Mendorong Hutan Adat di Talang Kemuning dan Bintang Marak

 

Perubahan administrasi pemerintahan dari pemerintahan adat menjadi pemerintahan desa di beberapa daerah, tidak diikuti dengan perubahan pranata sosial budaya di tengah masyarakat. Perubahan hanya terjadi pada batasan administrasi formal, sedangkan pranata sosial budaya sepenuhnya dalam kerangka hukum adat. Salah satu contoh dari kejadian ini ada di Desa Talang Kemuning dan Bintang Marak, dua desa ini adalah satu kesatuan adat yang disebut dengan Adat Depati Nyato. Ciri khas dari masyarakat adat adalah masih berjalannya kelembagaan adat, ritual adat yang terjaga, tata-aturan adat masih berjalan dengan baik, khususnya dalam tata pergaulan, pernikahan, dan pengelolaan sumberdaya alam.

Hal yang menarik untuk kita cermati adalah tentang pengelolaan sumberdaya alam di desa. Depati, Ninik Mamak, dan pemangku adat memiliki wewenang dalam mengajun dan mengarah atau penyebutannya adalah ajun arah, ini adalah tradisi pengaturan pola ruang adat, daerah hulu air, persawahan, dan pemukiman. Dalam menentukan ajun arah, hutan (tanah ulayat) tidak diajunarahkan baik karena sebagai kawasan lindung adat maupun cadangan lahan untuk anak cucu. Kawasan ini dilindung oleh Adat Depati Nyato, mereka sadar jika ada kerusakan ekologi di kawasan maka juga akan menimbulkan bencana bagi mereka.

Sebelum berstatus hutan adat, kawasan hutan ini masuk dalam kategori ajun arah lokasi perladangan dan sebagian kawasannya masuk di dalam Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), kemudian areal yang beririsan tersebut dikeluarkan dari TNKS setelah resolusi konflik dan dinyatakan sebagai Hutan Produksi Pola Pemanfaatan Masyarakat (HP3M) oleh Pemda Jambi. Hasil survey dan studi dari WARSI bersama masyarakat menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat menginginkan kawasan tersebut dilindungi untuk fungsi kelestarian. Hasil survey ini kemudian dijadikan bahan musyawarah, dimana dalam musyawarah ini diputuskan bahwa hutan tersebut diperkuat statusnya menjadi hutan adat.

Perlu mendapat perhatian kita, walaupun lembaga adat di suatu desa berjalan sebagaimana mestinya, terkadang kurangnya kerjasama dan koordinasi antara lembaga adat dan lembaga desa bisa berakibat fatal terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan menciderai hukum adat yang berlaku. Kasus di desa ini adalah kades mengeluarkan beberapa SKT pembebasan lahan untuk akses tanpa melibatkan Depati Ninik Mamak dan kades Talang Kemuning, mengeluarkan SKT hutan atas nama perseorangan padahal kades tidak punya kewenangan untuk hal itu, dan tidak adanya itikad-baik untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah.

Permasalahan berikutnya yang muncul adalah klaim atas sahnya proses transaksi tersebut, menurut masyarakat Depati Nyato tidak sah, tetapi pengembang mengaku bahwa prosesnya sah. Upaya adat dari Ninik Mamak dan empat unsur adat lainnya untuk meluruskan dan menjelaskan duduk perkara ditolak oleh para pelaku, hingga akhirnya dibawa ke ranah hukum formal. Beberapa hal yang dipermasalahkan oleh adat adalah: pengembang masuk ke wilayah adat tidak melalui adat dan tidak menghormati aturan adat, pengembang tidak mensosialisasikan kegiatan secara transparan, pembebasan lahan secara sepihak, adanya jual beli lahan di kawasan hutan adat oleh oknum secara sembunyi-sembunyi sehingga menimbulkan gejolak sosial di masyarakat, pengembang kurang kooperatif dalam menyelesaikan masalah.

Melihat kasus di atas, menjadi pembelajaran bagi kita semua, walaupun areal kawasan sudah mendapatkan status resmi sebagai kawasan hutan adat, masih banyak tantangan di depan untuk mempertahankannya. Kedua, adanya lembaga adat resmi di masyarakat ternyata bisa saja dilewati dan tidak dianggap oleh pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan kepentingannya. Permasalahan bisa saja datang dari dalam masyarakat atau dari luar. Hal yang perlu diperhatikan dan diperkuat dalam pengelolaan hutan adat adalah adanya kesamaan cita-cita dalam pemahaman dan pengelolaan hutan adat. Tidak adanya kesamaan cita-cita membuat beberapa pihak tidak peduli dengan status kawasan sebagai apa dan di bawah pengelolaan siapa. Dalam hal ini, posisi pemerintah adalah menjadi jembatan dan penengah antara pihak yang bersengketa. Penyelesaian kasus ini akan menjadi cerminan atas masalah serupa yang mungkin timbul kemudian hari di wilayah lain.

 

Tulisan ini disarikan dari karangan Nopri Hidayat yang berjudul “Mendorong Hutan Adat di Talang Mamak dan Bintang Marak” di dalam buku  “Sekelumit Kisah Lapangan: Mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat” yang diterbitkan oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warsi.

Foto oleh Suar Indonesia

Ditulis : Ridwan F (Staf Dit. Kemitraan Lingkungan)

Editor : Nurhayati (Jafung Madya Dit. Kemitraan Lingkungan)