Selamat Pagi seluruh Sobat Hijau di seluruh pelosok tanah air tercinta
Apabila di sekitar kalian ada yang kalian anggap sebagai pejuang lingkungan yang berhasil untuk merintis, mengabdi, menyelamatkan, dan membina upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan,
maka segera DAFTARKAN sebagai CALON PENERIMA PENGHARGAAN KALPATARU Tahun 2024.
Inget ya Sob, DAFTARKAN sebelum tanggal 20 Februari 2024, di bit.ly/kalpataru2024 ya!
Rabu, 16 Agustus 2023, Direktur Kemitraan Lingkungan mengunjungi stand KLHK pada Raimuna Nasional XII di Buperta Cibubur.
Pramuka adalah mitra penting lho bagi KLHK. Melalui Saka Kalpataru dan Saka Wanabhakti, KLHK terus mengkampanyekan Gerakan Aksi untuk Lingkungan dan melakukan pembinaan kepada generasi muda agar memiliki pemahaman, wawasan dan kepedulian terhadap hutan dan lingkungan agar tetap lestari,
Dengan spirit meng-GAUL-kan (Gerakan Aksi Untuk Lingkungan) generasi muda peserta Raimuna Nasional 2023, Direktur Kemitraan Lingkungan mendorong aksi pramuka dalam gerakan 3R (reduce, reuse, recycle) untuk pengendalian dampak perubahan iklim dan pelestarian keanekaragaman hayati.
Kegiatan Raimuna Nasional XII dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin, pada tanggal 14 Agustus 2023 lalu, dan akan berlangsung hingga tanggal 21 Agustus 2023.
Si tampan dari belantara Kalimantan, bekantan, telah masuk dalam red list IUCN dalam kategori “hampir punah”. jangan sampai mereka benar-benar hanya sisa boneka.
masih ingatkah sobat dengan sekelompok anak muda di Kalimantan yang aktif dalam penyelamatan bekantan? iya, Sahabat Bekantan Indonesia (SBI). kontribusinya bukan main-main, menjaga kelestarian bekantan. upaya mereka diganjar Penghargaan Kalpataru tahun 2022 untuk kategori Penyelamat Lingkungan. Pemuda-pemudi di SBI tidak hanya menyelamatkan bekantan, tetapi juga turut melestarikan habitatnya di Kalimantan. Tentu banyak tantangan yang dihadapi oleh SBI, tetapi itu tak menyurutkan langkah mereka melestarikan red list species ini.
Kolaborasi dengan berbagai pihak adalah keniscayaan. Direktur Kemitraan Lingkungan bertemu kembali dengan SBI dalam sebuah kesempatan, membicarakan tantangan di lapangan, strategi pengembangan konservasi bekantan, serta peluang-peluang kolaborasi dan pendanaan kegiatan agar berkelanjutan.
TRIBUNKALTARA.COM, MALINAU – Masyarakat Adat Dayak Abay Sembuak merupakan bagian dari rumpun Dayak Abay, satu dari 11 suku adat besar di Malinau Kalimantan Utara. Perkumpulan masyarakat yang tinggal di kecamatan Malinau Utara ini seketika mengemuka pasca menerima penghargaan Kalpataru 2023 kategori penyelamat lingkungan. Ketua Perkumpulan Pengelola Hutan Adat Dayak Abay Sembuak ( PPHDAS), Zakaria saat ditemui TribunKaltara.com di kediamannya, bercerita penghargaan Kalpataru 2023 seumpama bonus bagi kerja keras komunitas masyarakat adat.
Di balik hiruk-pikuk, ketenaran Peraih Kalpataru 2023, ada sebuah misi besar yang masih diperjuangkan dan berlanjut setelah Anugerah yang disematkan langsung Menteri LHK, Siti Nurbaya pada peringatan hari Lingkungan Hidup 2023.
Berawal dari kerja kolektif, misi besar ini berada di pundak Pemuda dan Perkumpulan Pengelola Hutan Adat untuk keberlangsungan hidup anak-cucu masyarakat Abay Sembuak, Pengakuan SK Hutan Adat. Di tingkat kabupaten, Dayak Abay Sembuak telah mengantongi Pengakuan Masyarakat Adat berdasarkan Keputusan Bupati Malinau Nomor: 660.2/K.58/202 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Dayak Abay Sembuak.
Pria berusia 58 tahun sekaligus Sekretaris Adat Desa Dayak Abay Sembuak tersebut telah mengabadikan separuh dari hidupnya memperjuangkan pengakuan Hutan Adat. Perjuangannya masih terus berlanjut, hingga tujuan, legasi yang telah dititipkan kepadanya membuahkan hasil.
Perjuangan Pengakuan Hutan Adat
Meskipun baru dibentuk pada 2018 lalu, namun inisiatif memperjuangkan hutan adat telah dicita-citakan sejak puluhan tahun Silam. Puncaknya pada tahun 2013 silam, saat masa kepemimpinan Ketua Adat DAS Kala itu.
Zakaria bercerita, sebelum Ketua Adat sebelumnya meninggal dunia, dirinya yang hingga saat ini merupakan Sekretaris Adat Dayak Abay Sembuak dititipi pesan untuk mengurus hutan adat, termasuk pengakuan negara terhadap masyarakat dan Hutan Adat yang merupakan masa depan anak-cucu DAS. Bukan tanpa sebab, impian ini berawal dari permasalahan demi permasalahan yang dihadapi masyarakat yang terdampak aktivitas koorporasi, konsesi kayu dan perhutanan kala itu.
Mengurus hutan adat hingga aspek legalitas bukan perkara mudah. Zakaria mengakui dia merupakan orang ke-sekian yang telah berupaya mengurus SK Hutan Adat. Kepengurusan silih berganti menyerah karena ribetnya tetek-bengek pengurusan dokumen. Hingga pada 2021 silam, Masyarakat adat mendapatkan secercah harapan. Kamis, 14 Januari 2021, SK Pengakuan Masyarakat Adat DAS diteken Bupati Malinau kala itu, Yansen Tipa Padan.
“Tahun 2021, kami mendapatkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dari Bupati. Selanjutnya, kami telah mengirimkan berkas ke Kementerian LHK untuk dimohonkan Penetapan SK Hutan Adat,” katanya. Saat ini, Pengelola Hutan Adat DAS didampingi Organisasi pemberdayaan nonpemerintah, LP3M, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang konsen memperjuangkan hak-hak masyarakat adat minor di Malinau Kalimantan Utara.
Filosofi dan Relasi Masyarakat Adat dengan Alam dan Leluhur “Batang fasa nalam timug, dumuli semungguli”. Kalimat ini merupakan peribahasa, petuah sekaligus filosofi yang menjadi pegangan sekaligus prinsip hidup bagi masyarakat adat Abay Sembuak. Secara harfiah Zakaria menjelaskan, peribahasa tersebut kurang lebih berarti, “Batang kayu lapuk yang tenggelam di dasar air/sungai suatu saat dapat bertunas kembali.”
Petuah tersebut punya makna yang mendalam. Secara umum, Masyarakat Dayak Abay Sembuak dididik agar tidak menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat mata dan indera tubuh. Dilarang memandang rendah orang lain hanya karena tidak berpendidikan, berpakaian lusuh dan sejenisnya. Ini sejalan dengan model hidup masyarakatnya yang memiliki keyakinan dan ikatan spiritual yang kuat kepada leluhur, hutan dan alam.
Hubungan antara masyarakat. dengan alam dapat dilihat pada acara-acara adat, upacara dan ritual besar. Tradisi sakral dalam upacara adat seperti pernak-pernik, sajian, altar dan medium “Pemanggilan leluhur” semuanya berasal dari alam, diperoleh dari hutan adat. “Hukum adat mengatur prilaku dan kehidupan kami bermasyarakat,” jelas Zakaria.
Penduduk dan masyarakat adat tunduk dan diatur berdasarkan pranata sosial. Hukum adat mengatur hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, aturan adat melarang petaninatau peladang menggeser batas lahan. Adapula norma saat musim buah yang melarang warga mengambil buah. Boleh mengambil dengan syarat buah telah jatuh ke tanah. Pamali memanjat dan dengan sengaja menjatuhkan buah dari tanaman yang bukan haknya.
Pendamping PPHA DAS, Ketua Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Suku Dayak di Malinau (LP3M), Boro Suban Nikolaus menjelaskan, kearifan lokal dan kebudayaan suku adat saat ini telah berkembang sesuai kebutuhan zaman.
“Salah satunya diatur melalui Peraturan Desa. Ada larangan mengeksploitasi hasil hutan secara berlebihan. Artinya hukum adat tetap hidup dan bertahan, bahkan menjadi hukum positif yang wajib ditaati siapapun,” ungkapnya. Dapat dicermati melalui penerapan semangat hukum adat yang diterapkan ke dalam hukum positif, diantaranya Peraturan Desa dan sejenisnya.
Niko Boro sapaan akrabnya menyampaikan masyarakat adat sadar akan pentingnya legalitas. Dari 5 skema perhutanan sosial, SK Hukum Adat merupakan pilihan terbaik. Sebagai legalitas sekaligus bentuk pengakuan kedaulatan wilayah adat yang jauh telah ada sebelum terbentuknya struktur pemerintahan.
Perkumpulan Pengelola Hutan Adat Dayak Abay Sembuak (PPHA-DAS) didirikan pada tahun 2018 dikelola delapan orang pengurus yang diketuai Zakaria. Anggota PPHA-DAS adalah seluruh masyarakat adat Sembuak. Pembentukan PPHA-DAS bertujuan untuk menyelamatkan ekosistem, khususnya daerah aliran Sungai Sembuak dan hutan tersisa di wilayah adat Dayak Abay Sembuak. Dengan melakukan pengawasan terhadap perusakan hutan, rehabilitasi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu secara lestari untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Dayak Abay di Malinau.
Lokasi Hutan Dayak Abay Sembuak berjarak 6 km dari pusat kota Malinau kerap menjadi incaran perusahaan untuk dikonversi. Masyarakat telah menolak setidaknya empat perusahaan HPH dan HTI yang mengantongi izin konsesi. Tingginya ancaman konversi lahan oleh privat memotivasi masyarakat adat DAS melalui PPHA-DAS untuk melindungi wilayah adatnya berupa bentangan tanah, air, sungai, danau, hutan dan ekosistem agar dimanfaatkan bersama selaras dengan tradisi dan kearifan lokal.
Keanekaragaman hayati hutan adat Dayak Sembuak seluas 64.203 ha memiliki kemiripan dengan Taman Nasional Kelian Mentarang. Dari identifikasi, setidaknya hutan adat Abay Sembuak memiliki tujuh jenis tanaman penyedap rasa, 17 tanaman obat, empat jenis kayu untuk penyembuhan, 42 pohon buah, sembilan jenis rambutan, tujuh jenis mangga, delapan jenis durian, 10 jenis padi ladang, delapan jenis padi ketan. Ikan Sungai Sembuak ada 65 jenis, 26 jenis burung, 51 hewan melata dan ampibi serta 40 jenis fauna lainnya, termasuk 15 diantaranya fauna dilindungi.
Secara swadaya, pengelolaan wilayah adat DAS selalu melibatkan pemuda adat. Merujuk pada peraturan adat, mereka aktif melakukan penyelamatan dan pengamanan wilayah adat dengan tiga pos jaga, pembuatan zonasi kawasan meliputi Tanah Femagunan (Areal pemekaran pemukiman), Tana Umo ( Tanah perladangan), Tana Malayang (Tanah persawahan), Tana Kabayagan (Hutan untuk kehidupan/mata pencaharian), Tana Sunnu (Hutan untuk destinasi wisata) dan Tana Togomon (Tanah Terlarang/Keramat). Warga aktif mengkonservasi flora, menerapkan larangan pemakaian racun ikan, pengambilan kayu hutan, perburuan satwa dan penerapan sanksi adat bagi pelanggar.
Dengan upaya yang dilakukan, aktifitas penebangan, perburuan dan pengambilan ikan dengan bom berkurang. Sehingga hutan adat tetap lestari. Penghargaan Kalpataru sebagai penguat semangat untuk menjaga wilayah. Bagi mereka, hutan adat adalah jantung dan nadi kehidupan. Keberlanjutan hutan adat harus terjaga untuk generasi selanjutnya, karena jika hutan hilang maka masyarakat adat Dayak Abay pun terancam hilang.
Penulis: Puji-Kehati, Tenaga Teknis Kalpataru
Editor: Nurhayati
Sekelompok Pencinta Alam di Desa Damaran Baru berkumpul pada tahun 2010. Kegiatan utama mereka mendaki gunung api Bur Ni Telong dengan ketinggian 2500 mdpl. Selama Pendakian mereka menyusuri hutan dan sungai yang ada di Damaran Baru.
Desa Damaran Baru merupakan Desa langanan banjir, BNPB menetapkan Desa Damaran Baru sebagai Desa Rawan Bencana. Ada Daerah Aliran Sungai (DAS) Wih Gile, yang tiap tahun rawan mengantarkan luapan air dari hulu sungai hutan Bener Meriah.
Awalnya masyarakat percaya, itu hanyalah bencana dari Tuhan. Padahal Kelompok Pencita alam Bur Ni Telong sudah seringkali mengingatkan bahwa kerusakan gunung Bur Ni Telong dan kawasan hutan Damaran Baru bukan karena bencana yang diturunkan Tuhan, melainkan karena mulai berubah fungsi alamnya dari Hutan Lindung menjadi perkebunan dan penebangan.
Himbauan sudah sejak tahun 2010, empat tahun lamanya sampai akhirnya kelompok ini membetuk LSM yang bernama Bur Ni Telong dan disahkan oleh pemerintah Bener Meriah pada tahun 2014. Tahun 2015 terjadi bencana banjir bandang di desa Damaran Baru melalui sungai Wih Gile yang membawa luapan air, lumpur, pasir dan batu-batuan yang meluncur dari hutan Damaran Baru dan gunung Bur Ni Telong.
Dampak banjir bandang menyadarkan para penduduk, untuk segera membuat satgas perlindungan hutan Damaran Baru. Proses ini awalnya dilakukan selama dua tahun masih bersama LSM Bur Ni Telong dilakukan oleh beberapa laki-laki. Pada tahun 2016 LSM Bur Ni Telong mulai melibatkan perempuan yang menurut mereka geram mendengar banyaknya perusakan lingkungan di hutannya. Dengan melibatkan perempuan proses perubahan perilaku, para perusak lingkungan makin berkurang. Pada tahun 2017 terbentuklah LPHK Damaran Baru yang terdiri dari 42 orang, 23 perempuan dan 19 laki-laki, tugasnya melakukan perlindungan Hutan Damaran Baru. Kelompok ini disahkan oleh Kepala Desa Damaran Baru. Karena melibatkan perempuan LPHK Damaran Baru lebih dikenal dengan sebutan Ranger Perempuan atau “Mpu Uteh”, oleh warga sekitar.
Dengan keberadaan LPHK Damaran baru dan Mpu Uteh-nya. Sekarang ini sudah tidak terjadi lagi banjir di desa tersebut, dan menurut citra satelit tutupan lahan mulai berangsur-angsur membaik.
Kekukuhan kelompok inilah yang akhirnya pada tahun 2019, mendapatkan kepercayaan pemerintah untuk turut menjaga, memanfaatkan dan melindungi hutan Damaran Baru melalui Perhutanan Sosial dalam skema Hutan Desa seluas 251 ha.
Muhammad Ikhwan lelaki berumur 43 tahun lahir di Maros tanggal 10 Oktober 1980 merupakan penduduk asli Desa Salenrang, Kabupaten Maros dimana Karst Rammang-rammang berada. Ikhwan adalah seorang aktivis pecinta lingkungan sejak sekolah, menjadikannya peka pada masalah sosial dan lingkungan disekitar. Kecintaan beliau terhadap alam sudah dirasakan sejak mengecap pendidikan di Madrasah Aliyah.
Ikhwan, sejak usia remaja, telah memperjuangkan mimpinya untuk mempertahankan dan mewariskan budaya masyarakat (kearifan lokal) akan pentingnya kawasan Kars bagi generasi mendatang. Dia juga membuktikan bahwa kegiatan pertambangan batuan marmer merusak lingkungan dan hanya sesaat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan wisata berbasis masyarakat. Semua biaya itu berasal dari hasil kerjanya sebagai tukang bengkel motor, kadang dibantu dari gaji istrinya yang seorang guru.
Kegiatan yang Ikhwan lakukan adalah mengadvokasi penyadaran masyarakat, pemerintah dan juga perusahaan agar kegiatan ekstraktif tidak dilakukan untuk mengeksploitasi Kawasan Karst di Desa Salenrang. Selain advokasi, Ikhwan juga merintis kegiatan ekowisata Kawasan Rammang–rammang agar masyarakat dapat memanfaatkan Kawasan karst untuk peningkatan taraf hidup di Desa Salenrang.
Selama 17 tahun Ikhwan termotivasi untuk merintis mempertahankan keberadaan Kars. Konsistensi serta pengorbanannya dalam menghadapi segala resiko telah diakui dan mengubah pola pikir banyak pihak. Ikhwan aktif dan membangun jejaring sesama aktivis lingkungan untuk bersama – sama mengadvokasi masyarakat tentang konservasi lingkungan di Provinsi Sulawesi Selatan. Kegiatan ini juga menyadarkan publik akan pentingnya fungsi kawasan Karst yang merupakan kawasan esensial. Kawasan yang berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem meliputi kekayaan flora dan fauna serta sebagai penyimpan cadangan air.
Kegiatan advokasi yang dilakukan pada akhirnya berbuah keberhasilan karena pada tahun 2013 izin tambang berhasil dicabut pemerintah daerah. Tidak hanya sampai dalam hal penarikan izin tambang, advokasi yang dilakukan Ikhwan juga mengantarkan Kawasan Karst Rammang – rammang untuk mendapatkan penghargaan sebagai UNESCO Global Geopark yang merupakan kawasan terbesar kedua di dunia setelah China yang akan diberikan pada September 2023.
Ikhwan memiliki harapan dengan advokasi yang dilakukan dapat melestarikan dan menjaga Kawasan karst dari ancaman eksploitasi ekstraktif yang muncul kapan saja. Pengakuan yang diberikan merupakan pengingat akan pentingnya Kawasan karst untuk menjaga keseimbangan alam sebagai satu ekosistem serta memiliki banyak manfaat bagi kehidupan. Ekowisata Rammang – rammang yang hadir di Kawasan karst Desa Salenrang hanya sebagai bonus yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Petronela Merauje adalah seorang ibu rumah tangga yang lahir di Jayapura pada tanggal 21 Februari 1981. Perempuan asli Kampung Enggros, Kecamatan Abepura, Kota Jayapura ini adalah seorang tokoh perempuan yang berpengaruh dalam perlindungan Hutan Perempuan (Tonotwiyat) dan Teluk Youtefa. Ketertarikannya pada isu perempuan dan lingkungan hidup dimulai pada tahun 2010 saat terlibat dalam kegiatan aksi penanaman mangrove bersama Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG).
Perempuan yang saat ini berusia 42 tahun dan lebih akrab dipanggil dengan nama “Mama Nela” ini merasa terpanggil untuk menjaga Hutan Perempuan karena banyaknya sampah yang hanyut terbawa arus dan menurunnya luasan hutan mangrove tersebut karena pembangunan. Hutan Perempuan memiliki arti penting bagi para perempuan di Kampung Enggros. Hutan Perempuan adalah hutan mangrove yang berada di Teluk Yotefa yang menjadi tempat untuk
para perempuan “bersuara” karena secara adat perempuan di Suku Enggros tidak memiliki hak suara. Saat berada di Hutan Perempuan, para perempuan tersebut tidak memakai busana (telanjang) dan laki-laki dilarang masuk. Bagi laki-laki yang melanggar aturan ini akan dikenakan denda adat.
Bagi Mama Nela menyelamatkan keberadaan mangrove di Hutan Perempuan sama pentingnya dengan menyelamatkan peran perempuan di Kampung Enggros. Hal ini mendorong Mama Nela untuk melakukan kegiatan penanaman mangrove mencapai 20.000 bibit secara mandiri untuk menjaga kerapatan hutan mangrove agar para perempuan yang berada di dalam Hutan Mangrove yang tidak menggunakan busana tersebut tidak terlihat dari luar hutan. Selain itu juga untuk menjaga habitat kerang yang menjadi mata pencaharian utama perempuan di Kampung Enggros.
Di dalam Hutan Perempuan tersebut Mama Nela melakukan pemberdayaan perempuan dengan memberikan pelatihan kepada perempuan dalam mengelola sampah menjadi souvenir yang dijual kepada wisatawan, selain itu juga diberikan pelatihan untuk mengolah buah mangrove menjadi makanan seperti es krim, puding, nugget, dan lainnya. Kegiatan pembinaan tidak hanya dilakukan di Kampung Enggros tetapi juga dilakukan di lima kelompok binaan lainnya di luar Kampung Enggros. Mama Nela berharap melalaui upaya advokasi dan penyelamatan lingkungan yang dilakukannya, peran perempuan di Kampung Enggros dapat diakui serta tumbuhnya kesadaran pada setiap perempuan tentang rasa memiliki Hutan Perempuan sehingga terus dapat menjaga nilai adat hutan sebagai identitas budaya.
Arsyad, pria kelahiran Pota, adalah seorang tenaga harian lepas (THL) dari Dinas Pariwisata Kab. Manggarai Timur, NTT. Bekerja sebagai petugas loket dan penjaga kebersihan di obyek wisata yang berada di wilayah Kelurahan Pota. Arsyad melakukan kegiatan penyelamatan Biawak Komodo Flores itu berangkat dari keprihatinan beliau atas persepsi masyarakat terhadap Biawak Komodo Flores yang dianggap sebagai hama karena menyerang ternak warga.
Kegiatan yang dilakukan Arsyad sejak tahun 2006 dengan biaya sendiri bahkan sampai hutang bank. Akhirnya membuahkan hasil berupa perubahan persepsi dan perilaku masyarakat terhadap eksistensi Biawak Komodo Flores. Bukan hanya itu saja, kecintaan beliau terhadap jenis satwa ini diwujudkan juga dengan mendirikan Pusat Informasi Komodo yang dibangun di areal halaman rumahnya. Melalui pusat informasi ini Arsyad banyak memberikan edukasi ke publik tentang Biawak Komodo Flores dan pentingnya menjaga kelestarian jenis satwa ini. Tamu yang datang ke pusat informasi ini berasal dari berbagai kalangan, antara lain; masyarakat lokal, kaum pelajar dan akademisi, ilmuwan, turis domestik maupun asing.
Selain melakukan kegiatan penyelamatan fauna yang hampir punah, Arsyad juga melakukan kegiatan konservasi mangrove di kawasan pesisir Pota. Pada tahun 1992 gempa kuat di Maumere berdampak hingga ke Pota. Beliau melakukan penanaman mangrove di pesisir Pota dan sekitarnya, untuk mengurangi dampak bencana terulang kembali. Ketika peristiwa itu terjadi memberikan dampak terhadap lingkungan serta mengganggu stabilitas perekonomian masyarakat.
Selain bertugas menjaga lingkungan di beberapa lokasi obyek wisata di Kelurahan Pota dan sekitarnya, Arsyad juga pernah didapuk sebagai penyuluh sanitasi. Atas dasar inisiatif sendiri beliau mempelopori pembuatan sarpras WC di rumah warga sambil mengedukasi masyarakat tentang pola hidup sehat dan bersih.
Selama merawat komodo Arsyad telah menemukan inovasi pengobatan herbal untuk komodo. Pernah ada komodo yang putus lidahnya, diobati dengan obat herbal dari kunyit, luar biasa, lidah itu tumbuh normal kembali.
Arsyad berharap agar pemerintah dan serta masyarakat memberikan dukungan nyata atas kelestarian jenis Biawak Komodo asal Flores yang hampir punah ini maupun konservasi mangrove di Kawasan pesisir. Bukan saja untuk kepentingan di masa kini, tetapi juga untuk keberlanjutan di masa depan.
JAKARTA – Usai menerima penghargaan Kalpataru dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia (RI) Prof Siti Nurbaya Bakar, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Senin (5/6/2023) di Jakarta, Ketua Yayasan Ulin, Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur (Kutim) Suimah menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung keberadaan Yayasan Ulin selama ini. Dia mengaku bersama rekannya yang lain tak pernah menarget untuk meraih penghargaan apa pun.
“Kami hanya menjalankan program pro lingkungan demi pelestarian alam sekaligus melindungi spesies langka yang ada di Kabupaten Kutim. Tidak ada target, penghargaan adalah bonus bagi kami (Yayasan Ulin). Tujuan kami lebih kepada pengelolaan area yang memiliki nilai konservasi tinggi. Di luar kawasan konservasi yang ada,” tegasnya di Auditorium DR Soedjarwo, Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta
Kendati begitu, ia dan pengurus Yayasan Ulin lainnya tetap merasa bangga dan senang. Pasalnya penghargaan Kalpataru tentunya bisa menjadi “lencana” bagi Yayasan Ulin. Untuk tetap memegang komitmen pelestarian lingkungan. Terutama dalam memanajemen konservasi dan pengelolaan di lahan basah Long Mesangat sebagai habitat buaya.
Sementara itu Kepala DLH Kutim Armin Nazar merasa ikut bangga dan bahagia atas pencapaian Yayasan Ulin Muara Ancalong.
“Alhamdulillah dari Kabupaten Kutai Timur bisa masuk satu kategori penerima penghargaan. Yakni Yayasan Ulin dari Desa Kelinjau Ulu, Kecamatan Muara Ancalong,” kata Armin saat mendampingi Suimah.
Prestasi yang direngkuh Yayasan Ulin kali ini tentunya menjadi kebanggaan banyak pihak. Karena nama Kabupaten Kutim masih tercatat sebagai penerima penghargaan lingkungan tahun ini. Didampingi Kabid Penataan dan Pengembangan Kapasitas DLH Kutim Nurrahmi Asmalia, Armin menegaskan bahwa prestasi tersebut menjadi kebanggaan sekaligus motivasi semua pihak agar berbuat lebih baik. Khususnya dalam meningkatkan upaya-upaya pelestarian lingkungan di Kabupaten Kutim. Demi menunjang keberlangsungan hidup yang baik di masa depan. (*)