kissya, Kepala Kewang (penjaga lingkungan) Negeri Haruku, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah meraih penghargaan Kalpataru 2022 kategori pembina lingkungan. Ia bertekad menjaga lingkungan hingga akhir hayat.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Alue Dohong menyerahkan Penghargaan Kalpataru tahun 2022 kepada Eliza dan 9 orang penerima lainnya di Jakarta, Rabu, 20 Juli 2022. Eliza diusulkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku.

Tak mudah bagi pria kelahiran 1949, itu menggapai Kalpataru, penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup di Indonesia ini. Eliza telah menjaga lingkungan hidup di Pulau Haruku dan hampir seluruh wilayah di Maluku, jauh sebelum penghargaan ini pertama kali diadakan pada 1980.

Sudah 43 tahun, lelaki yang suka berpantun dan berpuisi itu mengabdi untuk lingkungan. Sejak berumur 30, Opa Eli–biasa dipanggil–telah diberi tanggung jawab menjadi Kepala Kewang di Negeri Haruku.

Ia tak pernah berharap menerima penghargaan. “Saya tidak pernah berpikir sampai menerima penghargaan. Saya mengabdi karena itu tanggung jawab saya,” kata Eliza saat berbincang bersama Ambonterkini.id, 16 Juni lalu di kantor Gubernur Maluku mengenai pengusulan namanya masuk nominasi penerima penghargaan Kalpataru.

Keluarga Eliza adalah keluarga kepala kewang. Kewang merupakan pranata hukum adat yang berperan menjaga alam di darat dan laut. Menurut dia, Kewang berasal kata Ewang, yang bermakna ‘penjaga hutan atau alam’ secara menyeluruh.

Sejak zaman leluhur, tak hanya lelaki, perempuan juga diberi amanah sebagai pengurus Kewang. Karena itu, di dalam Kewang Haruku terdapat 5 perempuan yang mewakili lima soa, berbeda dengan kebanyakan Kewang di Maluku.

Pilihan hidup, sekaligus tanggung jawab meneruskan warisan leluhur itulah, membuat Opa Eli tak menikmati pendidikan seperti kawan sebayanya dulu. Padahal, ayahnya seorang pegawai negeri sipil yang tentu mampu secara ekonomi.

“Saya tidak sekolah meski bapak saya pegawai. Saya harus tetap tinggal di kampung untuk merawat ini (Kewang) karena warisan,”tegasnya.

Meski hanya mengecap pendidikan sampai tingkat sekolah rakyat (SR), tapi Eliza membuktikan, belajar tak hanya sebatas pendidikan di bangku sekolah.

Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Eliza banyak mengikuti pendidikan non-formal, di antaranya Pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987), Latihan Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura (1989), Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Yayasan Hualopu (1991); Studi Banding Pertanian Lahan Kering di Flores (1992); dan Latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).

Dalam kedudukannya sebagai pemangku atau kepala pelaksana adat alias Kewang  Negeri Haruku, Eliza juga terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan regional, antara lain pada Pertemuan Nelayan se-Indonesia Timur di Lombok (1989) serta Simposium Sumber Daya Hukum Lingkungan dan Seminar Hukum Adat Kelautan di Universitas Pattimura, Ambon (1991).

Aktivitas Eliza selama ini hanya di alam. Berupaya mempertahankan kelestarian lingkungan lewat kearifan lokal seperti Sasi, sebab ia yakin, itu merupakan solusi jangka panjang untuk menjaga keharmonisan manusia dan alam.

Sasi adalah larangan mengambil hasil sumber daya alam tertentu dalam waktu tertentu sebagai upaya pelestarian alam demi menjaga mutu dan keberlanjutannya. Ada empat jenis sasi di Negeri Haruku, menurut Eliza, yakni sasi hutan, sasi laut, sasi sungai, dan sasi negeri.

Sasi Laut dengan area sasi dihitung 200 meter dari pesisir pantai ke arah laut, Sasi Sungai yang mengatur perlindungan dan pemanfaatan area sepanjang sungai, Sasi Hutan yang mencakup aturan-aturan pemanfaatan hutan, dan Sasi Negeri yang mencakup aturan-aturan tata cara hidup bermasyarakat.

“Hal-hal inilah yang menjadi nilai jual bagi Kewang Haruku. Jadi, jauh sebelum dunia bicara pembangunan berkelanjutan, adat kita sudah mengajarkan untuk tetap menjaga alam dengan baik,”katanya lagi.

Pada 1985 atau setelah sepuluh tahun diangkat sebagai kepala Kewang, masyarakat Desa Haruku menerima Kalptaru kategori penyelamat lingkungan, yang tak terlepas dari kontribusi Eliza. Konsistensinya membawanya mendapatkan sejumlah penghargaan setelahnya, antara lain Satya Lencana (1999), Coastal Award (2010), penghargaan sebagai tokoh inspiratif dalam penanggulangan bencana dari Badan Penanggulangan Bencana (2012), dan Kalpataru KLHK 2022.

Namun, beragam penghargaan ini tak membuatnya cepat puas. Ia tetap merendah, dan memaknai penghargaan itu sebagai tanggung jawab moril. Karena itu, Eliza terus berada di jalan sunyi pengabdian pada alam.

Pria yang mahir memetik Ukelele, itu telah melakukan penetasan burung Maleo (Eulipoa wallacei), penetasan dan pelepasan penyu, pembibitan dan penanamabn bakau, serta menjaga tradisi Sasi Lompa, larangan masyarakat untuk mengambil ikan lompa (Trisina Baelama),membangun gedung pendidikan lingkungan, tempat pelatihan pertanian organik, dan membangun perpustakaan.

“Banyak orang berusaha mendapatkan sebuah penghargaan, tapi mempertahankan nilai penghargaan itu yang sulit,”ucapnya.

Melahirkan Penerus

Eliza sadar, tantangan mempertahankan kelestarian lingkungan tak mudah. Karena itu, ia telah berikhtiar melahirkan generasi penerus Kewang di Haruku.

Eliza telah mendidik lebih dari 100 orang muda untuk menjadi kewang. Mulai dari anak-anak hingga dewasa, termasuk anak-anak dan cucu-cucunya.

Tak mudah menjadi menjadi kewang, kata Eliza. Harus melalui seleksi ketat dan belajar terus-menerus. “Selama dua tahun terakhir ini, saya membentuk kewang muda Maluku di Banda,”tuturnya.

Menurut kakek 16 cucu ini, Kewang penting ada untuk menjaga seumber daya alam dengan baik demi anak cucuk daerah ini kedepan. Ia juga berpesan bagi siapa pun yang mengabdikan diri untuk lingkungan agar tidak berpikir mengharapkan sesuatu dari pemerintah atau negara.

“Kalau hutan lebat, Maluku bilang Ewang, salah kelola seng (tidak) ada ampong (ampun). Karena warisan leluhur, beta (saya) rela tinggal di kampung,”pantun Eliza menutup perbincangan kami hari itu.

Menjadi Inspirasi

Dikutip dari laman KLHK, sejak 1980, pemerintah Indonesia memberikan Penghargaan Kalpataru kepada mereka yang berjasa dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Hingga tahun 2022, sudah ada 408 penerima Penghargaan Kalpataru yang tersebar di seluruh Indonesia.

Penghargaan Kalpataru adalah penghargaan yang diberikan kepada mereka, baik individu, maupun kelompok, yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan, dan membina perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan.

Penghargaan ini merupakan wujud apresiasi pemerintah kepada para pemimpin daerah dan pejuang lingkungan yang telah menjadi ujung tombak atau garda terdepan dalam upaya pemulihan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia.

Secara rutin diberikan oleh KLHK, kepada mereka yang telah terbukti memiliki kepedulian, komitmen, prakarsa, inovasi, motivasi, dan kreativitas secara berkelanjutan, sehingga berdampak positif terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Para pemimpin dan pejuang lingkungan hidup peraih penghargaan ini diharapkan menjadi contoh, inspirasi, dan pemicu yang mendorong inisiatif dan partisipasi individu atau kelompok masyarakat lainnya secara lebih luas,” ujar Alue Dohong dalam arahannya pada acara penyerahan Penghargaan Kalpataru tahun ini.

Wamen menekankan agar para penerima Penghargaan Kalpataru menjaga amanah untuk terus menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup dan kehutanan di bumi yang hanya satu ini, demi generasi mendatang.

sumber berita: https://ambonterkini.id/news_read/eliza-kissya-kepala-kewang-negeri-haruku-penerima-399