Suku Punan Batu dan Upaya Pemkab Bulungan

Suku Punan Batu dan Upaya Pemkab Bulungan

Baca selengkapnya di korankaltara.com

Mendapat Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, Terima Anugerah Kalpataru

TANJUNG SELOR, Koran Kaltara – Suku Punan Batu Benau Sajau menjadi salah satu topik perbincangan masyarakat dalam beberapa pekan terakhir. Setelah mendapat pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) dari Pemkab Bulungan pada tahun 2023, Suku Punan Batu Benau Sajau menerima penganugerahan Kalpataru 2024 Kategori Penyelamat Lingkungan, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 5 Juni 2024.

Kalpataru sendiri merupakan penghargaan tertinggi di bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diberikan pemerintah kepada individu maupun kelompok, yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan, dan membina Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dari catatan media, keberadaan masyarakat Punan Batu Benau memang menjadi perhatian khusus Pemkab Bulungan. Pada  6 Juni 2023, Bupati Bulungan, Syarwani, secara langsung menyerahkan Surat Keputusan (SK) Perlindungan Masyarakat Hukum Adat pada masyarakat Punan Batu di Liang Meriam, area Gunung Batu Benau.

“Saya atas nama pribadi dan Pemerintah Kabupaten Bulungan turut berbangga dan mengucapkan selamat atas diraihnya penghargaan Kalpataru tahun 2024. Hal tersebut selaras dengan komitmen Pemda Bulungan menjalankan program pembangunan berkelanjutan,” kata Syarwani kala itu.

Syarwani menyampaikan terimakasih kepada Kementerian LHK atas apresiasinya terhadap MHA Punan Batu Benau Sajau. “Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada seluruh mitra strategis yang selama ini membantu Pemkab Bulungan dalam mendukung keberadaan masyarakat hukum adat Punan Batu Benau Sajau,” jelasnya.

Menurut Bupati, MHA Punan Batu Benau Sajau memang layak mendapat penghargaan tersebut. Mereka selama ini telah terbukti aktif dalam melaksanakan upaya penyelamatan lingkungan, utamanya berdasarkan kearifan lokal.

“MHA Punan Batu Benau Sajau selama ini komitmen menyelamatkan lingkungan. Mereka menjaga kelestarian hutan adat di sepanjang tepian Hulu Sungai Sajau dan hutan di sekeliling Gunung Benau,” ungkapnya.

Syarwani berharap penghargaan ini menjadi penyemangat bagi MHA Punan Batu Benau Sajau dan kelompok MHA lain, utamanya dalam menjaga dan melindungi kelestarian hutan dan lingkungan.

Paska penerimaan Kalpataru, Pemkab Bulungan melangsungkan acara Taklimat Media bertajuk Legalitas Hutan Adat Untuk Perlindungan MHA Punan Batu Benau Sajau di Jakarta (6/6). Dalam kesempatan itu, Bupati Syarwani menyatakan untuk menjamin kelangsungan wilayah jelajah dan ruang hidup mereka.

Pemkab Bulungan disebut sedang memperjuangkan proses peralihan status wilayah jelajah dan ruang hidup MHA Punan Batu Benau Sajau menjadi Hutan Adat.

“Pemkab Bulungan siap mendukung proses dan tahapan selanjutnya bagi warga Punan Batu, agar wilayah mereka yang luasnya mencapai 18 ribu hektar bisa mendapat status sebagai hutan adat,” kata Syarwani.

Selain itu, MHA akan memiliki otoritas dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan dan orisinalitas adat budaya mereka. “Ketika sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan adat, siapapun datang tentu berlaku mengikuti hukum adat yang dipegang,” kata Syarwani (12/6).

Pihak luar nantinya wajib menghormati aturan adat yang ditetapkan Suku Punan Batu Benau Sajau. “Ketika masyarakat menyatakan orang luar yang masuk harus menggunakan pakaian seperti yang mereka pakai, saya (bupati) pun harus menghormati,” ujarnya.

Perwakilan MHA Punan Batu Benau Sajau, Makruf mengatakan, impian dia bersama kelompoknya adalah hutan tempat hidup mereka bisa terjaga dan tetap utuh. Setelah menerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Makruf berharap wilayah jelajah dan ruang hidup mereka bisa ditetapkan sebagai Hutan Adat.

“Penetapan ini penting untuk memastikan luas kawasan hutan tidak semakin berkurang atau tidak beralih fungsi. Saat ini wilayah hidup kami semakin terbatas, semoga kami bisa mendapat jaminan atas hutan yang merupakan tempat tinggal kami,” kata Makruf yang hadir bersama temannya bernama Samsul dalam acara Taklimat Media.

Hadirkan Kemajuan Tanpa Hilangkan Orisinalitas dan Kearifan Lokal

Pemkab Bulungan menggelar Konvoi Piala Penghargaan di seputar Kota Tanjung Selor (12/6). Perayaan yang dimulai dari Kantor Pemkab Bulungan dan berakhir di Hutan Kota Bunda Hayati, mengikutsertakan puluhan warga MHA Punan Batu Benau Sajau. Mereka hadir dengan menggunakan pakaian khas adat mereka.

Saat diwawancarai media, Syarwani mengatakan, Pemkab Bulungan berkomitmen untuk menghadirkan kemajuan tanpa menghilangkan orisinalitas dan kearifan lokal MHA Punan Batu Benau Sajau.

“Perubahan dan kemajuan adalah sebuah keniscayaan, tapi kami berkomitmen agar orisinalitas dan kearifan lokal masyarakat hukum adat dipertahankan,” kata Syarwani (12/6)

“Kami memahami tidak mungkin memaksakan ukuran kebahagiaan kita dengan saudara saudara kita di Masyarakat Hukum Adat Punan Batu Benau Sajau,” jelasnya melanjutkan.

Pemkab akan terus memberikan perlindungan terhadap keberlangsungan MHA Punan Batu Benau Sajau. Utamanya dalam pemenuhan pelayanan sosial dasar, yakni bidang kesehatan dan pendidikan. Namun demikian, konsep pelayanan akan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

“Kami tidak membangun dalam konsep harus mendirikan puskesmas, tidak mesti harus pembangunan seperti itu, tetapi menerjunkan petugas kesehatan secara periodik dan berkala, terjadwal, itu bagian komitmen dalam memberikan pelayanan kesehatan,” paparnya.

Lanjut dia, konsep penyelenggaraan sekolah rimba lebih dimungkinkan daripada kegiatan belajar mengajar secara formal. Pemkab nantinya akan menyusun formulasi agar anak usia sekolah di MHA Punan Batu Benau Sajau, tetap bisa mengakses layanan pendidikan.

“Konsep membangun sekolah rimba menjadi komitmen dalam memenuhi kewajiban pemerintah daerah sesuai apa yang diamanatkan undang undang dasar, tanpa menghilangkan identitas di sana,” bebernya.

Formulasi dan strategi yang tetap diakui menjadi kunci pemenuhan perlindungan bagi MHA Punan Batu Benau Sajau. Pemkab tidak bisa menyamakan lokasi tempat tinggal mereka dengan masyarakat pada umumnya.

“Kita khawatir apabila infrastruktur dan fasilitas dibangun di sana, memang memudahkan akses dari luar untuk mendatangi, tapi itu bisa jadi merusak orisinalitas dan kearifan lokal mereka sebagai MHA Punan Batu Benau Sajau,” ujarnya.

Pemkab Bulungan juga sedang merumuskan pendampingan kegiatan perekonomian dan ketersediaan pangan.

“Kami juga merumuskan strategi pengembangan ekonomi jangka panjang yang bisa diterima dan diterapkan Masyarakat Hukum Adat Punan Batu di sana,” ujar Bupati.

Perkenalkan Geopark Batu Benau kepada Masyarakat

Pemkab Bulungan dengan Komunitas Begimpor Malom dan Yayasan Konvervasi Alam Nusantara (YKAN), menggelar olahraga lari dengan tema Begimpor De Benuanta 2024 Run 5K, bertempat di halaman Kantor Bupati Bulungan, Sabtu (8/6).

Bupati Bulungan Syarwani, S.Pd., M.Si saat melepas peserta Begimpor De Benuanta 2024 Run 5K mengatakan, jika kegiatan tersebut selain upaya mengajak masyarakat Bulungan untuk membudayakan kegiatan olahraga juga merupakan upaya memperkenalkan Geopark Batu Benau.

Menurutnya, Taman Bumi (aspiring Geopark) Batu Benau Sajau adalah kekayaan alam Kabupaten Bulungan, yang tidak ada duanya di dunia.

“Dalam kawasan Geopark Batu Benau ada catatan prasejarah, ada masyarakat adat, dan berlimpahnya keanekaragaman hayati, ini adalah harta Bulungan yang berharga,”ujar bupati.

Pemerintah Kabupaten Bulungan bersama dengan mitra strategisnya dalam sepekan terakhir menggelar serangkaian kegiatan untuk mendukung penetapan kawasan Geopark Batu Benau.

Salah satu prasyarat pengakuan Taman Bumi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) adalah pemahaman masyarakat setempat tentang keberadaan warisan geologi ini.

“Kegiatan Begimpor ini diharapkan memberikan pemahaman dan edukasi pada masyarakat jika kita memiliki kekayaan alam berupa gugusan karst (batu gamping) di Batu Benau Sajau,”jelasnya.

Dipaparkan, Masyarakat Punan Batu sejak April 2023 sudah mendapatkan pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat dari Pemkab Bulungan. Suku Dayak Punan Batu Benau merupakan satu-satunya suku pemburu dan peramu aktif terakhir di Pulau Kalimantan.

Populasi mereka sekitar 106 jiwa hidup secara nomaden (berpindah-pindah) dengan daya jelajah sepanjang 18.497 hektare. Pada bentang alam tersebut, terdapat kawasan karst yang sedang diusulkan menjadi Taman Bumi Batu Benau Sajau.

“Karst ini tak hanya penting untuk tempat tinggal warga Punan Batu, melainkan juga cadangan karbon dan penyimpan air bagi Bulungan,” kata bupati.

Gunung Batu Benau diharapkan menjadi taman bumi pertama di Provinsi Kalimantan Utara. Taman bumi  adalah wilayah geografis tunggal atau gabungan, yang memiliki situs warisan geologi (Geosite) dan bentang alam yang bernilai, terkait aspek Warisan Geologi (Geoheritage), Keragaman Geologi (Geodiversity), Keanekaragaman Hayati (Biodiversity), dan Keragaman Budaya (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengembangan Taman Bumi (Geopark).

Sebagai syarat utama pengusulan geopark, Gubernur Kalimantan Utara telah mengajukan sebelas titik keragaman geologi untuk ditetapkan sebagai Warisan Geologi Nasional oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Selain itu, Gubernur Kaltara  juga telah membentuk tim penyusun dokumen usulan Taman Bumi yang terdiri dari unsur Organisasi Perangkat Daerah (OPD) provinsi dan kabupaten, perguruan tinggi, lembaga non-pemerintah, dan tokoh masyarakat.

Ditambahkan, Manajer Senior Program Terestrial YKAN Niel Makinuddin menyatakan Taman Bumi Batu Benau adalah aset, warisan, kekayaan, dan berkah untuk warga Bumi Benuanta.

“Kini tinggal, masyarakat Bulungan dan masyarakat Kaltara, untuk terus menggaungkan dan kemudian mengelola taman bumi ini, “ujar Niel Makinuddin.

Empat Usulan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Berproses

Pemerintah Kabupaten Bulungan sedang memproses empat usulan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) saat ini. Demikian disampaikan Bupati Bulungan, Syarwani.

Dia menjelaskan, salah satu usulan berasal dari Desa Punan Dulau yang ada di Kecamatan Sekatak. Secara teknis, Pemkab Bulungan sudah memiliki Perda Nomor 12 Tahun 2016 yang mengatur mekanisme pengakuan MHA tersebut.

“Kami sudah memiliki mekanisme sesuai amanat perda tersebut yang harus dipenuhi bersama, salah satunya soal pembentukan panitia,” kata Syarwani (12/6).

Empat usulan pengakuan MHA disebut sudah memenuhi persyaratan secara administratif. Pemkab dipastikan memberi perlakuan sama terhadap seluruh usulan yang masuk.

“Apa yang kita berikan kepada Suku Punan Batu Benau Sajau terkait dengan MHA, itu akan sama persis diterima saudara kita lainnya yang mengusulkan pengakuan dan perlindungan sebagai MHA di Bulungan,” paparnya.

“Selain di Desa Punan Dulau, ada satu usulan lain di Kecamatan Sekatak, kemudian ada dari daerah Sajau,” jelas Syarwani melanjutkan.

Jabatan Ketua Panitia MHA diisi oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bulungan, Risdianto. Selain persoalan administratif kewilayahan, masyarakat yang mengajukan pengakuan MHA, harus bisa menunjukkan komitmen menjaga kelestarian alam dan adat istiadat mereka.

“Poin poin tersebut yang harus komitmen untuk dipenuhi. Ada juga beberapa syarat lainnya yang diatur dalam pedoman teknis, leading sector nya ada di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Bulungan,” pungkasnya. (*)

Reporter: Agung Riyanto

Redaktur: Nurul Mujib Lamunsari

Sumber: korankaltara.com

Idi Bantara, Kisah Diplomasi Avokad di Gunung Balak

Oleh VINA OKTAVIA
Baca Selengkapnya di kompas.id

Idi Bantara (57) lega, kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak, Lampung, kini mulai rimbun dengan pohon avokad. Tanaman itu juga menjadi jalan kesejahteraan bagi petani. Perjuangan Idi mengajak masyarakat bergerak melestarikan alam berbuah penghargaan Kalpataru.

Idi Bantara

Petani di kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak kini lebih sejahtera. Mereka juga mulai mempunyai kesadaran untuk merimbunkan kembali kawasan hutan dengan berbagai jenis tanaman berkayu.

Geliat konservasi itu tampak kontras jika dibandingkan dengan kondisi sebelum tahun 2020. Kala itu, petani menolak keras program Perhutanan Sosial yang ditawarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. Petani malah acap kali menuntut pelepasan status kawasan hutan lindung Gunung Balak.

Sebagian besar petani menanam jagung dan tanaman hortikultura lainnya. Mereka juga mendirikan permukiman. Berbagai fasilitas pendidikan dan kantor pemerintahan desa juga berdiri di sana. Area yang berstatus hutan lindung itu tidak lagi berbentuk hutan.

Melihat persoalan tersebut, Idi mencoba menganalisis penyebabnya. Rentetan konflik di kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak membuat masyarakat antipati dengan petugas kehutanan.

Menilik sejarahnya, pembukaan kawasan hutan Gunung Balak oleh masyarakat sudah terjadi sejak tahun 1963. Meski berstatus hutan lindung, sudah banyak desa definitif di dalam kawasan hutan.

Pada tahun 1980, pemerintah mencanangkan program reboisasi besar-besaran dan meminta masyarakat keluar dari hutan lewat program transmigrasi lokal. Namun, beberapa tahun kemudian, pembukaan lahan oleh masyarakat pendatang kembali terjadi.

Pembukaan lahan yang masif selama puluhan tahun itu menimbulkan konflik, baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antarmasyarakat penggarap lahan. Hal itulah yang membuat petani setempat selalu menolak kedatangan petugas kehutanan.

Karena itulah, saat pertama kali masuk ke Gunung Balak, Idi tidak mengaku sebagai Kepala Balai Pengelolaan (BP) Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Seputih Way Sekampung. Idi berpura-pura sebagai warga biasa yang hendak membeli tanaman jagung.

Dari situ, ia kemudian mencari kenalan petani setempat. Ia sering datang ke sana untuk sekadar ngopi bareng petani sembari membahas tentang tanaman dan masa depan kawasan hutan seluas 22.072,19 hektar tersebut.

Seorang petani menunjukkan buah avokad hasil panen dari dalam kawasan hutan KPH Gunung Balak, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, saat acara festival wisata hutan di Bandar Lampung, Senin (3/7/2023).

uatu hari, ia dikenalkan dengan petani bernama Anto Abdul Mutholib (kini almarhum). Anto mempunyai pohon avokad yang tumbuh di dekat rumahnya di kawasan Register 38.

Pohon avokad itu ternyata sudah berusia sekitar 40 tahun. Pohonnya tinggi besar dan berbuah lebat. Dari cerita pemiliknya, avokad itu pernah menghasilkan 1 ton buah dalam setahun. Pohonnya juga bisa tumbuh di berbagai ketinggian, mulai di wilayah dengan ketinggian 10 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga 1.300 mdpl.

Karakter buah avokadnya juga istimewa. Buahnya besar, daging buahnya berwarna kuning, rasanya legit, lumer, dan tidak memiliki garis-garis hitam pada daging buah.

”Avokad ini anugerah yang luar biasa untuk Lampung. Saat itu saya tawarkan kepada petani untuk mengembangkan tanaman avokad di kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak,” kata Idi saat ditemui di Bandar Lampung, Kamis (30/5/2024).

Diplomasi avokad

Setelah mendapat kepercayaan dari para petani, Idi baru membuka identitasnya sebagai Kepala BP DAS Way Seputih Way Sekampung. Ia kemudian mengajak sembilan petani untuk membuat kebun percontohan avokad di lahan seluas 15 hektar. Biaya penanaman avokad itu ditanggung BP DAS Way Seputih Way Sekampung.

Satu tahun berjalan, pohon avokad yang ditanam oleh para petani binaan Idi sudah berbuah. Produksi avokad yang berusia lebih dari 3 tahun sudah mencapai 100-200 kilogram per batang per tahun. Bahkan, saat ini banyak petani yang menanam pohon avokad dengan biaya mandiri.

”Melihat kesuksesan panen avokad, banyak petani hutan yang akhirnya mau belajar membuat bibit dan menanam alpukat secara swadaya,” katanya.

Hingga saat ini, tanaman avokad yang ditanam lewat program rehabilitasi hutan dan lahan di Register 38 Gunung Balak seluas 997 hektar. Setidaknya sudah ada 393.800 batang pohon avokad yang ditanam lewat bantuan pemerintah.

Tak hanya itu, luas lahan yang sudah ditanami avokad secara swadaya oleh masyarakat mencapai 1.000 hektar. Luas lahan yang ditanami avokad masih akan terus bertambah setiap tahun.

Hasil stek bibit buah tanaman avokad jenis pluwang di Desa Sokanandi, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Rabu (29/1/2020). Avokad jenis pluwang saat ini banyak dikembangkan karena buahnya berukuran besar dan harga jual tinggi.

Saat ini, alpukat lokal Lampung itu telah dipatenkan dengan nama Avokad Ratu Puan. Ratu Puan adalah singkatan dari rangkaian tugas program unggulan agroforestri nasional.

Pengembangan tanaman avokad oleh petani di kawasan Register 38 Gunung Balak yang dirintis Idi itu pun menjadi solusi konflik di Register 38 Gunung Balak. Dinas Kehutanan Lampung akhirnya dapat mendorong masyarakat bermitra lewat skema perhutanan sosial.

Sejak saat itu, petani mengelola kawasan hutan dengan menerapkan sistem agroforestri atau pengelolaan lahan yang memadukan tanaman kayu dan tanaman pertanian. Selain untuk menjaga ekologi dan mengatasi masalah alih fungsi lahan, sistem ini juga untuk mendukung ketahanan pangan.

Jenis pohon yang bisa ditanam antara lain avokad, durian, petai, karet, dan kakao. Petani juga masih diizinkan menanam cabai, rempah, dan tanaman hortikultura sebagai tanaman sela.

Hingga tahun 2024, ada lima gabungan kelompok tani yang mendapat izin mengelola perhutanan sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Luas lahan yang sudah dimitrakan sekitar 3.437 hektar dengan jumlah petani sebanyak 1.811 keluarga.

Kesuksesan pengembangan avokad di Register 38 Gunung Balak juga membuat kawasan itu menjadi daerah percontohan nasional dan internasional. Tak terhitung sudah berapa banyak tamu dari sejumlah provinsi di Indonesia yang melakukan studi banding ke sana. Selain itu, ada pula tamu dari sejumlah negara di Asia tertarik melihat kesuksesan pengembangan avokad di Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak.

Sebagai Kepala BP DAS Way Seputih Way Sekampung, Idi juga mendorong program penanaman satu juta pohon setiap tahun di dalam kawasan hutan. Upaya itu dilakukan dengan memberikan bibit gratis kepada petani hutan di Lampung.

Kompos blok

Selain membantu menghijaukan kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak, Idi juga berinovasi membuat kompos blok dari kotoran gajah dan sapi. Inovasi itu muncul saat ia mendapat curhatan dari pengelola Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, beberapa tahun silam.

Menurut Idi, kala itu, limbah kotoran gajah sering kali menumpuk dan belum dimanfaatkan dengan baik. Selain menimbulkan bau tidak sedap, tumpukan dari kotoran satwa dilindungi itu juga mengganggu kebersihan lingkungan sekitarnya dan berpotensi menimbulkan penyakit.

Dari situ, Idi berpikir untuk memanfaatkan kotoran gajah menjadi kompos. Namun, berbeda dari kompos pada umumnya, ia mengolah kotoran gajah itu dan mencetaknya menyerupai balok dengan lubang pada bagian tengahnya. Kompos blok itu dapat dimanfaatkan sebagai media tanam alami sekaligus pupuk yang baik untuk tanaman.

Ia membimbing petani di sekitar kawasan hutan untuk membuat kompos blok. Selain kotoran gajah, kompos blok itu juga dapat dibuat dari kotoran sapi yang banyak terdapat di Lampung.

Baca juga: Munajat, Percik Cinta bagi Anak Terdampak Terorisme

Idi pertama kali bertugas di Lampung sebagai Kepala Seksi Kelembagaan BP DAS Way Seputih Way Sekampung pada tahun 2012. Ia sempat pindah tugas ke Bangka Belitung selama sekitar dua tahun sebelum akhirnya kembali bertugas di Lampung pada tahun 2019.

Selama ini, Idi sering diundang sebagai pembicara di berbagai kegiatan. Kegigihannya mendampingi petani untuk melestarikan alam berbuah penghargaan Kalpataru untuk kategori pengabdi lingkungan. Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Jakarta, pada 5 Mei 2024. Selain Idi, ada sembilan orang lain yang juga mendapat penghargaan atas dedikasi mereka terhadap pelestarian lingkungan hidup.

Setelah pensiun, Idi berencana pulang ke Solo dan melanjutkan proyek mandiri pengembangan kebun genetik. Selama puluhan tahun menjadi petugas kehutanan, ia telah banyak bertemu dengan petani hutan. Dari mereka, Idi menemukan sejumlah bibit unggul untuk berbagai jenis tanaman, mulai dari avokad, durian, hingga padi.

Menjelang purnatugas, Idi berharap kondisi hutan di Lampung semakin baik di masa depan. Menurut dia, tantangan pemulihan ekosistem alam saat ini tidak hanya di dalam kawasan hutan. Alih fungsi lahan yang masif di luar kawasan hutan juga membuat alam semakin kritis.

Namun, ia meyakini, kelestarian alam akan berbanding lurus dengan kesejahteraan yang akan dirasakan manusia. Jika ingin hidup sejahtera, setiap manusia punya kewajiban menjaga kelestarian alam dengan cara paling sederhana. Menanam pohon dan merawatnya.

Editor: DWI AS SETIANINGSIH