Idi Bantara, Kisah Diplomasi Avokad di Gunung Balak

Oleh VINA OKTAVIA
Baca Selengkapnya di kompas.id

Idi Bantara (57) lega, kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak, Lampung, kini mulai rimbun dengan pohon avokad. Tanaman itu juga menjadi jalan kesejahteraan bagi petani. Perjuangan Idi mengajak masyarakat bergerak melestarikan alam berbuah penghargaan Kalpataru.

Idi Bantara

Petani di kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak kini lebih sejahtera. Mereka juga mulai mempunyai kesadaran untuk merimbunkan kembali kawasan hutan dengan berbagai jenis tanaman berkayu.

Geliat konservasi itu tampak kontras jika dibandingkan dengan kondisi sebelum tahun 2020. Kala itu, petani menolak keras program Perhutanan Sosial yang ditawarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. Petani malah acap kali menuntut pelepasan status kawasan hutan lindung Gunung Balak.

Sebagian besar petani menanam jagung dan tanaman hortikultura lainnya. Mereka juga mendirikan permukiman. Berbagai fasilitas pendidikan dan kantor pemerintahan desa juga berdiri di sana. Area yang berstatus hutan lindung itu tidak lagi berbentuk hutan.

Melihat persoalan tersebut, Idi mencoba menganalisis penyebabnya. Rentetan konflik di kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak membuat masyarakat antipati dengan petugas kehutanan.

Menilik sejarahnya, pembukaan kawasan hutan Gunung Balak oleh masyarakat sudah terjadi sejak tahun 1963. Meski berstatus hutan lindung, sudah banyak desa definitif di dalam kawasan hutan.

Pada tahun 1980, pemerintah mencanangkan program reboisasi besar-besaran dan meminta masyarakat keluar dari hutan lewat program transmigrasi lokal. Namun, beberapa tahun kemudian, pembukaan lahan oleh masyarakat pendatang kembali terjadi.

Pembukaan lahan yang masif selama puluhan tahun itu menimbulkan konflik, baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antarmasyarakat penggarap lahan. Hal itulah yang membuat petani setempat selalu menolak kedatangan petugas kehutanan.

Karena itulah, saat pertama kali masuk ke Gunung Balak, Idi tidak mengaku sebagai Kepala Balai Pengelolaan (BP) Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Seputih Way Sekampung. Idi berpura-pura sebagai warga biasa yang hendak membeli tanaman jagung.

Dari situ, ia kemudian mencari kenalan petani setempat. Ia sering datang ke sana untuk sekadar ngopi bareng petani sembari membahas tentang tanaman dan masa depan kawasan hutan seluas 22.072,19 hektar tersebut.

Seorang petani menunjukkan buah avokad hasil panen dari dalam kawasan hutan KPH Gunung Balak, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, saat acara festival wisata hutan di Bandar Lampung, Senin (3/7/2023).

uatu hari, ia dikenalkan dengan petani bernama Anto Abdul Mutholib (kini almarhum). Anto mempunyai pohon avokad yang tumbuh di dekat rumahnya di kawasan Register 38.

Pohon avokad itu ternyata sudah berusia sekitar 40 tahun. Pohonnya tinggi besar dan berbuah lebat. Dari cerita pemiliknya, avokad itu pernah menghasilkan 1 ton buah dalam setahun. Pohonnya juga bisa tumbuh di berbagai ketinggian, mulai di wilayah dengan ketinggian 10 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga 1.300 mdpl.

Karakter buah avokadnya juga istimewa. Buahnya besar, daging buahnya berwarna kuning, rasanya legit, lumer, dan tidak memiliki garis-garis hitam pada daging buah.

”Avokad ini anugerah yang luar biasa untuk Lampung. Saat itu saya tawarkan kepada petani untuk mengembangkan tanaman avokad di kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak,” kata Idi saat ditemui di Bandar Lampung, Kamis (30/5/2024).

Diplomasi avokad

Setelah mendapat kepercayaan dari para petani, Idi baru membuka identitasnya sebagai Kepala BP DAS Way Seputih Way Sekampung. Ia kemudian mengajak sembilan petani untuk membuat kebun percontohan avokad di lahan seluas 15 hektar. Biaya penanaman avokad itu ditanggung BP DAS Way Seputih Way Sekampung.

Satu tahun berjalan, pohon avokad yang ditanam oleh para petani binaan Idi sudah berbuah. Produksi avokad yang berusia lebih dari 3 tahun sudah mencapai 100-200 kilogram per batang per tahun. Bahkan, saat ini banyak petani yang menanam pohon avokad dengan biaya mandiri.

”Melihat kesuksesan panen avokad, banyak petani hutan yang akhirnya mau belajar membuat bibit dan menanam alpukat secara swadaya,” katanya.

Hingga saat ini, tanaman avokad yang ditanam lewat program rehabilitasi hutan dan lahan di Register 38 Gunung Balak seluas 997 hektar. Setidaknya sudah ada 393.800 batang pohon avokad yang ditanam lewat bantuan pemerintah.

Tak hanya itu, luas lahan yang sudah ditanami avokad secara swadaya oleh masyarakat mencapai 1.000 hektar. Luas lahan yang ditanami avokad masih akan terus bertambah setiap tahun.

Hasil stek bibit buah tanaman avokad jenis pluwang di Desa Sokanandi, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Rabu (29/1/2020). Avokad jenis pluwang saat ini banyak dikembangkan karena buahnya berukuran besar dan harga jual tinggi.

Saat ini, alpukat lokal Lampung itu telah dipatenkan dengan nama Avokad Ratu Puan. Ratu Puan adalah singkatan dari rangkaian tugas program unggulan agroforestri nasional.

Pengembangan tanaman avokad oleh petani di kawasan Register 38 Gunung Balak yang dirintis Idi itu pun menjadi solusi konflik di Register 38 Gunung Balak. Dinas Kehutanan Lampung akhirnya dapat mendorong masyarakat bermitra lewat skema perhutanan sosial.

Sejak saat itu, petani mengelola kawasan hutan dengan menerapkan sistem agroforestri atau pengelolaan lahan yang memadukan tanaman kayu dan tanaman pertanian. Selain untuk menjaga ekologi dan mengatasi masalah alih fungsi lahan, sistem ini juga untuk mendukung ketahanan pangan.

Jenis pohon yang bisa ditanam antara lain avokad, durian, petai, karet, dan kakao. Petani juga masih diizinkan menanam cabai, rempah, dan tanaman hortikultura sebagai tanaman sela.

Hingga tahun 2024, ada lima gabungan kelompok tani yang mendapat izin mengelola perhutanan sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Luas lahan yang sudah dimitrakan sekitar 3.437 hektar dengan jumlah petani sebanyak 1.811 keluarga.

Kesuksesan pengembangan avokad di Register 38 Gunung Balak juga membuat kawasan itu menjadi daerah percontohan nasional dan internasional. Tak terhitung sudah berapa banyak tamu dari sejumlah provinsi di Indonesia yang melakukan studi banding ke sana. Selain itu, ada pula tamu dari sejumlah negara di Asia tertarik melihat kesuksesan pengembangan avokad di Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak.

Sebagai Kepala BP DAS Way Seputih Way Sekampung, Idi juga mendorong program penanaman satu juta pohon setiap tahun di dalam kawasan hutan. Upaya itu dilakukan dengan memberikan bibit gratis kepada petani hutan di Lampung.

Kompos blok

Selain membantu menghijaukan kawasan Register 38 Hutan Lindung Gunung Balak, Idi juga berinovasi membuat kompos blok dari kotoran gajah dan sapi. Inovasi itu muncul saat ia mendapat curhatan dari pengelola Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, beberapa tahun silam.

Menurut Idi, kala itu, limbah kotoran gajah sering kali menumpuk dan belum dimanfaatkan dengan baik. Selain menimbulkan bau tidak sedap, tumpukan dari kotoran satwa dilindungi itu juga mengganggu kebersihan lingkungan sekitarnya dan berpotensi menimbulkan penyakit.

Dari situ, Idi berpikir untuk memanfaatkan kotoran gajah menjadi kompos. Namun, berbeda dari kompos pada umumnya, ia mengolah kotoran gajah itu dan mencetaknya menyerupai balok dengan lubang pada bagian tengahnya. Kompos blok itu dapat dimanfaatkan sebagai media tanam alami sekaligus pupuk yang baik untuk tanaman.

Ia membimbing petani di sekitar kawasan hutan untuk membuat kompos blok. Selain kotoran gajah, kompos blok itu juga dapat dibuat dari kotoran sapi yang banyak terdapat di Lampung.

Baca juga: Munajat, Percik Cinta bagi Anak Terdampak Terorisme

Idi pertama kali bertugas di Lampung sebagai Kepala Seksi Kelembagaan BP DAS Way Seputih Way Sekampung pada tahun 2012. Ia sempat pindah tugas ke Bangka Belitung selama sekitar dua tahun sebelum akhirnya kembali bertugas di Lampung pada tahun 2019.

Selama ini, Idi sering diundang sebagai pembicara di berbagai kegiatan. Kegigihannya mendampingi petani untuk melestarikan alam berbuah penghargaan Kalpataru untuk kategori pengabdi lingkungan. Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Jakarta, pada 5 Mei 2024. Selain Idi, ada sembilan orang lain yang juga mendapat penghargaan atas dedikasi mereka terhadap pelestarian lingkungan hidup.

Setelah pensiun, Idi berencana pulang ke Solo dan melanjutkan proyek mandiri pengembangan kebun genetik. Selama puluhan tahun menjadi petugas kehutanan, ia telah banyak bertemu dengan petani hutan. Dari mereka, Idi menemukan sejumlah bibit unggul untuk berbagai jenis tanaman, mulai dari avokad, durian, hingga padi.

Menjelang purnatugas, Idi berharap kondisi hutan di Lampung semakin baik di masa depan. Menurut dia, tantangan pemulihan ekosistem alam saat ini tidak hanya di dalam kawasan hutan. Alih fungsi lahan yang masif di luar kawasan hutan juga membuat alam semakin kritis.

Namun, ia meyakini, kelestarian alam akan berbanding lurus dengan kesejahteraan yang akan dirasakan manusia. Jika ingin hidup sejahtera, setiap manusia punya kewajiban menjaga kelestarian alam dengan cara paling sederhana. Menanam pohon dan merawatnya.

Editor: DWI AS SETIANINGSIH