PHBM Sebagai Media Penguatan Hak Masyarakat Desa Sekitar Hutan
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan skema pengelolaan hutan yang memberi ruang kepada masyarakat desa sekitar hutan sebagai pelaku utama. Sebenarnya inisiatif seperti ini sudah berlangsung sejak lama, dari generasi ke generasi. Misalnya bentuk pengelolaan hutan adat, rimbo larangan, imbo psako/parabukalo dan lain sebagainya.
Pada intinya, semua bentuk ini bertujuan melindungi hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat setempat, jika ada anggota masyarakat yang melanggar maka akan dikenai sanksi adat yang berlaku. Hanya saja inisiatif seperti ini terkadang tidak diakomodir oleh pemerintah.
Era 1960-an sampai dengan 2000-an, pengelolaan hutan masih berorientasi pada modal swasta melalui berbagai skema izin seperti Hak Penguasaan Hutan (IUPHHK HA) dan Hutan Tanaman Industri (IUPHHK HTI). Kedua skema ini banyak dituding berkontribusi besar terhadap kegagalan pengelolaan hutan di Indonesia.
Menurut data Badan Planologi Kehutanan, dalam kurun waktu 2022-2006 telah terjadi degradasi hutan kurang lebih 1,8 juta Ha/tahun, sedangkan lahan kritis diperkirakan mencapai angka 30,2 juta Ha. CIFOR menyebutkan bahwa 10,2 juta jiwa dari 48,8 juta jiwa yang hidup di sekitar hutan masih tergolong miskin.
Kedua data di atas menunjukkan bahwa tingkat degradasi hutan dan lahan belum berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Hal ini pula lah yang menyebabkan konflik antara masyarakat dengan pihak swasta sebagai pemegang izin. Alasan utamanya adalah ketimpangan izin akses pemanfaatan hutan, masyakat sekitar hutan merasa sebagai pihak yang tersingkirkan. Sehingga penguatan hak masyarakat desa sekitar hutan menjadi penting untuk diakui legal formalnya.
Advokasi dari berbagai pihak telah berhasil mendorong lahirnya regulasi yang mengatur tentang sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat. PP No 6 tahun 2007 menyebutkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang diistilahkan dengan skema perhutanan sosial.
Skema tersebut adalah: Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Kemitraan. Semua skema tersebut memberikan hak kepada masyarakat agar dapat mengelola kawasan hutan lindung dan hutan produksi secara legal.
Mahkamah Konstitusi (MK), melalui putusan No 35 tahun 2012 memutuskan bahwa hutan adat merupakan hutan yang dikelola oleh masyarakat hukum adat sepanjang masih ada dan diakui. Sehingga hutan adat tidak lagi dikategorikan sebagai hutan negara seperti yang disebutkan dalam UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, dengan demikian bentuk PHBM menjadi lebih banyak pilihan, tinggal menyesuaikan dengan kondisi biofisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Layanan PHBM Pasca UU Nomor 23 Tahun 2014 dan Perpres Nomor 16 Tahun 2015
Terbitnya dua peraturan perundang-undangan tersebut berimplikasi pada layanan skema PHBM di level pusat dan daerah. Perpres Nomor 16 tahun 2015 telah menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Melalui perpres ini juga telah meningkatkan dan menggabungkan struktur dan kewenangan layanan PHBM di dalam Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL). Sebelumnya, layanan PHBM tersebar di beberapa ditjen: hutan desa dan hutan kemasyarakatan di Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, hutan tanaman rakyat di Ditjen Bina Usaha Kayu.
Di tingkat daerah, UU Nomor 23 tahun 2014 telah mengalihkan kewenangan urusan bidang kehutanan yang ada di pemkab kepada pemprov, kecuali taman hutan raya yang tetap di lingkup pemkab. Sebelum ada regulasi ini, pemkab berwenang menerbitkan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan dan izin usaha hasil hutan kayu hutan tanaman rakyat.
Adanya dua regulasi baru tersebut, KLHK membuat Permen LHK tentang hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat. Ada beberapa hal yang menarik di dalam permen tersebut: 1. pemangkasan jalur birokrasi pengurusan izin/hak hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat, 2. Kelompok kerja percepatan perhutanan sosial di setiap provinsi, 3. Permohonan secara online, dan 4. KPH yang sudah operasional berwenang untuk mengesahkan RPHD, RKU, dan RKT.
PHBM Sebagai Instrumen Pembangunan Desa Sekitar Hutan
Permendesa PDTT No 21 tahun 2015 menyebutkan bahwa hutan desa dan hutan kemasyarakatan termasuk kegiatan yang prioritas untuk dibiayai oleh dana desa sepanjang masuk dalam dokumen RPJMDes. KLHK juga menjadikan PHBM sebagai salah satu indikator kinerja utama sebagaimana termaktub dalam RPJMN.
Harapan kedepannya, kedua kementerian ini bisa saling bersinergi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pemda provinsi maupun pemda kabupaten/kota sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat juga harus saling bersinergi dan mendukung dalam mengimplementasikan kebijakan dua kementerian tersebut. Sehingga pertumbuhan ekonomi masyarakat desa sekitar hutan bisa meningkat dan mengurangi laju urbanisasi dan penumpukan masyarakat di kota.
Tulisan ini disarikan dari Tulisan Adi Junedi yang berjudul “PHBM Instrumen Pembangunan Masyarakat Desa Sekitar Hutan” di dalam buku “Sekelumit Kisah Lapangan: Mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat” yang diterbitkan oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warsi.
Ditulis : Ridwan F (Staf Dit. Kemitraan Lingkungan)
Editor : Nurhayati (Jafung Madya Dit. Kemitraan Lingkungan)