Suku Punan Batu dan Upaya Pemkab Bulungan

Suku Punan Batu dan Upaya Pemkab Bulungan

Baca selengkapnya di korankaltara.com

Mendapat Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, Terima Anugerah Kalpataru

TANJUNG SELOR, Koran Kaltara – Suku Punan Batu Benau Sajau menjadi salah satu topik perbincangan masyarakat dalam beberapa pekan terakhir. Setelah mendapat pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) dari Pemkab Bulungan pada tahun 2023, Suku Punan Batu Benau Sajau menerima penganugerahan Kalpataru 2024 Kategori Penyelamat Lingkungan, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 5 Juni 2024.

Kalpataru sendiri merupakan penghargaan tertinggi di bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diberikan pemerintah kepada individu maupun kelompok, yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan, dan membina Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dari catatan media, keberadaan masyarakat Punan Batu Benau memang menjadi perhatian khusus Pemkab Bulungan. Pada  6 Juni 2023, Bupati Bulungan, Syarwani, secara langsung menyerahkan Surat Keputusan (SK) Perlindungan Masyarakat Hukum Adat pada masyarakat Punan Batu di Liang Meriam, area Gunung Batu Benau.

“Saya atas nama pribadi dan Pemerintah Kabupaten Bulungan turut berbangga dan mengucapkan selamat atas diraihnya penghargaan Kalpataru tahun 2024. Hal tersebut selaras dengan komitmen Pemda Bulungan menjalankan program pembangunan berkelanjutan,” kata Syarwani kala itu.

Syarwani menyampaikan terimakasih kepada Kementerian LHK atas apresiasinya terhadap MHA Punan Batu Benau Sajau. “Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada seluruh mitra strategis yang selama ini membantu Pemkab Bulungan dalam mendukung keberadaan masyarakat hukum adat Punan Batu Benau Sajau,” jelasnya.

Menurut Bupati, MHA Punan Batu Benau Sajau memang layak mendapat penghargaan tersebut. Mereka selama ini telah terbukti aktif dalam melaksanakan upaya penyelamatan lingkungan, utamanya berdasarkan kearifan lokal.

“MHA Punan Batu Benau Sajau selama ini komitmen menyelamatkan lingkungan. Mereka menjaga kelestarian hutan adat di sepanjang tepian Hulu Sungai Sajau dan hutan di sekeliling Gunung Benau,” ungkapnya.

Syarwani berharap penghargaan ini menjadi penyemangat bagi MHA Punan Batu Benau Sajau dan kelompok MHA lain, utamanya dalam menjaga dan melindungi kelestarian hutan dan lingkungan.

Paska penerimaan Kalpataru, Pemkab Bulungan melangsungkan acara Taklimat Media bertajuk Legalitas Hutan Adat Untuk Perlindungan MHA Punan Batu Benau Sajau di Jakarta (6/6). Dalam kesempatan itu, Bupati Syarwani menyatakan untuk menjamin kelangsungan wilayah jelajah dan ruang hidup mereka.

Pemkab Bulungan disebut sedang memperjuangkan proses peralihan status wilayah jelajah dan ruang hidup MHA Punan Batu Benau Sajau menjadi Hutan Adat.

“Pemkab Bulungan siap mendukung proses dan tahapan selanjutnya bagi warga Punan Batu, agar wilayah mereka yang luasnya mencapai 18 ribu hektar bisa mendapat status sebagai hutan adat,” kata Syarwani.

Selain itu, MHA akan memiliki otoritas dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan dan orisinalitas adat budaya mereka. “Ketika sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan adat, siapapun datang tentu berlaku mengikuti hukum adat yang dipegang,” kata Syarwani (12/6).

Pihak luar nantinya wajib menghormati aturan adat yang ditetapkan Suku Punan Batu Benau Sajau. “Ketika masyarakat menyatakan orang luar yang masuk harus menggunakan pakaian seperti yang mereka pakai, saya (bupati) pun harus menghormati,” ujarnya.

Perwakilan MHA Punan Batu Benau Sajau, Makruf mengatakan, impian dia bersama kelompoknya adalah hutan tempat hidup mereka bisa terjaga dan tetap utuh. Setelah menerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Makruf berharap wilayah jelajah dan ruang hidup mereka bisa ditetapkan sebagai Hutan Adat.

“Penetapan ini penting untuk memastikan luas kawasan hutan tidak semakin berkurang atau tidak beralih fungsi. Saat ini wilayah hidup kami semakin terbatas, semoga kami bisa mendapat jaminan atas hutan yang merupakan tempat tinggal kami,” kata Makruf yang hadir bersama temannya bernama Samsul dalam acara Taklimat Media.

Hadirkan Kemajuan Tanpa Hilangkan Orisinalitas dan Kearifan Lokal

Pemkab Bulungan menggelar Konvoi Piala Penghargaan di seputar Kota Tanjung Selor (12/6). Perayaan yang dimulai dari Kantor Pemkab Bulungan dan berakhir di Hutan Kota Bunda Hayati, mengikutsertakan puluhan warga MHA Punan Batu Benau Sajau. Mereka hadir dengan menggunakan pakaian khas adat mereka.

Saat diwawancarai media, Syarwani mengatakan, Pemkab Bulungan berkomitmen untuk menghadirkan kemajuan tanpa menghilangkan orisinalitas dan kearifan lokal MHA Punan Batu Benau Sajau.

“Perubahan dan kemajuan adalah sebuah keniscayaan, tapi kami berkomitmen agar orisinalitas dan kearifan lokal masyarakat hukum adat dipertahankan,” kata Syarwani (12/6)

“Kami memahami tidak mungkin memaksakan ukuran kebahagiaan kita dengan saudara saudara kita di Masyarakat Hukum Adat Punan Batu Benau Sajau,” jelasnya melanjutkan.

Pemkab akan terus memberikan perlindungan terhadap keberlangsungan MHA Punan Batu Benau Sajau. Utamanya dalam pemenuhan pelayanan sosial dasar, yakni bidang kesehatan dan pendidikan. Namun demikian, konsep pelayanan akan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

“Kami tidak membangun dalam konsep harus mendirikan puskesmas, tidak mesti harus pembangunan seperti itu, tetapi menerjunkan petugas kesehatan secara periodik dan berkala, terjadwal, itu bagian komitmen dalam memberikan pelayanan kesehatan,” paparnya.

Lanjut dia, konsep penyelenggaraan sekolah rimba lebih dimungkinkan daripada kegiatan belajar mengajar secara formal. Pemkab nantinya akan menyusun formulasi agar anak usia sekolah di MHA Punan Batu Benau Sajau, tetap bisa mengakses layanan pendidikan.

“Konsep membangun sekolah rimba menjadi komitmen dalam memenuhi kewajiban pemerintah daerah sesuai apa yang diamanatkan undang undang dasar, tanpa menghilangkan identitas di sana,” bebernya.

Formulasi dan strategi yang tetap diakui menjadi kunci pemenuhan perlindungan bagi MHA Punan Batu Benau Sajau. Pemkab tidak bisa menyamakan lokasi tempat tinggal mereka dengan masyarakat pada umumnya.

“Kita khawatir apabila infrastruktur dan fasilitas dibangun di sana, memang memudahkan akses dari luar untuk mendatangi, tapi itu bisa jadi merusak orisinalitas dan kearifan lokal mereka sebagai MHA Punan Batu Benau Sajau,” ujarnya.

Pemkab Bulungan juga sedang merumuskan pendampingan kegiatan perekonomian dan ketersediaan pangan.

“Kami juga merumuskan strategi pengembangan ekonomi jangka panjang yang bisa diterima dan diterapkan Masyarakat Hukum Adat Punan Batu di sana,” ujar Bupati.

Perkenalkan Geopark Batu Benau kepada Masyarakat

Pemkab Bulungan dengan Komunitas Begimpor Malom dan Yayasan Konvervasi Alam Nusantara (YKAN), menggelar olahraga lari dengan tema Begimpor De Benuanta 2024 Run 5K, bertempat di halaman Kantor Bupati Bulungan, Sabtu (8/6).

Bupati Bulungan Syarwani, S.Pd., M.Si saat melepas peserta Begimpor De Benuanta 2024 Run 5K mengatakan, jika kegiatan tersebut selain upaya mengajak masyarakat Bulungan untuk membudayakan kegiatan olahraga juga merupakan upaya memperkenalkan Geopark Batu Benau.

Menurutnya, Taman Bumi (aspiring Geopark) Batu Benau Sajau adalah kekayaan alam Kabupaten Bulungan, yang tidak ada duanya di dunia.

“Dalam kawasan Geopark Batu Benau ada catatan prasejarah, ada masyarakat adat, dan berlimpahnya keanekaragaman hayati, ini adalah harta Bulungan yang berharga,”ujar bupati.

Pemerintah Kabupaten Bulungan bersama dengan mitra strategisnya dalam sepekan terakhir menggelar serangkaian kegiatan untuk mendukung penetapan kawasan Geopark Batu Benau.

Salah satu prasyarat pengakuan Taman Bumi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) adalah pemahaman masyarakat setempat tentang keberadaan warisan geologi ini.

“Kegiatan Begimpor ini diharapkan memberikan pemahaman dan edukasi pada masyarakat jika kita memiliki kekayaan alam berupa gugusan karst (batu gamping) di Batu Benau Sajau,”jelasnya.

Dipaparkan, Masyarakat Punan Batu sejak April 2023 sudah mendapatkan pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat dari Pemkab Bulungan. Suku Dayak Punan Batu Benau merupakan satu-satunya suku pemburu dan peramu aktif terakhir di Pulau Kalimantan.

Populasi mereka sekitar 106 jiwa hidup secara nomaden (berpindah-pindah) dengan daya jelajah sepanjang 18.497 hektare. Pada bentang alam tersebut, terdapat kawasan karst yang sedang diusulkan menjadi Taman Bumi Batu Benau Sajau.

“Karst ini tak hanya penting untuk tempat tinggal warga Punan Batu, melainkan juga cadangan karbon dan penyimpan air bagi Bulungan,” kata bupati.

Gunung Batu Benau diharapkan menjadi taman bumi pertama di Provinsi Kalimantan Utara. Taman bumi  adalah wilayah geografis tunggal atau gabungan, yang memiliki situs warisan geologi (Geosite) dan bentang alam yang bernilai, terkait aspek Warisan Geologi (Geoheritage), Keragaman Geologi (Geodiversity), Keanekaragaman Hayati (Biodiversity), dan Keragaman Budaya (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengembangan Taman Bumi (Geopark).

Sebagai syarat utama pengusulan geopark, Gubernur Kalimantan Utara telah mengajukan sebelas titik keragaman geologi untuk ditetapkan sebagai Warisan Geologi Nasional oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Selain itu, Gubernur Kaltara  juga telah membentuk tim penyusun dokumen usulan Taman Bumi yang terdiri dari unsur Organisasi Perangkat Daerah (OPD) provinsi dan kabupaten, perguruan tinggi, lembaga non-pemerintah, dan tokoh masyarakat.

Ditambahkan, Manajer Senior Program Terestrial YKAN Niel Makinuddin menyatakan Taman Bumi Batu Benau adalah aset, warisan, kekayaan, dan berkah untuk warga Bumi Benuanta.

“Kini tinggal, masyarakat Bulungan dan masyarakat Kaltara, untuk terus menggaungkan dan kemudian mengelola taman bumi ini, “ujar Niel Makinuddin.

Empat Usulan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Berproses

Pemerintah Kabupaten Bulungan sedang memproses empat usulan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) saat ini. Demikian disampaikan Bupati Bulungan, Syarwani.

Dia menjelaskan, salah satu usulan berasal dari Desa Punan Dulau yang ada di Kecamatan Sekatak. Secara teknis, Pemkab Bulungan sudah memiliki Perda Nomor 12 Tahun 2016 yang mengatur mekanisme pengakuan MHA tersebut.

“Kami sudah memiliki mekanisme sesuai amanat perda tersebut yang harus dipenuhi bersama, salah satunya soal pembentukan panitia,” kata Syarwani (12/6).

Empat usulan pengakuan MHA disebut sudah memenuhi persyaratan secara administratif. Pemkab dipastikan memberi perlakuan sama terhadap seluruh usulan yang masuk.

“Apa yang kita berikan kepada Suku Punan Batu Benau Sajau terkait dengan MHA, itu akan sama persis diterima saudara kita lainnya yang mengusulkan pengakuan dan perlindungan sebagai MHA di Bulungan,” paparnya.

“Selain di Desa Punan Dulau, ada satu usulan lain di Kecamatan Sekatak, kemudian ada dari daerah Sajau,” jelas Syarwani melanjutkan.

Jabatan Ketua Panitia MHA diisi oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bulungan, Risdianto. Selain persoalan administratif kewilayahan, masyarakat yang mengajukan pengakuan MHA, harus bisa menunjukkan komitmen menjaga kelestarian alam dan adat istiadat mereka.

“Poin poin tersebut yang harus komitmen untuk dipenuhi. Ada juga beberapa syarat lainnya yang diatur dalam pedoman teknis, leading sector nya ada di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Bulungan,” pungkasnya. (*)

Reporter: Agung Riyanto

Redaktur: Nurul Mujib Lamunsari

Sumber: korankaltara.com

Masa Depan dan Perjuangan Pengakuan Hutan Adat Dayak Abay Sembuak Malinau Kaltara, Ada Misi Besar?

Penulis: Mohamad Supri | Editor: M Purnomo Susanto

Masa Depan Dan Perjuangan Pengakuan Hutan Adat Dayak Abay Sembuak Malinau Kaltara, Ada Misi Besar?
Masyarakat Adat dan Perkumpulan Pengelola Hutan Adat Dayak Abay Sembuak saat mendatangi kawasan dalam wilayah hutan adatnya di Malinau Utara, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, beberapa hari lalu

TRIBUNKALTARA.COM, MALINAU – Masyarakat Adat Dayak Abay Sembuak merupakan bagian dari rumpun Dayak Abay, satu dari 11 suku adat besar di Malinau Kalimantan Utara. Perkumpulan masyarakat yang tinggal di kecamatan Malinau Utara ini seketika mengemuka pasca menerima penghargaan Kalpataru 2023 kategori penyelamat lingkungan. Ketua Perkumpulan Pengelola Hutan Adat Dayak Abay Sembuak ( PPHDAS), Zakaria saat ditemui TribunKaltara.com di kediamannya, bercerita penghargaan Kalpataru 2023 seumpama bonus bagi kerja keras komunitas masyarakat adat.

Di balik hiruk-pikuk, ketenaran Peraih Kalpataru 2023, ada sebuah misi besar yang masih diperjuangkan dan berlanjut setelah Anugerah yang disematkan langsung Menteri LHK, Siti Nurbaya pada peringatan hari Lingkungan Hidup 2023.

Berawal dari kerja kolektif, misi besar ini berada di pundak Pemuda dan Perkumpulan Pengelola Hutan Adat untuk keberlangsungan hidup anak-cucu masyarakat Abay Sembuak, Pengakuan SK Hutan Adat. Di tingkat kabupaten, Dayak Abay Sembuak telah mengantongi Pengakuan Masyarakat Adat berdasarkan Keputusan Bupati Malinau Nomor: 660.2/K.58/202 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Dayak Abay Sembuak.

Pria berusia 58 tahun sekaligus Sekretaris Adat Desa Dayak Abay Sembuak tersebut telah mengabadikan separuh dari hidupnya memperjuangkan pengakuan Hutan Adat. Perjuangannya masih terus berlanjut, hingga tujuan, legasi yang telah dititipkan kepadanya membuahkan hasil.

Perjuangan Pengakuan Hutan Adat

Meskipun baru dibentuk pada 2018 lalu, namun inisiatif memperjuangkan hutan adat telah dicita-citakan sejak puluhan tahun Silam. Puncaknya pada tahun 2013 silam, saat masa kepemimpinan Ketua Adat DAS Kala itu.

Zakaria bercerita, sebelum Ketua Adat sebelumnya meninggal dunia, dirinya yang hingga saat ini merupakan Sekretaris Adat Dayak Abay Sembuak dititipi pesan untuk mengurus hutan adat, termasuk pengakuan negara terhadap masyarakat dan Hutan Adat yang merupakan masa depan anak-cucu DAS. Bukan tanpa sebab, impian ini berawal dari permasalahan demi permasalahan yang dihadapi masyarakat yang terdampak aktivitas koorporasi, konsesi kayu dan perhutanan kala itu.

Mengurus hutan adat hingga aspek legalitas bukan perkara mudah. Zakaria mengakui dia merupakan orang ke-sekian yang telah berupaya mengurus SK Hutan Adat. Kepengurusan silih berganti menyerah karena ribetnya tetek-bengek pengurusan dokumen. Hingga pada 2021 silam, Masyarakat adat mendapatkan secercah harapan. Kamis, 14 Januari 2021, SK Pengakuan Masyarakat Adat DAS diteken Bupati Malinau kala itu, Yansen Tipa Padan.

“Tahun 2021, kami mendapatkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dari Bupati. Selanjutnya, kami telah mengirimkan berkas ke Kementerian LHK untuk dimohonkan Penetapan SK Hutan Adat,” katanya. Saat ini, Pengelola Hutan Adat DAS didampingi Organisasi pemberdayaan nonpemerintah, LP3M, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang konsen memperjuangkan hak-hak masyarakat adat minor di Malinau Kalimantan Utara.

Filosofi dan Relasi Masyarakat Adat dengan Alam dan Leluhur “Batang fasa nalam timug, dumuli semungguli”. Kalimat ini merupakan peribahasa, petuah sekaligus filosofi yang menjadi pegangan sekaligus prinsip hidup bagi masyarakat adat Abay Sembuak. Secara harfiah Zakaria menjelaskan, peribahasa tersebut kurang lebih berarti, “Batang kayu lapuk yang tenggelam di dasar air/sungai suatu saat dapat bertunas kembali.”

Petuah tersebut punya makna yang mendalam. Secara umum, Masyarakat Dayak Abay Sembuak dididik agar tidak menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat mata dan indera tubuh. Dilarang memandang rendah orang lain hanya karena tidak berpendidikan, berpakaian lusuh dan sejenisnya. Ini sejalan dengan model hidup masyarakatnya yang memiliki keyakinan dan ikatan spiritual yang kuat kepada leluhur, hutan dan alam.

Hubungan antara masyarakat. dengan alam dapat dilihat pada acara-acara adat, upacara dan ritual besar. Tradisi sakral dalam upacara adat seperti pernak-pernik, sajian, altar dan medium “Pemanggilan leluhur” semuanya berasal dari alam, diperoleh dari hutan adat. “Hukum adat mengatur prilaku dan kehidupan kami bermasyarakat,” jelas Zakaria.

Penduduk dan masyarakat adat tunduk dan diatur berdasarkan pranata sosial. Hukum adat mengatur hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, aturan adat melarang petaninatau peladang menggeser batas lahan. Adapula norma saat musim buah yang melarang warga mengambil buah. Boleh mengambil dengan syarat buah telah jatuh ke tanah. Pamali memanjat dan dengan sengaja menjatuhkan buah dari tanaman yang bukan haknya.

Pendamping PPHA DAS, Ketua Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Suku Dayak di Malinau (LP3M), Boro Suban Nikolaus menjelaskan, kearifan lokal dan kebudayaan suku adat saat ini telah berkembang sesuai kebutuhan zaman.

“Salah satunya diatur melalui Peraturan Desa. Ada larangan mengeksploitasi hasil hutan secara berlebihan. Artinya hukum adat tetap hidup dan bertahan, bahkan menjadi hukum positif yang wajib ditaati siapapun,” ungkapnya. Dapat dicermati melalui penerapan semangat hukum adat yang diterapkan ke dalam hukum positif, diantaranya Peraturan Desa dan sejenisnya.

Niko Boro sapaan akrabnya menyampaikan masyarakat adat sadar akan pentingnya legalitas. Dari 5 skema perhutanan sosial, SK Hukum Adat merupakan pilihan terbaik. Sebagai legalitas sekaligus bentuk pengakuan kedaulatan wilayah adat yang jauh telah ada sebelum terbentuknya struktur pemerintahan.

Sumber: kaltara.tribunnews.com

Perkumpulan Pengelola Hutan Adat- Dayak Abay Sembuak- Malinau Kaltara

Perkumpulan Pengelola Hutan Adat Dayak Abay Sembuak (PPHA-DAS) didirikan pada tahun 2018 dikelola delapan orang pengurus yang diketuai Zakaria. Anggota PPHA-DAS adalah seluruh masyarakat adat Sembuak.  Pembentukan PPHA-DAS bertujuan untuk menyelamatkan ekosistem, khususnya daerah aliran Sungai Sembuak dan hutan tersisa di wilayah adat Dayak Abay Sembuak. Dengan melakukan pengawasan terhadap perusakan hutan, rehabilitasi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu secara lestari untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Dayak Abay di Malinau.

Lokasi Hutan  Dayak Abay Sembuak  berjarak  6 km dari pusat kota Malinau kerap menjadi incaran perusahaan  untuk dikonversi. Masyarakat telah menolak setidaknya empat perusahaan HPH dan HTI yang mengantongi izin konsesi. Tingginya ancaman konversi lahan oleh privat memotivasi masyarakat adat DAS  melalui PPHA-DAS untuk melindungi wilayah adatnya berupa bentangan tanah, air, sungai, danau, hutan dan ekosistem agar dimanfaatkan bersama selaras dengan tradisi dan  kearifan lokal.

Keanekaragaman hayati hutan adat Dayak Sembuak seluas 64.203 ha memiliki kemiripan dengan Taman Nasional Kelian Mentarang. Dari identifikasi, setidaknya hutan adat Abay Sembuak memiliki tujuh jenis tanaman penyedap rasa, 17 tanaman obat, empat  jenis kayu untuk penyembuhan, 42 pohon buah, sembilan jenis rambutan, tujuh jenis mangga, delapan jenis durian, 10 jenis padi ladang, delapan jenis padi ketan. Ikan Sungai Sembuak ada 65 jenis, 26 jenis burung, 51 hewan melata dan ampibi serta 40 jenis fauna lainnya, termasuk 15 diantaranya fauna dilindungi.

Secara swadaya, pengelolaan wilayah adat DAS selalu melibatkan pemuda adat.  Merujuk pada peraturan adat, mereka aktif melakukan penyelamatan dan pengamanan wilayah adat dengan tiga pos jaga, pembuatan zonasi kawasan  meliputi Tanah Femagunan (Areal pemekaran pemukiman), Tana Umo ( Tanah perladangan), Tana Malayang (Tanah persawahan), Tana Kabayagan (Hutan untuk kehidupan/mata pencaharian), Tana Sunnu  (Hutan untuk destinasi wisata) dan Tana Togomon (Tanah Terlarang/Keramat). Warga  aktif mengkonservasi flora, menerapkan larangan pemakaian  racun ikan, pengambilan kayu hutan, perburuan satwa dan penerapan sanksi adat bagi pelanggar.

Dengan upaya yang dilakukan, aktifitas penebangan, perburuan dan pengambilan ikan dengan bom berkurang. Sehingga hutan adat tetap lestari. Penghargaan Kalpataru sebagai penguat  semangat  untuk menjaga wilayah. Bagi mereka, hutan adat adalah jantung dan nadi kehidupan. Keberlanjutan hutan adat harus terjaga untuk generasi selanjutnya, karena jika hutan hilang maka masyarakat adat Dayak Abay pun terancam hilang.

Penulis: Puji-Kehati, Tenaga Teknis Kalpataru
Editor: Nurhayati