Kelahiran Perpres, Percepat Lari Perhutanan Sosial

Perhutanan Sosial sebagai salah satu program Reforma Agraria yang Presiden
Joko Widodo canangkan sebentar lagi akan berlari kencang. Dengan terbitnya
Peraturan Presiden tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan
Perhutanan Sosial membuat implementasi program ini akan semakin lancar
dan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat di sekitar
hutan

Dalam lima tahun berjalan implementasi Program Perhutanan Sosial,  masih  dirasakan belum optimal. Dari hasil evaluasi yang dilakukan di 32 provinsi ada perlambatan implementasi, baik dilihat dari indikator sosial, ekologi dan ekonomi.

Terbitnya Perpres diharapkan akan  ada percepatan distribusi akses perhutanan sosial. Diharapkan target 12,7 juta ha dapat tercapai, tenaga pendamping perhutanan sosial sejumlah 25.000 orang dan peningkatan kualitas kelompok usaha perhutanan sosial.

Dalam Perpres ini  memuat perencanaan jangka menengah hingga tahun 2030 yang menjadi acuan para pihak dalam berkoordinasi, berkolaborasi dalam mencapai tujuan nasional melalui berbagi  peran, sumber daya dan tanggung jawab.

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup  dan  Kehutanan, Bambang Supriyanto mengungkapkan, perhutanan sosial lahir karena melihat 36,7% masyarakat yang tinggal   di     sekitar  hutan   hidup berada di  bawah garis kemiskinan. Bahkan sebelum tahun 2015, terjadi ketidakadilan akses pengelolaan hutan bagi pelaku ekonomi.

Dari 125 juta ha kawasan hutan, sekitar 43 juta telah diberikan hak kelola  kepada  perusahaan  seluas 42,6 juta  ha  (96%). Sementara hak kelola rakyat hanya seluas 400 ribu ha  atau  4%.   Ketimpangan  akses ini  mengakibatkan  akses produksi yang terbatas bagi masyarakat, sehingga banyak klaim yang berbuntut konflik dan berimplikasi hukum.

“Bahkan    kriminalisasi masyarakat penggarap kawasan hutan,”  ujar Bambang  kepada Tabloid  Sinar  Tani  di   Jakarta, beberapa waktu lalu. Karena itu hadirnya  program  Perhutanan Sosial menjadi angin segar bagi masyarakat yang tinggal di  25.863 desa yang ada di sekitar kawasan hutan.

Program Perhutanan Sosial memberikan   tiga   pilar  manfaat dan  fungsi.  Pertama,  pilar  sosial yaitu mampu menyelesaikan persoalan konflik tenurial melalui legalisasi  akses  kelola hutan  oleh masyarakat. Selain itu  memberikan pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah adatnya melalui lima skema   perhutanan   sosial   yakni hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,  kemitraan kehutanan dan hutan adat.

Kedua,     lanjutnya,     pilar ekonomi  yaitu  sebagai  solusi masalah  ekonomi.  Perhutanan sosial memberikan kesempatan penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan melalui usaha hasil hutan. “Perhutanan sosial akan menumbuhkan  sentra ekonomi lokal dan daerah,” kata Bambang.

Ketiga, pilar ekologi. Menurut Bambang, pilar ini  mempunyai manfaat   dan   fungsinya   sangat vital.  Secara   ekologi   perhutanan  sosial    akan     memulihkan masalah lingkungan dengan mengurangi kebakaran hutan, meningkatkan  tutupan  lahan, serta mengembalikan  kualitas lingkungan dan kelestarian hutan dengan partisipasi masyarakat.

Dengan target distribusi akses sebesar  12,7 juta ha, proporsi akses  kelola rakyat nantinya menjadi sebesar 30%. Harapannya ketimpangan akses dapat diselesaikan dan dengan proporsi yang cukup 1-2 ha/KK di  Jawa (budaya bertani) dan 4-5 ha/KK di luar Jawa (budaya pekebun).

Sampai    kini   capaian   akses kelola perhutanan sosial melalui pemberian SK Persetujuan Perhutanan  Sosial  sudah  seluas 4.929.380,01 ha dengan 7.494 unit SK dan  penerima manfaat 1.080.476 KK. SK tersebut telah ditindaklanjuti pengelolaannya dengan      pembentukan 9.219 Kelompok  Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).

Dampak Perhutanan Sosial

Bambang berharap, perhutanan sosial memberikan  dampak  nyata kepada masyarakat. Pertama, dampak jangka pendek yaitu perbaikan dan adaptasi sistem, tersedianya indikasi wilayah kelola dan perbaikan proses bisnis hutan sosial.

Selain   itu,     perbaikan    modal sosial, perbaikan akses masyarakat terhadap  lembaga   keuangan mikro,   pendampingan  dan  akses pasar terhadap produk masyarakat, serta peningkatan kapasitas manajemen masyarakat.

Sedangkan dampak jangka menengah yang akan dirasakan masyarakat  yaitu pengembangan ekonomi domestik, adanya sentra produksi hasil hutan, penurunan konflik tenurial (masyarakat dan perusahaan)   dan   kelestarian hutan. Dampak jangka panjang ialah terbangun pusat ekonomi domestik      dan      pertumbuhan desa sentra produksi hasil hutan berbasis desa yang menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan.

Pasca  persetujuan perhutanan sosial, Bambang  mengatakan, pemerintah terus mendorong masyarakat untuk  memanfaatkan dan mengoptimalkan tata kelola atas areal perhutanan  sosial yang telah diberikan melalui kelola kelembagaan   atau  kelompok, kelola kawasan dan  kelola usaha. Herman/Yul

Sumber. Artikel dari Tabloid Sinar Tani Pertanian Indonesia baru No 3945 Edisi 1 – 7 Juni 2020

KHDPK: Cara Baru Mengelola Hutan Jawa

Halo

Pada 18 Mei 2022, sekitar 4.000 karyawan Perum Perhutani berdemonstrasi ke kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka menolak kebijakan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).

Melalui kebijakan ini pemerintah hendak mengambil alih 1,1 juta hektare areal hutan Jawa, atau 49% dari luas hutan yang selama ini dikelola Perhutani, sejak zaman Belanda. Para karyawan khawatir kebijakan KHDPK akan mempengaruhi mereka. Para karyawan bahkan khawatir kebijakan baru ini mengancam kelestarian hutan Jawa.

Kekhawatiran para karyawan beralasan karena pemerintah belum melakukan sosialisasi KHDPK secara menyeluruh. Isu KHDPK baru sebatas obrol-obrolan, isu, dan bahan omong-omong, terutama setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan SK 287/2022 pada 5 April 2022 tentang luas KHDPK di tiap provinsi.

Di mana lokasi 1,1 juta hektare belum terang benar. Namun, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto dan Direktur SDM Perhutani Deni Ermansyah menegaskan bahwa KHDPK tak akan diikuti oleh pemecatan. Karyawan yang terdampak KHDPK akan disalurkan menjadi pendamping perhutanan sosial—satu skema yang diakomodasi dalam KHDPK.

KHDPK merupakan mandat UU Cipta Kerja dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang diturunkan dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan. Pemerintah beralasan, kebijakan KHDPK merupakan cara memperbaiki tata kelola hutan Jawa sekaligus memperbaiki performa bisnis Perhutani.

Selama ini BUMN kehutanan ini terbebani oleh pelbagai konflik sosial di areal garapan mereka. Tekanan masyarakat kepada hutan Perhutani melahirkan konflik tenurial yang tak mudah diselesaikan. Izin Pengelolaan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) dan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) yang menjadi skema perhutanan sosial di Jawa dianggap belum maksimal memberikan nilai tambah hutan Jawa kepada aspek ekonomi, sosial, dan ekologi.

KHDPK datang dengan tujuan menarik masalah Perhutani menjadi urusan pemerintah pusat. Sehingga, Perhutani akan fokus menggarap bisnis mereka sebagaimana umumnya perusahaan publik yang mendapat mandat memberikan dividen kepada negara. Relevankah tujuan ini? Bagaimana implementasinya? Bagaimana mencegah para penunggang gelap memanfaatkan celah kebijakan ini?

Kami mengulasnya dalam beberapa artikel. Selamat membaca.

Salam lestari,

Siti Sadida Hafsyah,
Redaktur
redaksi@forestdigest.com

artikel diambil dari forestdigest.com

Negeri Hukurila dan Hutumuri, Memiliki Penetapan Hutan Adat Pertama di Indonesia Timur

Baru saja bersama-sama dengan kelompok masyarakat negeri Hukurila dan Hutumuri, selesai mengikuti Pelatihan Hutan Adat yg dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan. Keterlibatan sebagai calon pendamping yang diminta oleh BPSKL Maluku dan Papua mungkin karena pengalaman pendampingan di Pulau Seram khususnya Desa Adm Siatele-Seram Utara.

Bersama masyarakat selama hampir 2,5 tahun dalam proses implementasi program Emas biru – Emas hijau yang digagas Letjen Doni Monardo, memberikan sebuah pelajaran baru tentang bagaimana melihat masalah dan bagaimana mencari jalan keluarnya.

Salah satu masalah adalah masyarakat sering tidak paham fungsi dan penetapan kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah. Ada pemanfaatan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab dan mengesampingkan peran masyarakat yang punya hak ulayat terhadap tanah mereka. Sementara di satu sisi Pemerintah Pusat sudah memberi kemudahan dengan penetapan pemanfaatan hutan.

Menghadiri diskusi dan mencoba menjadi jembatan informasi pusat, daerah dan desa, menghasilkan pembelajaran bagi masyarakat tanpa mengeluarkan biaya banyak. Kementerian LHK menetapkan kawasan hutan sosial seluas 2.800 Ha bagi Desa Adm Siatele. Kebahagian tersendiri bisa membantu kelompok mendapat bantuan untuk pengembangan hutan sosial mereka.

Sudah barang tentu proses ini tidak sekedar membalik telapak tangan. Apalagi untuk kawasan hutan adat. Karena salah satu yang dibutuhkan adalah PERDA dari daerah (yang dibuat para wakil rakyat) atau SK Bupati/walikota bagi negeri-negeri yang mengusulkan. Alhasil negeri seperti Nuane, Sabuai, Kailolo, Haruku belum bisa diproses karena belum ada PERDA atau dukungan SK Bupati.

Kota Ambon sudah ada PERDA dengan demikian, melincinkan jalan sehingga kedua negeri ini telah mengantongi SK Hutan Adat.

 

Elsina Elizabeth Lateheru (Pendamping Hutan Adat, Pegiat Lingkungan dan Kehutanan)

Air Pasang Menunda Musim Tanam Padi Di Kabupaten Kubu Raya

Curah hujan yang tinggi di sepanjang Desember 2020 hingga Januari 2021 menyebabkan sawah – sawah petani di Kecamatan Sui Kakap khususnya Dusun Cendrawasih terendam air, hingga para petani tidak bisa memulai untuk menanam padi.

Pagi ini Selasa 12 Januari 2021, harusnya aku dan mentor lain ada kelas Paradigta di Kecamatan Terentang. Namun karena air pasang besar kami meliburkan kembali kelas tersebut. Dan akhirnya aku merubah agenda untuk melihat tanaman padi yang selesai ditanam seminggu lalu. Kulihat pemandangan air terhampar luas layaknya sungai, merendam tanaman padi milik para petani. Alhamdulillah padiku tidak terlalu terdampak, namun ternyata banyak sekali keong yang mulai memakan daun padi.

Mencari /memunguti keong – keong dengan ukuran besar hingga kecil, agar tidak merusak tanamanku. “Hmmm… bersyukur hari ini tidak jadi kelas mbok Sri, jadi aku bisa melihat keadaanmu dan merawatmu”,kataku dalam hati sembari memunguti keong dan memasukan pada ember.Pematang sawah yang acap air menyebabkan keong dari parit-parit kecil masuk ke sawah, air yang selalu menggenang juga membuat populasi keong bertambah banyak. Penyemprotan juga sudah dilakukan walau tidak maksimal karena curah hujan dan volume air selalu besar.

Dipastikan musim tanam akan mundur lagi 1 bulan, karena bibit padi banyak yang sudah tua dan busuk terendam air. Tak banyak yang bisa kami lakukan, menunggu air surut dan tetap optimis, semoga ada perhatian dan kebijakan pemerintah untuk para petani di tahun 2021 ini. Khususnya pertanian di Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

 

 

Karmani kader PEKKA Kubu Raya

Mendongkrak Wisata Alam Hutan Konak Melalui Photo

Hutan Lindung Konak Register 53 merupakan salah satu hutan lindung yang terletak di Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu. Memiliki luas 11,5 Ha namun kini yang masih bervegetasi hutan sekitar 8 Ha. Hutan Lindung ini mudah diakses karena terletak ditengah Kota Kepahiang sekitar 3 Km dari Pasar Kepahiang menuju kearah Pagar Alam dan berbatasan langsung dengan jalan lintas.

Pohon kemiri banyak tumbuh di hutan Kepahiang. Selama ini kemiri menjadi komuditi bagi masyarakat disekitar hutan sebagai mata pencaharian alternatif.

Memperhatikan tingginya minat masyarakat Kabupaten Kepahiang berwisata, maka upaya-upaya pemanfaatan dan pengelolaan Hutan Lindung Konak sebagai salah satu objek wisata alami yang menarik pelu dikembangkan. Terlebih lagi pada saat ini masyarakat sangat senang melakukan photo selfie dan mengunggahnya di media sosial.

Kegiatan ini berdampak sangat positip khususnya bagi hutan lindung konak, beberapa dampak positip tersebut adalah:
1. Tumbuhnya kesadaran dan kepedulian dikalangan karyawan-karyawati Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah terhadap hutan lindung konak. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan gotong royong rutin pembersihan sampah dan penanaman pohon yang diikuti dengan antusias. 2. Pindahnya TPS sampah yang semula berada didepan gerbang hutan Konak ke samping Puskesmas Kepahiang.
3. Hilangnya anggapan masyarakat sekitar bahwa hutan lindung Konak tidak ada yang memperhatikan.
4. Tumbuhnya wisata mandiri di hutan Konak, hal ini dapat dilihat dari beberapa akun di media sosial yang mengupload photo mereka ketika berada di hutan Konak. Hal ini menyebabkan Hutan Lindung Konak dikenal luas oleh masyarakat tidak hanya masyarakat Kabupaten Kepahiang tetapi Masyarakat Propinsi Bengkulu dan sekitarnya.
Kedepan pengelolaan wisata hutan Konak harus dikelola secara baik dan profesional. Hal ini dimaksudkan selain untuk mendatangkan devisa bagi negara juga untuk menjaga kelestarian hutan Konak. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah:
1. Menyusun master plan pengelolaan hutan Konak
2. Pembangunan sarana dan prasarana wisata
3. Pengayaan jenis dengan aneka puspa terutama puspa langka seperti Raflesia Arnoldi dan Amorphophalus Titanium dan tanaman hias lainnya.
4. Mempromosikan hutan konak ke pihak luar melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik.

Hutan Lindung Konak pada saat ini membutuhkan perhatian dari kita semua, karena saat ini hutan lindung Konak merupakan satu-satunya hutan alami ditengah-tengah kota di Propinsi Bengkulu. Keberadaannya sangat penting tidak hanya sebagai tempat untuk melindungi tanah dari bahaya erosi dan longsor tetapi lebih dari itu juga sebagai regulator dari udara di Kota Kepahiang agar tetap bersih. Disamping itu Propinsi Bengkulu khususnya Kabupaten Kepahiang krisis lokasi wisata alami. Bukan tidak mungkin generasi yang datang tidak pernah melihat pohon-pohon raksasa hutan tropis dan tidak pernah merasakan kesejukan udara didalam hutan. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini penulis mengajak semua pihak untuk peduli akan kelestarian Hutan Lindung Konak ini.

 

Mulyadi (Penyuluh)

Penataan Regulasi Pengelolaan Sampah

Walikota Surabaya dan Walikota TangerangJakarta,25 Juni 2015. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Ir. Siti Nurbaya, MSc menindak lanjuti hasil Rapat Kabinet Terbatas tanggal 23 Juni 2015 dengan melakukan Rapat Teknis Pengelolaan Sampah dengan para Gubernur, Walikota dan Instansi terkait pada hari ini, Kamis 25 Juni 2015 di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Menteri berpesan dengan tegas “Dimasa mendatang pemerintah dan pemerintah daerah harus melakukan kemitraan dengan berbagai pihak dalam pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah merupakan pelaksanaan kegiatan secara fterpadu yang dikelola mulai dari sumber, ke Tempat Penampungan Sementara (TPS), pengangkutan dari TPS ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Pendekatan tersebut harus dapat dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pelibatan aktif Masyarakat. Tidak kalah pentingnya diharapkan peran aktif Produsen (Industri, Distributor dan retailer) dalam melaksanakan pengelolaan sampah produk dan kemasannya secara baik”

Dalam arahannya di Rapat Terbatas Presiden RI menyatakan “Program pengelolaan sampah menjadi program pemerintah yang sangat penting yang harus dilakukan terpadu oleh semua pihak. Pengelolaan sampah harus memiliki manfaat ekonomi dan lingkungan serta harus dapat mengubah perilaku masyarakat.”

Demi mendapatkan terobosan dalam membangun sistem pengelolaan sampah terpadu sebagaimana arahan Presiden, maka para Walikota memberi masukan atas berbagai problem dalam mengelola persampahan termasuk sisi regulasinya.

Walikota Surabaya, Tri Rismaharini berbagi pengalaman “Surabaya melakukan Tender Murni Lelang TPA Bawono yang memakan waktu sangat lama yaitu 4 tahun. Hal ini dilakukan demi menyelanggarakan lelang yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, serta memperoleh izin DPRD sebanyak dua kali. Pemilahan sampah sudah dimulai dari sumbernya di kota Surabaya sehingga sampah yang masuk ke TPA hanya 30%, ini sangat menghemat anggaran pengangkutan sampah dan pengelolaan sampah.”

Hal senada disampaikan oleh Walikota Tangerang, Arief Rachadiono Wismansyah dan Walikota Malang, H. Moch Anton serta para wakil Walikota yang hadir di pertemuan ini dimana semua mengemukakan perlunya prinsip kehati-hatian dalam lelang pengadaan sarana prasarana pengelolaan sampah sehingga memerlukan waktu yang cukup lama. Seluruh peserta rapat juga memahami urgensi perubahan perilaku untuk memilah sampah dari sumbernya.

Berikut poin penting hasil rapat pembahasan sampah hari ini:
1. Perlunya pemerintah Pusat melalui KLHK melakukan sinkronisasi dan penyederhanaan kebijakan dan peraturan terkait penyelenggaraan pengelolaan sampah yang dimitrakan dengan dunia usaha seperti perizinan, kemudahan investasi, proses tender, pengelolaan aset pemerintah dan prosedur kerjasama pemerintah dan swasta.
2. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang membantu Pemda dalam mempermudah proses lelang Tipping Fee penyelenggaraan pengelolaan sampah yang dilakukan dunia usaha.
3. Dalam rangka penggunaan teknologi tinggi untuk pengelolaan sampah oleh Pemda, pemerintah pusat perlu membuat standar teknologi pengelolaan sampah yang meliputi antara lain jenis teknologi, spesifikasi, keunggulan dan kelemahan, serta estimasi nilai investasi dan operasionalnya.
4. Pemerinah Pusat perlu menyusun suatu kebijakan agar pilihan-pilihan teknologi pengelolaan sampah masuk dalam e-catalog LKPP guna memudahkan proses pengadaan di daerah.Jika dimungkinakn pengadaan dan penerapan teknologi pengelolaan sampah tanpa proses tender tetapi melalui penunjukan langsung.
5. Perlu adanya kebijakan yang memadukan semua peraturan untuk pengelolaan sampah secara khusus, ini bisa berupa Perpres sehingga bisa memotong rantai perijinan yang berlapis-lapis dan prosesnya kebih singkat.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya, Ir. Tuti Hendrawati Mintarsih, MPPPM menyatakan “Kami akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan membantu mengatasi masalah tersebut sebagai bagian dari tugas dan fungsi, serta amanah dari peraturan perundang-undangan. Juga mencari terobosan sebagaimana Instruksi Presiden untuk pengelolaan Sampah akan menjadi tindaklanjut selanjutnya.”
Disamping itu, Pemerintah pusat tetap harus mencarikan aplikasi dan solusi teknologi atau alternatif lainnya seperti memperbanyak Bank Sampah, Pusat Daur Ulang Sampah (PDU) dan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan dalam rangka waste to energy. Hasil pertemuan dengan para Walikota ini akan dibahas di tingkat Menteri dalam Rapat Menko Bidang Perekonomian.

Informasi lebih lanjut:
Tuti Hendrawati Mintarsih,
Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK),
Tlp/Fax: 021-85905637, Email: humaslh@gmail.com