View this post on Instagram
lingkungan hidup
Hari Hutan Internasional
View this post on Instagram
Kemajuan Aksi Perubahan Iklim Indonesia: Leading by Examples
Nomor: SP.003/HUMAS/PPIP/HMS.3/1/2024
Tantangan dan Komitmen
Saat ini dunia menghadapi tantangan yang berat, bumi menghadapi triple planet challenges yakni perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi. Kenaikan suhu global telah menyebabkan panas ekstrim yang melanda berbagai wilayah termasuk Indonesia. Bahkan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Climate Ambition Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ambisi Perubahan Iklim yang diselenggarakan di Markas Besar PBB di New York pada Bulan September 2023 sebagai bagian dari pertemuan Majelis Umum PBB ke-78 menyatakan bahwa “humanity has opened the gates of hell”, kemanusiaan telah membuka gerbang menuju neraka. Hal ini menunjukan bahwa krisis iklim sudah menjadi masalah yang sangat genting dan perlu menjadi perhatian serius semua negara.
Komitmen Indonesia dalam upaya menjaga kenaikan suhu global sesuai Persetujuan Paris (Paris Agreement) telah dituangkan dalam Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC) yaitu pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan sebesar 43,20% dengan bantuan internasional. Selain itu, Indonesia juga telah menyampaikan visi dan formulasi jangka panjang melalui dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR 2050), termasuk rencana Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat. Untuk mendukung rencana pencapaian NZE 2060 atau lebih cepat, sektor FOLU (Forestry and Other Land Use) dan energi menjadi tulang punggung pengurangan emisi GRK Indonesia. Untuk memastikan kontribusi dari sektor FOLU, maka Indonesia telah menyusun Rencana Operasional FOLU Net-Sink 2030.
Pengurangan Emisi GRK
Keseriusan pemerintah Indonesia dalam penanganan Perubahan iklim dan pencapaian target NDC telah disampaikan oleh Presiden pada pidato pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau COP28 Dubai, Uni Emirat Arab.
Penyampaian terkait keberhasilan tersebut tentunya didukung dengan data dan informasi yang akurat, transparan dan kredibel. Sebagai mana data terkait dengan tingkat pengurangan emisi GRK dapat dilaporkan bahwa dari hasil perhitungan inventarisasi GRK nasional menunjukkan tingkat emisi GRK di tahun 2022 sebesar 1.220 Mton CO2e yang diperoleh dari masing-masing kategori/sektor yakni Energi sebesar 715,95 Mton CO2e, Proses Industri dan Penggunaan Produk, sebesar 59.15 Mton CO2e, Pertanian sebesar 89,20 Mton CO2e, Kehutanan dan Kebakaran Gambut sebesar 221,57 Mton CO2e dan Limbah sebesar 221,57 Mton CO2e. Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2021), total tingkat emisi naik sebesar 6,9 %. namun tingkat emisi tahun 2022 apabila dibandinbgkan dengan BAU pada tahun yang sama menunjukkan pengurangan sebesar 42%.
Demikian juga untuk keberhasilan di sektor lain seperti FOLU (Forestry and Other Land Use). Dengan memperhatikan hasil pemantauan perubahan tutupan hutan dari tahun 2020 dan 2021, dapat dilihat bahwa Angka Deforestasi Netto Indonesia tahun 2021-2022 mengalami penurunan sebesar 8,4 %. Apabila dilihat dari data series setiap periode pengamatan mulai periode tahun 1996-2000, besaran deforestasi dapat mengalami peningkatan atau pengurangan. Hal itu terjadi karena dinamisnya perubahan penutupan lahan akibat aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan sehingga mengakibatkan hilangnya penutupan hutan atau penambahan penutupan hutan karena penanaman.
Sebagai gambaran umum, data deforestasi mulai periode tahun 1996-2000 hingga periode tahun pemantauan 2020-2021 menunjukkan bahwa deforestasi berhasil diturunkan pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir yaitu pada angka 0,11 juta ha.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2023 berhasil ditekan lebih kecil dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama, bahkan kondisi 2023 lebih kering. Kondisi ini diantisipasi melalui berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun dan secara konsisten dilakukan berbagai upaya untuk mencegah karhutla, mulai dari monitoring hotspot, penetapan kebijakan, aksi-aksi di lapangan baik aksi pencegahan, pemadaman, hingga penegakan hukum. Hal ini dapat menjadi indikasi adanya keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Keberhasilan ini dicapai melalui keterpaduan dan kolaborasi para pihak dalam pengendalian karhutla.
Indonesia berhasil memitigasi dampak El Nino sehingga jumlah hotspot dan luas karhutla tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya. Luas karhutla pada tahun 2023 adalah 1.161.192 ha sedangkan luas karhutla pada tahun 2019 adalah 1.649.258 ha. Penurunan luas karhutla jika dibandingkan tahun 2019 seluas 488.065 ha atau 29,59%. Sedangkan perbandingan total jumlah hotspot tahun 2019 dan 2023 : (tanggal 1 Januari – 31 Desember 2023), berdasarkan Satelit Terra/Aqua (NASA) dengan confident level high : 10.673 titik, pada periode yang sama tahun 2019 jumlah hotspot sebanyak 29.341 titik (terdapat kenaikan jumlah hotspot sebanyak 18.668 titik/ 63,62 %).
Sektor energi memiliki peran strategis dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik melalui proses transisi energi, khususnya pengembangan Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan (EBTKE), Rencana Pengembangan PLT Berbasis EBT pada Green RUPTL PLN 2021 – 2030 dengan mengacu Green RUPTL, pengembangan EBT akan menghasilkan total investasi sekitar USD 55,18 Miliar, membuka 281.566 lapangan kerja baru dan mengurangi emisi GRK sebesar 89 juta ton CO2e.
Rekognisi Pembayaran Berbasis Kinerja / Result-Based Payment (RBP)
Mengacu pada Article 5 Paris Agreement “Parties are encouraged to take action to implement and support, including through results-based payments,….…”, Indonesia telah dapat secara konkret menunjukkan kemajuan implementasi REDD+ yang merupakan bagian dari aksi mitigasi sektor FOLU. REDD+ di Indonesia dilaksanakan melalui pendekatan secara nasional serta dapat diimplementasikan pada sub-nasional (provinsi), dengan kerangka kerja REDD+ yang mencakup empat elemen saling terkait mengenai arsitektur REDD+ dan implementasinya, dukungan sumberdaya serta kelembagaan, peraturan dan sistem.
Kinerja pengurangan emisi GRK Indonesia melalui REDD+ telah mendapatkan rekognisi internasional yang diwujudkan melalui pembayaran berbasis kinerja / Result-Based Payment (RBP). Pada saat ini Indonesia tercatat sebagai negara yang menerima RBP paling besar, dengan total komitmen RBP sebesar USD 439,8 Juta, dimana dari total komitmen tersebut Indonesia telah menerima pembayaran sebesar USD 279,8 Juta.
RBP tersebut berasal dari: (1) RBP REDD+ melalui Green Climate Fund (GCF) sebesar USD 103,8 Juta untuk volume pengurangan emisi GRK 20,3 juta tCO2eq pada periode tahun 2014-2016. RBP tersebut selanjutnya akan disalurkan kepada nasional dan subnasional yang telah bertkontribusi pada pengurangan emisi GRK (34 provinsi) melalui Mekanisme Pembagian Manfaat (Benefit Sharing Mechanism) yang telah disepakati bersama oleh pemangku kepentingan terkait; (2) Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)-Carbon Fund tingkat sub nasional di Provinsi Kalimantan Timur sebesar USD 110 Juta untuk volume pengurangan emisi GRK 22 Juta tCO2e untuk periode tahun 2019-2024; (3) BioCarbon Fund – the Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF – ISFL) tingkat sub nasional di Provinsi Jambi sebesar USD 70 Juta untuk kinerja pengurangan emisi periode tahun 2020-2025; (4) Result Based Contribution (RBC) melalui kerjasama RI-Norway sebesar USD 56 juta untuk volume pengurangan emisi GRK sebesar 11,2 juta tCO2eq periode tahun 2016-2017 (tahap 1) dan sebesar USD 100 Juta untuk pengurangan emisi GRK sebesar 20 juta tCO2e untuk periode 2017-2019 (tahap 2).
Keberhasilan Indonesia dalam mengimplementasikan REDD+ dan menerima RBP telah direkognisi oleh UNFCCC dan menjadi contoh baik implementasi skema REDD+. Oleh karenanya, pada rangkaian COP28 di UAE, Dubai, Indonesia diminta berbagi pengalaman keberhasilan pelaksanaan REDD+ pada side event UNFCCC dan pada sesi-sesi diskusi di beberapa Pavilion Negara Pihak, termasuk Pavilion Ecuador, Brazil, dan Indonesia.
Program Komunitas untuk Iklim (Proklim)
Masyarakat secara partisipatif telah melakukan aksi iklim baik adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim di tingkat tapak. Kontribusi nyata aksi iklim oleh masyarakat di tingkat tapak telah didorong dan difasilitasi melalui Program Kampung Iklim (ProKlim) sejak tahun 2012 dan menjadi gerakan nasional pada tahun 2015. Hingga tahun 2023 ProKlim telah dilaksanakan pada 7.264 lokasi ProKlim.
Sejalan dengan semangat peningkatan ambisi pengurangan emisi GRK, pada tahun 2023 ProKlim telah bertransformasi (rekonseptualisasi) menjadi Program Komunitas untuk Iklim (ProKlim). Dengan konsep yang baru diharapkan ProKlim dapat menjangkau kelompok yang lebih luas dan membuka peluang seluruh pihak untuk memberikan konstribusi lebih luas, seperti: komunitas sekolah, komunitas kampus, komunitas pesantren, komunitas penggiat lingkungan, dan komunitas lainnya.
ProKlim dilakukan secara sistematis dan dicatatkan dalam Sistem Registri Nasional (SRN) PPI. Rekonseptualisasi ProKlim ini diharapkan mampu mengakselerasi pencapaian target pembentukan 20.000 kampung iklim pada 2024 serta menggalang partisipasi aktif dari kelompok masyarakat/komunitas yang lebih luas dan beragam serta para pemangku kepentingan dalam beradaptasi dan bermitigasi untuk merespon dampak negatif perubahan iklim.
Keberhasilan Negosiasi di Tingkat Global
Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa di dunia sangat aktif dalam melakukan diplomasi dan negosiasi untuk memperjuangkan upaya pengendalian perubahan iklim di tingkat global. Partisipasi dan diplomasi Indonesia, melalui aksi nyata (leading by example) telah memberikan warna dan mempengaruhi hasil berbagai negosiasi isu perubahan iklim. Lebih lanjut, aksi-aksi nyata yang telah dilakukan Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia lebih awal menginisasi beberapa kasi pengendalian perubahan iklim sebelum aksi tersebut menjadi komitmen atau keputusan di tingkat global, sebagai contoh pada saat COP UNFCCC memandatkan agar Negara Pihak untuk meningkatkan ambisi pengurangan emisi GRK yang sejalan dengan skenario 1,5oC, Indonesia justru telah mulai menyusun Dokumen Second NDC Indonesia, yang menyelaraskan target NDC Indonesia dengan skenario 1,50C yang tercantum dalam dokumen Long Term Strategy – Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dengan target pengurangan emisi GRK global tahun 2030: 43% dan tahun 2035: 60% terhadap tingkat emisi GRK tahun 2019. Contoh lainnya adalah Indonesia telah menyampaikan target NDC yang economy-wide dan mencakup 6 (enam) jenis GRK mencakup seluruh sektor dan kategori sesuai kondisi nasional, sementara banyak Negara Pihak lainnya belum menyampaikan target NDC secara economy-wide.
Kontribusi dalam Konteks Regional (ASEAN)
Kepemimpinan Indonesia dalam Pengendalian Perubahan Iklim juga ditunjukkan melalui kerja sama regional. Pada masa keketuaan ASEAN 2023, Indonesia telah menginisiasi 3 (tiga) deliverables terkait pengendalian perubahan iklim, yakni: (1) ASEAN Joint Statement on Climate Change to the COP 28 UNFCCC (AJSCC); (2) ASEAN Community-based Climate Action; dan (3) ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control (ACCTHPC).
AJSCC merupakan dokumen berisi posisi dan pandangan ASEAN mengenai kebijakan perubahan iklim global. Sebagai ASEAN Chair 2023, Indonesia menjadi lead country penyusunan AJSCC to the COP 28. ASEAN menyerukan seluruh Parties untuk memperkuat komitmennya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendesak negara maju untuk memenuhi komitmennya memberikan dukungan finansial sebesar 100 billion USD/tahun.
ASEAN Community-based Climate Action merupakan kajian yang disusun dengan mempertimbangkan kondisi geografis ASEAN yang merupakan wilayah rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dalam hal ini, Non Party Stakeholders (NPS), termasuk komunitas lokal, mempunyai peran penting dalam upaya kawasan untuk mengatasi perubahan iklim. Tujuan kajian ini untuk mengembangkan sistem manajemen pengetahuan aksi iklim berbasis komunitas dan mendorong partisipasi komunitas lokal untuk melaksanakan aksi iklim di Kawasan ASEAN.
Sedangkan deliverable ke-3, yaitu ACCTHPC berfungsi untuk: (i) memfasilitasi kerja sama dan koordinasi kebakaran lahan dan/atau hutan atau pencemaran asap yang timbul dari kebakaran di Kawasan ASEAN, (ii) membangun sistem informasi, keahlian, teknologi, teknik dan pengetahuan, dan (iii) penguatan kerjasama mitra penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di kawasan ASEAN. ACCTHPC berlokasi di Jakarta, Indonesia.
Penguatan Aksi Perubahan Iklim
Dalam upaya mendorong upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, Indonesia telah memikirkan pemberian insentif kepada para pelaku aksi mitigasi, yaitu melalui kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yaitu melalui Perdagangan Karbon. Indonesia juga telah mengimplementasikan Enhance Transparency Framework sebagai mandat artikel 13 Paris Agreement, yang antara lain membangun Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) untuk merekognisi aksi-aksi yang telah dilakukan oleh stakeholders yang telah mengikuti metodologi dan aturan-aturan yang telah disepakati Internasional. Melalui proses di SRN dapat diterbitkan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang dapat diperjualbelikan sebagai bagian dari insentif kepada para pelaku aksi mitigasi.
Pemerintah Indonesia terus meningkatkan upaya penyadartahuan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim kepada seluruh elemen masyarakat terkait dengan masalah Iklim dan Karbon, seperti efisiensi energi, pengelolaan, dan mencegah kebakaran hutan dan lahan. Sangat diharapkan kepada masyarakat luas di tingkat tapak untuk menghindari terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang akan berkontribusi besar terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca. Untuk itu Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membangun dan menyediakan layanan publik berupa Rumah Kolaborasi dan Konsultasi Iklim dan Karbon (RKKIK) untuk meningkatkan literasi perubahan iklim dan kolaborasi antara para pemangku kepentingan.
Untuk lebih dapat berkontribusi dalam upaya global pengendalian perubahan iklim dan menjaga kepentingan bangsa Indonesia, Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan akan terus menguatkan aksi nyata dan memimpin dengan contoh (leading by examples)(*)
_________________
Jakarta, KLHK, 12 Januari 2024
Penanggung jawab berita:
Plt. Kepala Biro Hubungan Masyarakat, KLHK
Nunu Anugrah
Sumber: www.ppid.menlhk.go.id
Kala Pohon Pala di Romang Tak Bisa Digoyang Lagi
Kami Akan Lawan PT GBU Sampai Titik Darah Penghabisan
“Masyarakat hanya menggoyang batang pohon pala dan buahnya yang sudah tua akan jatuh. Kemudian di goyang lagi dan buahnya jatuh kembali. Tidak perlu memetik langsung di atas pohon,”ujar Oyang Orlando Petrusz, Tokoh masyarakat pulau Romang, Kecamatan Pulau-pulau Terselatan, Maluku Barat Daya, kepada saya saat kami berbincang soal eksplorasi tambang oleh PT Gemala Borneo Utama (GBU) di pulau tersebut. Dia menggambarkan kesuburan tanah Romang sebelum datang GBU dengan misi eksplorasi emas.
Catatan: Tajudin Buano-Ambon
Pulau Romang merupakan salah satu pulau di kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Pada tahun 2006, Maluku Barat Daya masih bergabung dengan kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB).Luas Pulau Romang hanya 175,49 Km2. Kalau dikonversikan menjadi 17.500 Ha. Sumberdaya alam Pulau Romang memang melimpah. Selain tumbuhan umur panjang seperti Pala hutan, Pala super dan Cengkeh, kawasan hutan Romang juga dijadikan lahan Kakao. Sementara hasil hutan yang paling dominan adalah kayu cendana. Kawasan lautnya, jugadihuni banyak organisme; Lola, Teripang dan Ikan berbagai jenis.
Kesuburan tanah seluruh Pulau di kabupaten Maluku Barat Daya ini di pengaruhi kondisi alam. Seperti Romang, Damer, Wetar dan Babar pulau memiliki kesuburan tanah, karena daerah-daerah memiliki titik basah atau curah hujan tinggi sehingga menyebabkan tanahnya subur. Khusus di Romang, waktu suburnya tanah, mulai dari Oktober, November hingga Desember.
Pala hutan di Pulau Romang, mempunyai buah berukuran besar dan berkualitas. Biasanya buah pala yang hanya dipungut dibawah pohon tersebut setelah itu dikeringkan. Baik bunga maupun isinya hargai Rp70 ribu sampai Rp80 ribu per kilogram.
“Tapi itu dulu. Sejak PT GBU masuk hutan 2006, tumbuhan-tumbuhan ini mulai terganggu kehidupannya. Memang masih ada, tapi kuantitas dan kualitas rendah,” kata Orlando, menceritakan tentang kehidupan masyarakat pulau Romang 9 tahun lalu, sebelum anak perusahaan Robust Resources Limited dari Australia itu masuk dan beroperasi di kawaan Hutan Hukum Adat pulau Romang.
Luas areal pertambangan PT GBU 2000 ha lebih. Izin pertama 2000 ha, kemudian bertambah menjadi 9000 ha. Ketika masuk lahan Eksplorasi mencapai 9000 ha, terjadilah kemarahan rakyat yang sudah memuncak. Jika dibandingkan dengan luas total pulau Romang 17.500 H, maka sudah lebih dari setengah pulau areal eksplorasi tambang PT GBU.
Selain itu, pengambilan sampel menggunakan bahan kimia seperti Mercuri dan lainnya untuk memecahkan batu dan menggali tanah (sumur). Residunya (ampasan) Mercuri bercampur dengan air. Air yang terkontaminasi dengan bahan kimia itu mengalir dari hutan masuk ke perkebunan rakyat mencemari tanaman. Juga pohon-pohon umur panjang.
“Dari sinilah timbul keresahan-keresahan kecil dari masyarakat. Tapi sepertinya tidak mendapatkan perhatian dari pihak perusahaan maupun pemerintah,” tutur Orlando, yang pernah dianiaya, karena melaporkan Bupati MBD Barnabas Orno ke Polda Maluku, 2012 silam.
Konflik di Pulau Romang terjadi ketika PT GBU mulai melakukan penelitian di 3 desa yakni Negri Jerusu, Hila dan Solad pada tahun 2006. PT GBU kemudian melakukaneksplorasi, setelah memperoleh izin dari Bupati MTB pada 2008. Setelah beroperasi selama 2 tahun, perizinan eksplorasi kembali diperpanjang pada 2009.
Puncaknyapada tahun 2012 bulan Juni. Rakyat membuat penolakan besar-besaran dengantuntutan PT GBU harus angkat kaki dari hutan dan tanah pulau Romang. Caranya adalah, rakyat datang beramai-ramai ke lokasi eksplorasi untuk merusak Gly Camp dan alat-alat berat milik PT GBU. Sebelumnya, penyampaian lisan dan tertulis ke camat dan bupati tapi tidak digubris.
Setelah perlawanan masyarakat sudah gencar dilakukan, PT GBU kemudian melakukan pendekatan dengan bupati untuk mengamankan eksplorasi yang masih sementara berjalan. Hubungan akrab bupati dan PT GBU inilah muncul dugaan dengan pemberian uang sebanyak Rp8 Milyar. Dana ini diberikan kepada pemerintah daerah dengan pesan kuat.
“Tetapi karena bupati merasa berkuasa, maka mau diberikan kepada siapa saja atau digunakan sesuai hematnya pemerintah daerah. Yang tidak benar adalah, dana hibah dari PT GBU itu tidak dimasukan dalam dokumen Anggaran Pendapatan Asli Daerah. Padahal dana ini datang dari pihak ketiga (perusahan),”protesnya. Kata dia, sumber pendapatan terdiri dari APBN berupa Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), APBD dan pendapatan lain-lain dari sumbangan pihak ketiga.
Dia melanjutkan,Berdasarkan informasi yang diperoleh, dana Rp8 Milyar tersebut digunakan untuk pembangunan di daerah lain, bukan Romang. Karena itu, pemuka perjuangan masyarakat adat Romang, melaporkan bupati ke Reskrimsus POlda Maluku. Mereka dipimpim Orlando sendiri.Tetapi kasus ini tidak pernah dikembangkan. Tidak ada penyelidikan baik polda.
Dikatakan, aktifitas pertambangan di Pulau Romang, dibatasi UU oleh nomor 27 tahun 2007 yang telah diubah dengan UU nomor 1 tahun 2014 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam UU ini disebutkan, pulau atau wilayah dengan luas kurang dari 20.000 (dua puluh ribu) hektar tidak bisa dilakukan penambangan apapun.
“Sedangkan luas Pulau Romang hanya 175,49 Km2. Kalau di konversikan menjadi 17.500 Ha. Berarti, secara otomatis UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ini membatasi proses eksplorasi dan eksploitasi pertambangan ini. Untuk itu, Komnas HAM akan merekomendasikan agar izin-izin eksplorasi PT GBU harus dicabut,” jelasnya, berdasarkan kesimpulan akhir Komnas HAM dari kegiatan Ikuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Dalam Kawasan Hutan, di Sabtu (1/11) di Ambon.
Harapan Baru
Kesimpulan Komnas HAM ini menjadi tonggak dan harapan baru dalam memperjuangkan hak masyarakat pulau Romang. Mereka meminta, jika sudah keputusan legal soal tidak berlakunya lagi izin, maka PT GBU harus ganti rugi atas segala kerusakan hutan, matinya tanaman umur panjang dan masalah lainnya.
Hadirnya PT GBU, bukan hanya merusak lingkungan dan alam Romang, tetapi juga melahirkan konflik antar sesama masyarakat Romang. Karena ada yang dimanjakan dan ada juga yang tidak dipedulikan. Yang di manjakan ini hanya kelompok masyarakat tertentu saja. Maka keharmonisan dan persaudaraan hilang.
“Dulu, sebelum perusahaan GBU masuk, masyarakat tidak pernah menggubris soal pemanfataan batu dan tanah di kebun atau di laut. Mereka memanfaatkannya secara bersama dalam suasana kekeluargaan dan kebersamaan untuk pondasi rumah. Sekarang sudah tidak bisa lagi. Semoga Komnas HAM konsisten memperjuangkan ini,”kilahnya.
Harapan baru juga muncul dari kalangan Mahasiswa dan Pemuda Romang yang selama ini berjuang mempertahankan tanah mereka. Sebuah gerakan lintas komponen telah dibentuk. Nama gerakan ini“Save Romang”. Gerakan ini lahir dari rasa prihatin atas perlawanan masyarakat terhadap PT GBU yang tidak membuahkan hasil, sejak 2006.
Ketua Mahasiswa Romang, Isack Knyairlay berharap, gerakan Save Romang mendapatkan dukungan secara kolektif dari masyarakat Maluku. Terutama dari kabupaten Maluku Barat Daya. “perjuangan ini akan kami galakan dalam skala besar dengan mengusung tema”Save Romang”. Kita juga mengharapkan dukungan, terutama dari masyarakat Romang sendiri dan masyarakat Maluku secara keseluruhan untuk gabung,”ucap Isack.
Menurut dia, status tanah di Pulau Romang sejak dulu adalah tanah adat dan sudah diakui. Karena sebelum negara ini merdeka, masyarakat Romang sudah menjaga hutan dan sumberdaya lainnya dengan pendekatan hukum adat. Kalau pemerintah pusat dan daerah berdalil bahwa masuknya perusahaan tambang untuk memberikan kesempatan pekerjaan, juga merupakan upaya mematikan tatanan dan hukum adat secara sistematis.
Selain itu, masyarakat adat yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan tingkat sekolah dasar dan menengah, tidak memiliki kemampuan melakukan pekerjaan eksplorasi maupun produksi tambang. Ini terbukti, warga Romang yang bekerja di PT GBU hanya dijadikan sebagai kuli dan dihargai rendah dari semua pegawai dan karyawan PT GBU. Padahal mereka adalah pemilik lahan.
“Biasanya mereka dihargai 50-60 ribu dan statusnya sebagai pekerja lepas. Kalau kita bandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) buruh kasar yang ditetapkan oleh pemerintah, itu sekitar 60-75 ribu per hari. Ini kan namanya diskriminasi,” tegas dia.
Januari 2015, Mahasiswa dan semua komponen masyarakat Romang menentukan sikap. Kalau PT GBU tidak menghentikan kegiatan eksplorasi dan meninggalkan Romang, masyarakat akan by pas dan menggunakan hukum alam. Kalau PT GBU bertahan maka terus melakukan kegiatan penambangan.
Upacara adat akan dilakukan untuk membangunkan roh moyang para leluhur untuk melawan PT GBU. Bukan saja PT GBU, tetapi pihak-pihak lain yang berada dibelakang atau selama ini membekingi PT GBU. Target perjuangan ini adalah, PT GBU harus keluar dari Romang dan mengganti rugi.
“Upacara adat dengan lebah madu dan buaya akan kita hidupkan semua untuk berurusan dengan mereka. Selain itu juga kita akan angkat parang untuk melawan,”kata Isack dengan nada marah.
“Kami tetap akan melawan PT GBU sampai titik darah penghabisan. Uang sebanyak apapun tidak pernah bisa menggantikan darah yang sudah tumpah atau membayar keresahan selama ini.,”tegas Orlando Petrus. (*)
Penulis, Tajudin Buano, AJI Maluku
Melestarikan Hutan = Menyelamatkan Petani Kopi Dari Dampak Perubahan Iklim
Walau tidak menggunakan pengeras, namun suara Ketua Perempuan Alam Lestari Desa Batu Ampar Supartina Paksi terdengar cukup jelas. Kepada para undangan dan peserta yang berkumpul di bawah tenda plastik berwarna oranye, Supartina mengemukakan pesan yang ingin disampaikan melalui kegiatan Penanaman Pohon di Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba pada Rabu, 23 Juni 2021.
“Melalui kegiatan ini, kami ingin menyampaikan pesan bahwa melestarikan hutan berarti menyelamatkan kehidupan dan penghidupan petani kopi dari dampak perubahan iklim,” ujar Supartina.
“Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah melestarikan hutan, melestarikan air, mengurangi polusi udara, mencegah longsor dan banjir, membangun potensi peningkatan ekonomi perempuan berbasis hasil hutan bukan kayu, melestarikan kearifan lokal dan membangun ketangguhan iklim,” terang Supartina.
Perempuan Alam Lestari, menurut Supartina, sedang berproses menjalin kemitraan konservasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu dengan skema pemulihan ekosistem. Selain itu, Perempuan Alam Lestari telah mendeklarasikan Desa Kopi Tangguh Iklim pada 28 Januari 2020.
Terkait Desa Kopi Tangguh Iklim, Perempuan Alam Lestari mengajak perempuan untuk mengembangkan pola agroforestri di kebun kopi dengan menanam beragam jenis pohon seperti Durian, Nangka, Alpukat, Jengkol, Petai, Aren, Bambu dan lainnya. “Sejauh ini, kami telah membibitkan sekitar 4.500 bibit pohon. Sebagian bibit tersebut sudah siap ditanam,” ujar Supartina.
Pertama di Kepahiang
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kepahiang Mukhtar Yatib sangat mengapresisasi Perempuan Alam Lestari. Apalagi, Perempuan Alam Lestari merupakan kelompok perempuan pertama di Kabupaten Kepahiang yang berinisiatif untuk berpartisipasi melestarikan TWA Bukit Kaba dan mendeklarasikan Desa Kopi Tangguh Iklim. “Baru perempuan di Desa Batu Ampar yang memiliki terobosan seperti ini di Kabupaten Kepahiang. Jadi, Bupati Kepahiang pasti sangat mendukung,” kata Mukhtar.
Menurut Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2020, Kabupaten Kepahiang merupakan kabupaten terluas di Provinsi Bengkulu untuk perkebunan kopi. Dari total luas perkebunan kopi di Provinsi Bengkulu (87.465 hektar), luas perkebunan kopi di Kabupaten Kepahiang adalah 24.746 hektar.
Untuk itu, Mukhtar meminta agar Perempuan Alam Lestari mengajukan proposal seperti proposal bantuan penambahan bibit atau bantuan lainnya terkait kegiatan Perempuan Alam Lestari ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kepahiang. “Insya Allah, kami akan anggarkan pada anggaran dinas untuk disalurkan Desa Batu Ampar untuk Perempuan Alam Lestari.”
Persetujuan Direktur Jenderal KSDAE
Kepala Seksi Wilayah I BKSDA Bengkulu Said Jauhari membenarkan bahwa Perempuan Alam Lestari telah mengajukan proposal kemitraan konservasi dengan skema pemulihan ekosistem. Menindaklanjutinya, BKSDA Bengkulu telah memverfikasi kelompok dan anggota Perempuan Alam Lestari serta memetakan dan mengukur luas areal yang diusulkan oleh Perempuan Alam Lestari .
“Masih diproses, kalau sudah oke, proposal akan dikirim ke Direktorat Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) untuk meminta persetujuan dari Direktur Jenderal KSDAE. Kalau disetujui, akan ditindaklanjuti dengan penandatangan perjanjian kerjasama,” kata Said.
Selain menindaklanjuti proposal, Said menambahkan, BKSDA Bengkulu juga melakukan penguatan kapasitas, menyalurkan bantuan ekonomi produktif dan intensif melakukan pendampingan kepada Perempuan Alam Lestari. “Pendampingan akan kami lakukan sampai kelompok ibu-ibu ini (Perempuan Alam Lestari) berhasil. Kalau sudah berhasil, baru kami akan beralih ke desa lain,” ujar Said. (**)
Penulis, Dedek Hendry Jurnalis Freelance