Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Lauk Bersatu dari Desa Nanga Lauk Kecamatan Embaloh Hilir Kapuas Hulu dinobatkan sebagai pemenang Lomba Wana Lestari Tahun 2022. Ketetapan tersebut berdasarkan surat pemberitahuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor S.658/SET/PEHKT/SDM2/8/2022 tanggal 3 Agustus 2022.
“Terima kasih setinggi-tingginya kami ucapkan kepada parapihak yang mendukung, mendorong dan membantu LPHD Lauk Bersatu Nanga Lauk dalam partisipasi dan mewakili Kalbar sebagai pemenang Wana Lestari tahun ini. Ucapan terima kasih terutama untuk Pak Kadis LHK, Pak Adi Yani, Ibu Anita Kabid RPM dan seluruh staf di DLHK, Pak Adi Kepala KPH KH Utara dan staf,” kata Ketua LPHD Lauk Bersatu di kantornya, Senin (8/8/2022).
Lanjut alumni Fakultas Kehutanan Untan ini, penghargaan berskala nasional tersebut merupakan pertama kali didapat LPHD Lauk Bersatu. “Alhamdulillah mendapatkan hasil salah satu dari tiga terbaik pengelolaan hutan desa di Indonesia,” ucapnya.
Lomba ini juga merupakan indikator baik utk mengukur kemandirian LPHD karena penilaian terdiri dari aspek tata kelola administrasi dan kelembagaan, tata kelola program kegiatan, dan pelaporan. “Terima kasih juga untuk Pak Hamdi sebagai mantan Ketua LPHD sebagai pejuang awal hutan desa di Nanga Lauk sekaligus Ketua LPHD tiga periode. Tidak lupa juga terima kasih untuk dukungan yang luar biasa dari Pak Kades Nanga Lauk, Agus Yanto kepada LPHD Lauk Bersatu. LPHD Lauk Bersatu juga ikut berkontribusi dalam mendorong percepatan kemandirian desa dari aspek pengelolaan hutan berkelanjutan,” papar Hariska.
Dalam surat pemberitahuan dari KLHK tersebut ditujukan untuk enam kepala dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Indonesia. Dari enam kepala dinas itu salah satunya Kepala Dinas LHK Kalbar. Di antara isi dalam surat itu menjelaskan pemberian penghargaan kepada para teladan Lomba Wana Lestari dilaksanakan pada 15-18 Agustus 2022 di Jakarta. Dalam kegiatan akan menghadirkan para pemenang lomba Wana Lestari Tingkat Nasional peringkat I sampai III. Untuk lingkup Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan terdiri dari tiga kategori lomba yaitu Pemegang Persetujuan Hutan Kemasyarakatan, Pengelola Persetujuan Hutan Desa, dan Pemegang Persetujuan Hutan Adat
Sebuah Pembuktian
“Untuk LPHD Lauk Bersatu masuk dalam pemenang Kategori Pemegang Persetujuan Pengelolaan Hutan Desa. Tidak hanya LPHD Lauk Bersatu mendapatkan penghargaan ini ada juga LPHD Way Kalam dari DesaWay Kalam Kecamatan Penegahan Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung, dan LPHD Panglima Jerrung dari Kampung Dumaring Kecamatan Taliyasan Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur,” tambah Rio Afiat, Program Manager People Resource Conservation and Forest (PRCF) Indonesia, pihak yang mendampingi LPHD Lauk Bersatu.
Di Provinsi Kalbar banyak LHPD sudah berdiri. Namun, kenapa LPHD Lauk Bersatu yang menjadi pemenang dalam lomba tersebut. Di sini membuktikan, apa yang telah dilakukan LPHD Lauk Bersatu tersebut dilihat dan dipelajari oleh Dinas LHK maupun KLHK. Program yang telah dijalankan memberikan kontribusi positif bagi kelestarian hutan maupun masyarakat.
“Upaya pendampingan intensif selama ini paling tidak membuahkan hasil. Penghargaan itu sebuah pembuktian, LPHD Lauk Bersatu yang kita dampingi sesuai dengan track-nya. Kita mengakui masih banyak kekurangan, namun akan terus kita perbaiki agar tujuan utama dari pendampingan menuju kemandirian benar-benar terwujud di Desa Nanga Lauk,” tambah Rio. (ros)
Sumber berita: http://prcfindonesia.org/lphd-lauk-bersatu-jadi-pemenang-lomba-wana-lestari-tahun-2022/
Masyarakat Kalimantan Timur patut berbangga, pasalnya salah satu kelompok masyarakat di Kabupaten Paser telah ditetapkan sebagai salah satu penerima penghargaan paling bergengsi di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, yakni Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia (RI).
Sebagaimana diketahui, Kalpataru merupakan penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup dan kehutanan yang diberikan pemerintah kepada pihak-pihak yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi dan menyelamatkan lingkungan hidup, serta kehutanan.
Penghargaan tersebut diberikan kepada masyarakat, maupun kelompok yang dinilai layak dan pantas memperoleh Kalpataru, karena perannya dalam melestarikan lingkungan.
Melalui surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.533/MENLHK/PSKL/PSL.3/5/2022, tentang Penerima Penghargaan Kalpataru Tahun 2022, menetapkan 10 penerima penghargaan Kalpataru.
Dari 10 penerima penghargaan Kalpataru, Masyarakat Hukum Adat (MHA) Mului dari Kampung Mului, Desa Swan Slutung, Kecamatan Muara Koman, Kabupaten Paser, menjadi satu-satunya perwakilan Kaltim yang berhak menerima penghargaan tersebut untuk kategori Penyelamat Lingkungan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim EA Rafiddin Rizal menjelaskan, penghargaan Kalpataru yang diterima oleh MHA Mului menjadi bukti bahwa masyarakat Kaltim sadar betul pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan kehutanan, sekaligus merupakan pengakuan dan apresiasi terhadap perorangan maupun kelompok masyarakat yang secara aktif memelihara kearifan lokal dalam menjaga lingkungan.
“Ini menambah jumlah penghargaan Kalpataru yang telah diperoleh oleh masyarakat Kalimantan Timur selama beberapa tahun terakhir, dan kebanggaan tersendiri, setelah dua tahun terakhir karena situasi pandemi, Kaltim dapat memperoleh kembali penghargaan Kalpataru,” ucapnya, Jumat (3/6/2022).
“Kami tentu berharap, berbagai program pemerintah tentang upaya menjaga kelestarian lingkungan dapat didukung oleh masyarakat. MHA Mului ini dapat dijadikan contoh bagi masyarakat luas tentang bagaimana merawat, serta menjaga lingkungan hidup tetap asri, dan sudah menjadi tugas kami untuk melakukan inventarisasi, membina, serta mengusulkan untuk penerimaan penghargaan ini di tingkat provinsi dan nasional,” tutur Rizal.
Ditambahkan Rizal, bahwa pemberiaan penghargaan ini akan diberikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo, bertempat di Jakarta atau Bogor, namun untuk pelaksanaan masih menunggu jadwal dan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (ist/sul/adpimprov kaltim)
Sumber berita: https://www.kaltimprov.go.id/berita/setelah-27-tahun-mha-mului-sukses-raih-penghargaan-kalpataru
KBRN, Ternate : Penghargaan Kalpataru yang merupakan bentuk apresiasi tertinggi dari pemerintah kepada individu atau kelompok masyarakat yang berjasa dalam melindungi dan menyelamatkan lingkungan hidup. Dasar pelaksanaan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 30 Tahun 2017 tentang Penghargaan Kalpataru.
Ajang penganugerahan Penghargaan Kalpataru diselenggarakan setiap tahun dengan maksud untuk meningkatkan kesadaran, membuka peluang bagi berkembangnya inovasi dan kreativitas, serta mendorong prakarsa masyarakat, sebagai bentuk apresiasi dan motivasi kepada individu dan kelompok masyarakat dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan secara berkelanjutan.
Adapun sasarannya adalah individu maupun kelompok yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan, dan membina Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penganugerahan Penghargaan Kalpataru Tahun 2022 dilaksanakan pada Tanggal 20 Juli 2022 bertempat di Gedung Manggala Wanabakti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI oleh Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI yang didampingi Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. Secara keseluruhan jumlah penerima Penghargaan Kalpataru Tahun 2022 berjumlah 10 (sepuluh) penerima dengan berbagai kategori diantaranya: 3 orang Kategori Perintis Lingkungan; 2 orang Kategori Pengabdi Lingkungan; 3 orang Kategori Penyelamat Lingkungan; dan 2 orang Kategori Pembina Lingkungan.
Salah satu penerima Kalpataru kali ini adalah Zulfikli dalam kategori Pengabdi Lingkungan. Program yang dijalankan oleh ASN Kota Ternate ini adalah Gerakan Menabung dan Memanen Air Hujan Kecamatan Kota Ternate Utara (Gemma Camtara).
Selama 42 tahun penyelenggaraannya yang dimulai pada Tahun 1980, telah mencatat 408 penerima penghargaan Kalpataru dari seluruh provinsi di Indonesia. Adapun Provinsi Maluku Utara sendiri baru dua kali mengikuti Penghargaan Kalpataru yakni Pada Tahun 2014 mengusulkan Bapak Amrul Sadik Daga, ASN Pemerintah Kota Ternate untuk kategori Pengabdi Lingkungan. Program yang dilaksanakan Bapak Amrul Sadik Daga adalah penanganan limbah medis di Kota Ternate dan dengan programnya itu ditetapkan sebagai salah satu penerima Penghargaan Kalpataru pada Tahun 2014.
Pada Tahun 2022 melalui dinas Lingkungan hidup Provinsi Maluku utara mengusulkan Bapak Zulkifli, SE, M.Si dalam kategori Pengabdi Lingkungan. Program yang dijalankan oleh ASN Kota Ternate ini adalah Gerakan Menabung dan Memanen Air Hujan Kecamatan Kota Ternate Utara (Gemma Camtara). Program yang bertujuan untuk menangani krisis air bersih dengan mengelola dan memanfaatkan air hujan melalui Instalasi Pemanfaatan Air Hujan (iPAH) ini setelah melalui beberapa tahapan penilaian ditetapkan sebagai salah satu penerima Penghargaan Kalpataru kategori Pengabdi Lingkungan sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.533/MENLHK/PSKL/ PSL.3/5/2022 tentang Penerima Penghargaan Kalpataru Tahun 2022.
Zulkifli kepada rri.co.id Kamis (21/7/2022) usai menerima penganugerahan Kalpataru mengatakan, Saya merasa bersyukur, bahagia dan sekaligus bangga bisa meraih penghargaan ini, bisa membawa nama Pemerintah Kota Ternate dan Provinsi Maluku Utara di ajang nasional. Pada awalnya ketika diusulkan mengikuti Penghargaan Kalpataru Tahun 2022 oleh DLH Provinsi Maluku Utara, saya sempat menolaknya karena di Maluku Utara ada banyak pegiat dan penggiat lingkungan hidup termasuk ASN didalamnya. Bagi saya menerima penghargaan dari negara melalui ajang Kalpataru ini bukan merupakan tujuan dan akhir dari pengabdian tapi ini lebih kepada penambah motivasi dan memperteguh komitmen untuk tetap terus melanjutkan dan mengembangkannya melalui Besa Macahaya. Melalui Besa Macahaya selain tetap concern pada upaya konservasi air tanah dan penyediaan air bersih berbasis air hujan juga pengelolaan sampah dari sumber dan konservasi energi.
”Saya sangat bersyukur, bahagia dan bangga bisa meraih penghargaan ini sekaligus dapat membawa nama Pemerintah Kota Ternate dan Maluku Utara di ajang nasional sebagai penerima Kalpataru,” ungkap Zulkifli.
Gemma Camtara atau Gerakan Menabung dan Memanen Air Hujan Kecamatan Kota Ternate Utara kata Zulkifli yang biasa disapa Ipin dalam perjalanannya tidak sendiri, banyak dukungan dan keterlibatan dari berbagai pihak melalui kolaborasi dan kemitraan. Untuk itu melalui kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Kota Ternate yang selalu mendorong dan memotivasi saya dan ASN Kota Ternate untuk selalu peka dan peduli terhadap permasalahan dan aspirasi masyarakat dengan melahirkan dan menjalankan program inovasi. Saya juga menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara yang telah mengusulkan saya mengikuti Penghargaan Kalpataru. Ucapan terima kasih juga kepada tim kerja Gemma Camtara dan teman-teman di Kantor Kecamatan Kota Ternate Utara serta semua pihak yang telah bersama-sama Gemma Camtara melakukan upaya konservasi air tanah melalui Program Sedekah Air Hujan.
Oleh: Nanang Adrany
Sumber berita: https://rri.co.id/ternate/daerah/1546295/zulkifli-asn-kota-ternate-terima-penganugerahan-penghargaan-kalpataru-dari-wamen-lhk
PHBM Sebagai Media Penguatan Hak Masyarakat Desa Sekitar Hutan
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan skema pengelolaan hutan yang memberi ruang kepada masyarakat desa sekitar hutan sebagai pelaku utama. Sebenarnya inisiatif seperti ini sudah berlangsung sejak lama, dari generasi ke generasi. Misalnya bentuk pengelolaan hutan adat, rimbo larangan, imbo psako/parabukalo dan lain sebagainya.
Pada intinya, semua bentuk ini bertujuan melindungi hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat setempat, jika ada anggota masyarakat yang melanggar maka akan dikenai sanksi adat yang berlaku. Hanya saja inisiatif seperti ini terkadang tidak diakomodir oleh pemerintah.
Era 1960-an sampai dengan 2000-an, pengelolaan hutan masih berorientasi pada modal swasta melalui berbagai skema izin seperti Hak Penguasaan Hutan (IUPHHK HA) dan Hutan Tanaman Industri (IUPHHK HTI). Kedua skema ini banyak dituding berkontribusi besar terhadap kegagalan pengelolaan hutan di Indonesia.
Menurut data Badan Planologi Kehutanan, dalam kurun waktu 2022-2006 telah terjadi degradasi hutan kurang lebih 1,8 juta Ha/tahun, sedangkan lahan kritis diperkirakan mencapai angka 30,2 juta Ha. CIFOR menyebutkan bahwa 10,2 juta jiwa dari 48,8 juta jiwa yang hidup di sekitar hutan masih tergolong miskin.
Kedua data di atas menunjukkan bahwa tingkat degradasi hutan dan lahan belum berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Hal ini pula lah yang menyebabkan konflik antara masyarakat dengan pihak swasta sebagai pemegang izin. Alasan utamanya adalah ketimpangan izin akses pemanfaatan hutan, masyakat sekitar hutan merasa sebagai pihak yang tersingkirkan. Sehingga penguatan hak masyarakat desa sekitar hutan menjadi penting untuk diakui legal formalnya.
Advokasi dari berbagai pihak telah berhasil mendorong lahirnya regulasi yang mengatur tentang sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat. PP No 6 tahun 2007 menyebutkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang diistilahkan dengan skema perhutanan sosial.
Skema tersebut adalah: Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Kemitraan. Semua skema tersebut memberikan hak kepada masyarakat agar dapat mengelola kawasan hutan lindung dan hutan produksi secara legal.
Mahkamah Konstitusi (MK), melalui putusan No 35 tahun 2012 memutuskan bahwa hutan adat merupakan hutan yang dikelola oleh masyarakat hukum adat sepanjang masih ada dan diakui. Sehingga hutan adat tidak lagi dikategorikan sebagai hutan negara seperti yang disebutkan dalam UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, dengan demikian bentuk PHBM menjadi lebih banyak pilihan, tinggal menyesuaikan dengan kondisi biofisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Layanan PHBM Pasca UU Nomor 23 Tahun 2014 dan Perpres Nomor 16 Tahun 2015
Terbitnya dua peraturan perundang-undangan tersebut berimplikasi pada layanan skema PHBM di level pusat dan daerah. Perpres Nomor 16 tahun 2015 telah menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Melalui perpres ini juga telah meningkatkan dan menggabungkan struktur dan kewenangan layanan PHBM di dalam Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL). Sebelumnya, layanan PHBM tersebar di beberapa ditjen: hutan desa dan hutan kemasyarakatan di Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, hutan tanaman rakyat di Ditjen Bina Usaha Kayu.
Di tingkat daerah, UU Nomor 23 tahun 2014 telah mengalihkan kewenangan urusan bidang kehutanan yang ada di pemkab kepada pemprov, kecuali taman hutan raya yang tetap di lingkup pemkab. Sebelum ada regulasi ini, pemkab berwenang menerbitkan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan dan izin usaha hasil hutan kayu hutan tanaman rakyat.
Adanya dua regulasi baru tersebut, KLHK membuat Permen LHK tentang hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat. Ada beberapa hal yang menarik di dalam permen tersebut: 1. pemangkasan jalur birokrasi pengurusan izin/hak hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat, 2. Kelompok kerja percepatan perhutanan sosial di setiap provinsi, 3. Permohonan secara online, dan 4. KPH yang sudah operasional berwenang untuk mengesahkan RPHD, RKU, dan RKT.
PHBM Sebagai Instrumen Pembangunan Desa Sekitar Hutan
Permendesa PDTT No 21 tahun 2015 menyebutkan bahwa hutan desa dan hutan kemasyarakatan termasuk kegiatan yang prioritas untuk dibiayai oleh dana desa sepanjang masuk dalam dokumen RPJMDes. KLHK juga menjadikan PHBM sebagai salah satu indikator kinerja utama sebagaimana termaktub dalam RPJMN.
Harapan kedepannya, kedua kementerian ini bisa saling bersinergi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pemda provinsi maupun pemda kabupaten/kota sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat juga harus saling bersinergi dan mendukung dalam mengimplementasikan kebijakan dua kementerian tersebut. Sehingga pertumbuhan ekonomi masyarakat desa sekitar hutan bisa meningkat dan mengurangi laju urbanisasi dan penumpukan masyarakat di kota.
Tulisan ini disarikan dari Tulisan Adi Junedi yang berjudul “PHBM Instrumen Pembangunan Masyarakat Desa Sekitar Hutan” di dalam buku “Sekelumit Kisah Lapangan: Mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat” yang diterbitkan oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warsi.
Ditulis : Ridwan F (Staf Dit. Kemitraan Lingkungan)
TROPIS.CO, JAKARTA – Mantan atlet dayung nasional kelahiran Jambi, Leni Haini 45 tahun, tercatat sebagai salah seorang penerima penghargaan Kalpataru tahun 2022. Leni Haini dinilai telah men jadi perintis menyelamatkan eksosistem Danau Sipin seluas 120 hektar dari timbunan sampah dan tanaman enceng gondok.
Bersama Leni, ada juga Da’im, 61 tahun, dari lereng Gunung Lemongan , dan Rudi Hartono 27 tahun, seorang yang berhasil merintis perbaikan ekosistem mangrove di pesisir pantai di desanya, Desa Sungai Kupah, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.
Leni Haini bersama Da’im dan Rudi Hartono, penerima penghargaan Kalpataru kategori perintis yang penyerahan penghargaannya dilakukan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Jakarta, Rabu (20/7).
Penghargaan Kalpataru tahun 2022, diberikan kepada 10 penerima, terdiri dari: 3 Penerima kategori Perintis, 3 kelompok Penerima kategori Penyelamat, dan 2penerima kategori Pengabdi , serta 2 lainnya, penerima kategori Pembina. Selain itu diberikan pula 1 penghargaan khusus bidang kolaborasi dalam pengabdian lingkungan.
Adapun penerima penghargaan Kalpataru kategori pembina, masing diberikan kepada Pendeta Rasely Sinampe dan Eliza Marthen Kissya 73 tahun. Pendeta Rasely adalah tokoh agama di Rantepao, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Sedangkan Eliza Marthen, penerus adat Kewang secara turun temurun di Negeri Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Untuk kategori penyelamat lingkungan, penghargaan diberikan kepada Masyarakat Hukum Adat Mului, sebagai kelompok masyarakat adat yang berada di Desa Swan Slutung, Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Kelompok Tani Hutan (KTH) KOFARWIS, kelompok tani di Kawasan Hutan Rimba Jaya, Biak Numfor, Papua, dan Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI), satu yayasan yang berawal dari komunitas yang memberikan perhatian serius, pada program perlindungan dan pelestarian Bekantan dengan misi “Save Our Mascot” dan tahun 2018 melalui program “Bekantan Goes Global”.
Selanjutnya untuk kategori pengabdi lingkungan penghargaan kalpataru diberikan kepada: (6) Dodi Permana 36 tahun, seorang anggota POLRI berpangkat Aipda yang juga pelopor berdirinya Bank Sampah DP Partner, dan (7) Zulkifli 46 tahun, warga kelurahan Tobeleu, kota Ternate Utara, seorang Pegawai Negeri Sipil yang berhasil mengatasi krisis air bersih di daerahnya.
Terakhir Penghargaan Kalpataru tahun 2022 juga diberikan untuk kategori khusus bidang kolaborasi dalam pengabdian lingkungan kepada Gerakan Ciliwung Bersih Kelurahan Karet Tengah Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat.
Wujud Apresiasi.
Dalam sambutanya Wamen Alue Dohong mengatakan, penghargaan ini merupakan wujud apresiasi pemerintah kepada para pemimpin daerah dan pejuang lingkungan yang telah menjadi ujung tombak/garda terdepan dalam upaya pemulihan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia.
Penghargaan ini secara rutin diberikan oleh KLHK, kepada mereka yang telah terbukti memiliki kepedulian, komitmen, prakarsa, inovasi, motivasi, dan kreativitas secara berkelanjutan, sehingga berdampak positif terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan.
“Para pemimpin dan pejuang lingkungan hidup peraih penghargaan ini diharapkan menjadi contoh, inspirasi, dan pemicu yang mendorong inisiatif dan partisipasi individu atau kelompok masyarakat lainnya secara lebih luas,” ujar Wakil Menteri (Wamen) LHK, Alue Dohong dalam arahannya pada acara ini.
Wamen menekankan agar para penerima Penghargaan Kalpataru dan Nirwasita Tantra menjaga amanah untuk terus menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup dan kehutanan di bumi yang hanya satu ini, demi generasi mendatang.
Wamen Alue juga menyatakan jika selain dengan memberikan penghargaan terhadap para pemimpin daerah dan pejuang lingkungan, Pemerintah juga terus mengupayakan berbagai inisiatif dalam menjaganya keberlanjutan lingkungan salah satunya dengan inisiatif menjadikan sektor FOLU (Forest and other Land Uses) sebagai Net Sink di tahun 2030 melalui Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
“Jadi Pemerintah menargetkan pada tahun 2030, emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan akan seimbang antara pelepasan dan penyerapannya,” ujar Wamen.
Dengan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 Pemerintah berharap akan timbul manfaat ganda berupa pengurangan terukur laju emisi, perbaikan dan peningkatan tutupan kanopi hutan dan lahan, perbaikan berbagai fungsi hutan seperti tata air, iklim mikro, ekosistem, konservasi biodiversity, sekaligus sumbangan bagi kesejahteraan, kesetaraan dan kesehatan masyarakat, serta tegaknya hukum.
“Prinsipnya adalah mengembalikan keberadaan hutan alam nasional dan fungsinya sebagai penyangga kehidupan secara utuh,” imbuh Wamen Alue.
sumber berita: https://tropis.co/2022/07/20/leni-haini-mantan-atlet-dayung-nasional-menerima-penghargaan-kalpataru/
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Alue Dohong menyerahkan penghargaan Kalpataru tahun 2022 kepada 10 orang penerima. Tak hanya Kalpataru, KLHK juga memberikan penghargaan Nirwasita Tantra tahun 2021 kepada 42 kepala daerah.
Penghargaan tersebut merupakan wujud apresiasi kepada para pemimpin daerah dan pejuang lingkungan yang telah menjadi ujung tombak/garda terdepan dalam upaya pemulihan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia. Penghargaan juga secara rutin diberikan oleh KLHK kepada mereka yang telah
terbukti memiliki kepedulian, komitmen, prakarsa, inovasi, motivasi, dan kreativitas secara berkelanjutan, sehingga berdampak positif terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan.
“Para pemimpin dan pejuang lingkungan hidup peraih penghargaan ini diharapkan menjadi contoh, inspirasi, dan pemicu yang mendorong inisiatif dan partisipasi individu atau kelompok masyarakat lainnya secara lebih luas,” ujar Alue Dohong dalam keterangan tertulis
Setiap tanggal 26 Juli, kita memperingati hari mangrove sedunia yang diadopsi oleh UNESCO sejak tahun 2015. Tajuk peringatan hari mangrove sedunia untuk tahun 2022 adalah “International Day of the Conservation of the Mangrove Ecosystem”.
Menjaga dan melestarikan hutan mangrove menjadi penting karena dalam 20 tahun terakhir, global mangrove alliance memperkirakan lebih dari 60% telah hilang atau terdegradasi hingga saat ini dan dengan tambahan hilang 1 % per tahun. Dengan demikian, hutan mangrove dunia menghilang 3 sampai 5 kali lebih cepat dibandingkan hilangnya hutan global.
Indonesia menjadi salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove dengan luasan 20-25% dari ekosistem mangrove dunia. Menurut KLHK luasan lahan yang dimiliki Indonesia adalah 3.36 juta hektar, dengan rincian sebagai berikut:
Papua seluas 1.562.905 Ha
Sumatera seluas 660.445 Ha
Kalimantan seluas 688.025 Ha
Maluku seluas 224.46 Ha
Jawa seluas 56.500 Ha
Bali-Nusa tenggara seluas 39.974 Ha
Menarik untuk kita perhatikan adalah bahwa hutan mangrove memberikan kontribusi yang besar dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dimana hutan mangrove diyakini mempunyai kapasitas penyerapan karbon 3 sampai 5 kali lebih baik (tergantung kerapatan, besaran pohon, dan lain-lain) dibandingkan hutan tropis.
Tak kalah menarik, yaitu luarbiasanya ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove memberikan kalngsungan berbagai makhluk hidup yang ada di bawah dan sekitarnya: ada ikan, dan kepiting di sela sela akarnya yang kokoh, ada pula berbagai serangga dan burung di ranting-rantingnya yang teduh, pertahanan alami pantai dari gelombang tinggi, abrasi, tsunami dan abrasi, selain itu juga bisa menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat dan wisata alam.
Mari kita jaga ekosistem hutan mangrove kita. Semoga hutan mangrove kita semakin membaik dan lestari.
Penerima penghargaan Kalpataru 2022, Aipda Dodi Permana (kanan), berpose bersama Kepala Polres Lahat AKBP Eko Sumaryanto usai acara penganugerahan penghargaan Kalpataru 2022 dan Nirwasita Tantra 2021 di Jakarta, Rabu (20/7/2022). (ANTARA/Prisca Triferna)
Jakarta (ANTARA) – Mengenakan seragam polisi berwarna cokelat dan ikat kepala tanjak khas Sumatera, Ajun Inspektur Polisi Dua (Aipda) Dodi Permana naik ke panggung untuk menerima penghargaan Kalpataru 2022 dari Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong dalam acara penyerahan penghargaan di Jakarta, Rabu.
Polisi yang bertugas di Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan itu menerima penghargaan Kalpataru 2022 kategori pengabdi berkat upayanya memelopori pendirian Bank Sampah DP Partner.
Seusai menerima penghargaan, Dodi menuturkan bahwa upaya pengelolaan sampah melalui Bank Sampah DP Partner bermula dari keprihatinannya menyaksikan pembuangan sampah secara sembarangan yang memicu konflik antar-warga di lingkungan sekitarnya.
Kondisi yang dia dapati saat pindah dari Kota Palembang ke Kabupaten Lahat pada 2004 itu mendorong dia untuk mengajak teman, kolega, warga, dan organisasi di Kabupaten Lahat untuk mengumpulkan dan mengelola sampah yang dibuang sembarangan.
Dodi bersama kolega dan warga membentuk komunitas yang dinamai DP Partner. Nama DP diambil dari singkatan nama Dodi Permana.
Saat memulai kegiatan Komunitas DP Partner tahun 2011, belum banyak warga yang mendukung upaya Dodi.
“Begitu DP Partner berjalan banyak problem, banyak kendala yang dihadapi, salah satunya pasti warga berpikir kenapa polisi sekarang ngurusi sampah,” kata pria asli Palembang itu.
Padahal, ia mengatakan, tanggung jawab pengelolaan sampah tidak hanya berada di tangan Dinas Lingkungan Hidup. Semua individu yang menghasilkan sampah, termasuk polisi, juga punya tanggung jawab untuk mengelola dan menangani sampah.
Dodi tidak memedulikan komentar miring dan cemoohan warga terhadap upayanya mengurangi dan mengelola sampah. Kejadian itu justru mendorong dia untuk menunjukkan dampak baik usahanya pada lingkungan.
Pria berusia 36 tahun itu terus melanjutkan usahanya.
Perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lahat menemui Dodi pada tahun 2016 untuk mengajak dia bergabung dalam upaya mendirikan bank sampah karena upaya pemilahan dan pengolahan sampah yang selama ini dia lakukan sebenarnya merupakan bagian dari kegiatan bank sampah.
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lahat memberikan surat keputusan mengenai pembentukan bank sampah untuk komunitas DP Partner dan mendorong pembukaan cabang-cabang baru bank sampah di desa-desa dan kecamatan lain di Kabupaten Lahat.
Bank Sampah DP Partner saat ini menjadi bank sampah induk tunggal yang memiliki 11 cabang di Kabupaten Lahat. Bank sampah itu telah memperkerjakan 107 orang dan memiliki nasabah hampir 10.000 orang.
“Kita berprinsip tulus, melakukan yang terbaik. Selama niat kita baik, Insya Allah hasilnya pasti baik,” kata Dodi.
Ia menjelaskan bahwa upaya pengelolaan sampah yang dilakukan komunitasnya membuahkan hasil setelah pola pikir masyarakat mengenai sampah berubah, setelah masyarakat tidak menganggap sampah sebagai masalah tetapi sebagai barang yang bisa menghadirkan lapangan kerja dan mendatangkan manfaat ekonomi jika dikelola dengan baik.
Kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah dan berpartisipasi dalam kegiatan bank sampah selain membuat lingkungan bersih dan konflik akibat sampah berkurang juga menghadirkan peluang untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari sampah.
Dodi berencana memperbesar dan memperluas jangkauan gerakan pengelolaan sampah yang dia rintis agar dampak baiknya terhadap lingkungan juga semakin besar.
Penghargaan Kalpataru 2022 memotivasi Dodi untuk berbuat lebih banyak. Dodi juga berharap apa yang dia lakukan dan dia capai bisa menjadi inspirasi bagi anggota Polri yang lain.
“Bahwa bukan cuma petugas sampah, bukan cuma masyarakat biasa, tapi dinas dan instansi lain, Polri pun, polisi pun bisa terlibat dan mendapatkan apresiasi yang sama jika kita peduli terhadap lingkungan,” katanya.
Peran tokoh lokal
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyoroti peran penting tokoh dan gerakan lokal dalam pengelolaan lingkungan saat menyampaikan sambutan pada acara penganugerahan Kalpataru 2022 dan Nirwasita Tantra 2021.
Menurut dia, para pejuang lingkungan yang bergerak di tingkat tapak merupakan garda terdepan upaya pemulihan dan pengelolaan lingkungan di wilayah masing-masing.
Para pemimpin dan pejuang lingkungan hidup dapat menjadi teladan dan inspirasi yang menggerakkan partisipasi individu maupun kelompok masyarakat dalam upaya-upaya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut para penerima penghargaan di bidang lingkungan sebagai tokoh yang punya peran penting, peran luar biasa, dalam upaya pemulihan lingkungan hidup dan hutan.
Menurut dia, pemberian penghargaan Kalpataru kepada tokoh masyarakat dan Nirwasita Tantra kepada pemimpin daerah merupakan bagian dari jawaban pertanyaan mengenai sosok pemimpin dan pejuang dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.
Dia mengemukakan bahwa penganugerahan Kalpataru yang telah dilaksanakan selama 42 tahun memberikan gambaran mengenai kontribusi nyata masyarakat pada upaya pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Alue optimistis selanjutnya akan semakin banyak tokoh lokal yang menggerakkan kegiatan konservasi lingkungan hidup, mengingat peningkatan kualitas lingkungan hidup berkaitan erat dengan kondisi kesejahteraan masyarakat.
Penghargaan Kalpataru dan Nirwasita Tantra, menurut dia, merupakan amanah bagi penerima penghargaan untuk melanjutkan upaya menjaga dan melestarikan bumi.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto mengemukakan bahwa kepemimpinan menjadi kunci dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup dan hutan.
“90 persen itu ditentukan oleh ketokohan, dari sisi kebijakan dan juga untuk kebijakan implementasinya,” kata Bambang.
Dia juga mengatakan bahwa penggabungan penganugerahan Kalpataru dan Nirwasita Tantra mempertemukan eksekutif, legislatif, dan aktivis lingkungan hidup.
Pertemuan mereka diharapkan dapat mendorong munculnya gerakan terintegrasi penyelamatan lingkungan serta upaya-upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup.
Titik putih di kejauhan itu semakin dekat makin jelas, ketika speedboat yang kami naiki menepi ke pantai. Ternyata sebuah bangunan Gereja, mungkin bangunan termegah di kawasan ini.
Inilah kali pertama aku menginjakkan kaki di pulau kecil Haruku. Pulau yang juga salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Maluku Tengah. Terletak di antara segi tiga Pulau Seram, Pulau Ambon dan Pulau Saparua.
Menumpang speedboat, kami berlima hanya memerlukan waktu 30 menit menyeberang dari pelabuhan Tulehu Ambon ke Haruku.
Matahari pagi masih di seperempat langit, angin laut bertiup lembut. Kedatangan kami disambut oleh om Eliza dan para tetua di pelabuhan. Beriringan kami menyusuri jalan berpasir dan sebagian paving blok. Aroma laut membawa sensasi tersendiri bagiku.
Kami melangkah menuju rumah om Eliza. Berjalan menuju rumah kewang, hanya berjarak 500 meter dari pelabuhan. Belum sampai lima menit kami berjalan, takjub aku melihat pintu gerbang batu. Bangunan kuno gerbang batu dari sebuah benteng. Dari papan keterangan yang dipasang, tertulis “Dibangun pasukan Belanda pada tahun 1626”, saat ini masih tersisa, meski tinggal puing. Di bagian atas gerbang bekas benteng itu bertulisan Nieuw Zeelandia.
Benteng Nieuw Zeelandia itu pernah diserang Pattimura bersama pemuda Maluku pada tahun 1817. Berbentuk segi empat dengan dua bastion, tinggi tembok sekitar empat meter. Benteng ini menghadap pulau Ambon, untuk menjaga serangan dari Ambon. Struktur bangunan telah hilang tinggal gerbang yang saat ini agak miring, batunya sudah retak-retak tidak terawat.
Penyebab rusaknya gerbang dan tembok benteng, karena sering sekali ada banjir, dan gempa. Keterangan ini aku peroleh keesokan harinya ketika berjalan-jalan pagi, aku sempat bertanya pada salah satu penduduk.
Beberapa foto tentang Haruku di media sosial, memperlihatkan gerbang benteng Nieuw Zeelandia, digunakan orang sebagai latar belakang foto. Alangkah baiknya apabila ada niat pemerintah Kabupaten atau Desa untuk merawat peninggalan bersejarah ini.
Bertamu ke rumah om Eliza yang juga menjadi rumah Kewang adalah sebuah keberuntungan bagiku. Menambah wawasanku tentang pulau kecil sarat adat yang unik.
Kedatanganku ditemani empat orang dari Dinas LH Maluku dan BPSKL Maluku Papua. Bertujuan untuk memverifikasi om Eliza Marthen Kissya sebagai calon penerima penghargaan Kalpataru 2022.
Negeri Haruku pernah menerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah pada tahun 1985, sebagai Negeri yang menjaga kearifan lokal melindungi lingkungan dengan aturan adatnya yang disebut sasi.
Aturan adat yang berbentuk larangan untuk merusak atau mengganggu lingkungan, dalam istilah Maluku disebut sasi. Ada empat jenis larangan yang hingga hari ini dijaga ketat oleh masyarakat Negeri Haruku. Yaitu : Sasi Laut, Sasi Darat, Sasi Kali dan Sasi Dalam Negeri.
Cerita tentang keberhasilan om Eliza dalam menjaga lingkungan sudah banyak diulas di media. Tapi aku penasaran, sebenarnya siapakah om Eliza ini? Kalau dibilang orang asli Haruku, apakah benar om Eliza Marthen Kissya berdarah asli 100% Haruku?
Om Eli begitu orang lebih suka memanggilnya, sebenarnya mempunyai darah keturunan dari Pulau Jawa, tepatnya tanah Pasundan.
Alkisah pada suatu saat, ada seorang pemuda Haruku (Philip Kissya) yang merantau sampai ke Jawa Barat.
Dan bertemulah dengan seorang gadis Sunda dari Sukabumi bernama Siti. Mereka memadu kasih dan memutuskan untuk hidup dalam satu ikatan perkawinan. Mereka hidup berumah tangga di Sukabumi bersama dengan anak tunggal mereka Benyamin Kissya.
Menyandang nama Kissya memang berat, pemuda perantau yang bernama Philip Kissya ini, mempunyai kewajiban menjadi penjaga lingkungan secara adat yang disebut Kewang. Namun dia tidak merasa mampu dan pergi ke Jawa. Tugas warisan adat itu harus diturunkan pada keturunannya.
Benyamin masih usia remaja, ketika ayahnya meninggal dunia, dan disemayamkan di Sukabumi. Seminggu sebelum menghadap Tuhan, Philip dijemput tetua adat Haruku, diminta agar kembali ke kampung halaman untuk menjadi Ketua Kewang. Namun para utusan adat kembali dengan kegagalan.
Tidak sampai berbilang bulan, istri mediang Philip Kissya (Siti, kemudian mendapat nama baptis Susiana, setelah sampai di Haruku) dan anaknya memutuskan melanjutkan hidup di tanah kelahiran suaminya di Haruku.
Namun sejarah kembali berulang, anak tunggalnya Benyamin Kissya juga tidak bersedia menerima tugas ini. Bahkan dia juga pergi meninggalkan Haruku bersama Ema Watimena istrinya, untuk tinggal di Ambon bekerja sebagai pegawai negeri. Kewajiban sebagai Kewang dijalankan oleh adik sepupu jauh.
Tuntutan dari adat, agar keturunan Kissya bersedia mengemban tugas menjadi Ketua Kewang, ditagih oleh para tetua adat kepada Benyamin. Kali ini tanah Haruku bisa tersenyum bahagia, ketika Eliza Marthen Kissya anak pertama Benyamin, cucu Philip dan Siti, dengan setulus hati, menerima tugas mulia ini.
Masa kecil Eliza memang dihabiskan di Haruku. Untuk mendapatkan pendidikan merawat lingkungan laut, darat, sungai juga hutan, dari pamannya yang masih satu fam dan saat itu menjabat sebagai Ketua Kewang.
Eli kecil telah dipersiapkan sebagai penerus calon Ketua Kewang.
Secara adat fam Kissya mewarisi tugas sebagai ketua Kewang atau “penjaga lingkungan“. Sebagai garis keturunan Kissya, Eliza mempunyai panggilan jiwa sejak kecil, untuk menjaga alam Haruku.
Pengorbanan besar yang dia persembahkan, yakni rela tidak sekolah lagi, dia hanya mengenyam sampai Sekolah Dasar. Karena kalau dia bersekolah SMP harus menyeberang ke Ambon, dan meninggalkan Haruku. Hal inilah yang dikhawatirkan para tetua adat. Dan dengan kebesaran hati seorang anak kecil, dia ikhlas melepas kesempatan untuk tidak mendapatkan pendidikan yang sangat penting bagi hidupnya, demi tanah leluhur Haruku.
Pada usia 30 tahun, yaitu tahun 1979 Eliza Marthen Kissya dinobatkan oleh tetua adat sebagai Ketua Kewang. Bertugas untuk menjaga seluruh lingkungan di Haruku.
Kepemimpinannya berhasil, terbukti dengan diraihnya penghargaan Kalpataru pada tahun 1985, menyatakan bahwa negeri Haruku berhasil menjaga lingkungan dengan menerapkan aturan adat Sasi. Om Eli telah menghidupkan dan menegakkan kembali aturan adat sasi yang telah dimiliki oleh masyarakat adat Haruku sejak tahun 1600 an.
Om Eli sang “Maestro Seni“ (telah mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) merupakan seniman musik okulele dan pakar pantun.
Eliza laki-laki kelahiran Haruku, Maluku pada 12 Maret 1949, mencintai alam dengan sepenuh hati, dengan segala daya mempertahankan aturan adat.
Sudah ratusan anak-anak di Haruku, Seram, Saparua hingga Banda mendapatkan pendidikan lingkungan darinya.
Belajar sepanjang jalan, dilakukan om Eli seumur hidupnya. Hal ini terbukti dengan keberhasilannya, tidak kalah dengan para sarjana. Kecerdasan dan ketekunan om Eli sangat terlihat ketika membahas rencana dan langkah yang akan dia lakukan demi keselamatan lingkungan Haruku.
Pemahaman tentang alam, membawa om Eli keluar jauh dari negeri Haruku, pulau bahkan negaranya. Beberapa negara antara lain Spanyol, Italia telah dia singgahi sebagai nara sumber pada pertemuan tingkat internasional.
Sebagai ahli waris dia pun berkewajiban mewariskannya ke anak cucu. Kini Om Eli membentuk kewang-kewang muda, sebagai penerusnya, kewang bisa berasal dari fam selain Kissya. Namun ketua Kewang harus dari keturunan Fam Kissya.
Dalam hal ini Om Eli telah mempersiapkan dua orang cucunya, Patricia Kissya dan Emil Kissya.
Nama Emil dia berikan pada cucunya, terilhami oleh Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim. Emil Salim pernah berkunjung ke Haruku ketika akan mencalonkan Negeri Haruku sebagai penerima Kalpataru 1985. Seluruh hidupnya telah dia persembahkan untuk alam Haruku, semoga alam semesta pun memuliakannya.
Angin laut berhembus sepoi-poi, suara petikan okulele om Eli menghanyutkan suasana, malam makin gelap, kutatap langit Haruku bertabur bintang.
Merasa senang berburu gurita Gurita berenang di laut Aru Eliza datang dari Haruku ke Jakarta Untuk menerima Penghargaan Kalpataru
catatan : Pada tanggal 20 Juli 2022, Eliza Marthen Kissya menerima Penghargaan Kalpataru Kategori Pembina Lingkungan dari KLHK.
Perubahan administrasi pemerintahan dari pemerintahan adat menjadi pemerintahan desa di beberapa daerah, tidak diikuti dengan perubahan pranata sosial budaya di tengah masyarakat. Perubahan hanya terjadi pada batasan administrasi formal, sedangkan pranata sosial budaya sepenuhnya dalam kerangka hukum adat. Salah satu contoh dari kejadian ini ada di Desa Talang Kemuning dan Bintang Marak, dua desa ini adalah satu kesatuan adat yang disebut dengan Adat Depati Nyato. Ciri khas dari masyarakat adat adalah masih berjalannya kelembagaan adat, ritual adat yang terjaga, tata-aturan adat masih berjalan dengan baik, khususnya dalam tata pergaulan, pernikahan, dan pengelolaan sumberdaya alam.
Hal yang menarik untuk kita cermati adalah tentang pengelolaan sumberdaya alam di desa. Depati, Ninik Mamak, dan pemangku adat memiliki wewenang dalam mengajun dan mengarah atau penyebutannya adalah ajun arah, ini adalah tradisi pengaturan pola ruang adat, daerah hulu air, persawahan, dan pemukiman. Dalam menentukan ajun arah, hutan (tanah ulayat) tidak diajunarahkan baik karena sebagai kawasan lindung adat maupun cadangan lahan untuk anak cucu. Kawasan ini dilindung oleh Adat Depati Nyato, mereka sadar jika ada kerusakan ekologi di kawasan maka juga akan menimbulkan bencana bagi mereka.
Sebelum berstatus hutan adat, kawasan hutan ini masuk dalam kategori ajun arah lokasi perladangan dan sebagian kawasannya masuk di dalam Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), kemudian areal yang beririsan tersebut dikeluarkan dari TNKS setelah resolusi konflik dan dinyatakan sebagai Hutan Produksi Pola Pemanfaatan Masyarakat (HP3M) oleh Pemda Jambi. Hasil survey dan studi dari WARSI bersama masyarakat menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat menginginkan kawasan tersebut dilindungi untuk fungsi kelestarian. Hasil survey ini kemudian dijadikan bahan musyawarah, dimana dalam musyawarah ini diputuskan bahwa hutan tersebut diperkuat statusnya menjadi hutan adat.
Perlu mendapat perhatian kita, walaupun lembaga adat di suatu desa berjalan sebagaimana mestinya, terkadang kurangnya kerjasama dan koordinasi antara lembaga adat dan lembaga desa bisa berakibat fatal terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan menciderai hukum adat yang berlaku. Kasus di desa ini adalah kades mengeluarkan beberapa SKT pembebasan lahan untuk akses tanpa melibatkan Depati Ninik Mamak dan kades Talang Kemuning, mengeluarkan SKT hutan atas nama perseorangan padahal kades tidak punya kewenangan untuk hal itu, dan tidak adanya itikad-baik untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah.
Permasalahan berikutnya yang muncul adalah klaim atas sahnya proses transaksi tersebut, menurut masyarakat Depati Nyato tidak sah, tetapi pengembang mengaku bahwa prosesnya sah. Upaya adat dari Ninik Mamak dan empat unsur adat lainnya untuk meluruskan dan menjelaskan duduk perkara ditolak oleh para pelaku, hingga akhirnya dibawa ke ranah hukum formal. Beberapa hal yang dipermasalahkan oleh adat adalah: pengembang masuk ke wilayah adat tidak melalui adat dan tidak menghormati aturan adat, pengembang tidak mensosialisasikan kegiatan secara transparan, pembebasan lahan secara sepihak, adanya jual beli lahan di kawasan hutan adat oleh oknum secara sembunyi-sembunyi sehingga menimbulkan gejolak sosial di masyarakat, pengembang kurang kooperatif dalam menyelesaikan masalah.
Melihat kasus di atas, menjadi pembelajaran bagi kita semua, walaupun areal kawasan sudah mendapatkan status resmi sebagai kawasan hutan adat, masih banyak tantangan di depan untuk mempertahankannya. Kedua, adanya lembaga adat resmi di masyarakat ternyata bisa saja dilewati dan tidak dianggap oleh pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan kepentingannya. Permasalahan bisa saja datang dari dalam masyarakat atau dari luar. Hal yang perlu diperhatikan dan diperkuat dalam pengelolaan hutan adat adalah adanya kesamaan cita-cita dalam pemahaman dan pengelolaan hutan adat. Tidak adanya kesamaan cita-cita membuat beberapa pihak tidak peduli dengan status kawasan sebagai apa dan di bawah pengelolaan siapa. Dalam hal ini, posisi pemerintah adalah menjadi jembatan dan penengah antara pihak yang bersengketa. Penyelesaian kasus ini akan menjadi cerminan atas masalah serupa yang mungkin timbul kemudian hari di wilayah lain.
Tulisan ini disarikan dari karangan Nopri Hidayat yang berjudul “Mendorong Hutan Adat di Talang Mamak dan Bintang Marak” di dalam buku “Sekelumit Kisah Lapangan: Mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat” yang diterbitkan oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warsi.
Foto oleh Suar Indonesia
Ditulis : Ridwan F (Staf Dit. Kemitraan Lingkungan)