Konsisten Jaga Karst di Rammang-rammang, Iwan Dento Raih Penghargaan Kalpataru

MAROS – Muhammad Ikhwan alias Iwan Dento, aktivis lingkungan asal Kabupaten Maros berhasil meraih penghargaan Kalpataru 2023. Penghargaan bergengsi itu diperoleh berkat kegigihannya mempertahankan dan merawat karst di Rammang-rammang dari ancaman industrialisasi.


Pria kelahiran Maros pada 10 Oktober 1980 itu, sebelumnya telah diusulkan sebagai penerima penghargaan dari Kementrian Lingkungan Hidup sebanyak dua kali. Namun, Iwan harus puas di nominator urutan 20 besar.

Tahun ini, Iwan yang kembali diusulkan oleh pemerintah daerah berhasil menduduki urutan pertama dari 10 nominator penerima Kalpataru. Dia masuk dalam kategori sebagai perintis lingkungan.

Nama Iwan muncul sebagai penerima berdasarkan Surat Keputusan dari Kementrian Lingkungan Hidup nomor : SK.545/MENLHK/PSKL/PSL.3/5/2023 tentang Penerima Penghargaan Kalpataru 2023.

“Alhamdulillah ini keberhasilan kita bersama. Bukan karena Iwan Dentonya, tapi semua entitas yang selama ini bersama-sama berjuang menjaga dan memelihara karst kita,” kata Iwan yang ditemui di kediamannya sekaligus cafe Rumah Ke-2 di Rammang-rammang, Rabu (31/05/2023).

Alumni Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar itu pun mengaku sudah menerima undangan untuk menerima piala prestisius itu di kantor KLHK Jakarta. “Insya Allah Senin penerimaannya. Mudah-mudahan tidak ada kendala nanti kami akan ke Jakarta. Mohon doanya semua,” ujar Iwan.

Sosok Iwan selama ini memang tidak bisa dilepaskan dari perjuangan menjadikan kawasan karst, khususnya Rammang-rammang menjadi objek wisata yang kini telah mendunia.

Jauh sebelum kawasan itu dikenal sebagai tempat wisata, pada 2007 hingga 2009, lokasi itu sudah masuk dalam pemetaan sebagai kawasan tambang batu gamping dan marmer. Bahkan, tiga perusahaan tambang sudah mengantongi izin eksplorasi dan eksploitasi.

“Iwan adalah lokomotif gerakan warga yang berjuang melawan ancaman kerusakan lingkungan kami dari pertambangan,” kata salah seorang warga Rammang-rammang, Darwis.

Dari tiga perusahaan tambang itu, bahkan sudah ada satu perusahaan yang telah membangun pabrik dan melakukan penambangan karst untuk dijadikan marmer.

“Luas konsesi tambang termasuk tambang rakyat itu mencapai 102 hektare. Yah kalau dilihat satu kampung di rammang-rammang mulai dari dermaga 1 sampai 2 itu masuk,” sebut Darwis.

Melalui perjuangan panjang baik aksi dan negosiasi, Iwan bersama warga dan beberapa organisasi lingkungan, berhasil mengubah kondisi itu. Lima tahun pasca keluarnya izin, tepatnya di tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Maros akhirnya mencabut izin tambang itu.

“Setelahnya, ada 10 izin tambang yang juga ikut dibatalkan oleh Pemerintah di zaman pak Hatta Rahman. Lalu kemudian membuat moratorium izin di Maros ini. Tambang kecil milik warga juga akhirnya ditutup semua di Salenrang ini,” paparnya.

Usai berhasil mengusir perusahaan tambang dari kampungnya, Iwan tak lantas pergi begitu saja. Ia memilih menjadi ‘penjaga’ di Rammang-rammang. Pada 2013 dilakukanlah eksplorasi pengembangan wisata karst Rammang-rammang yang saat ini telah membuana.

Jika boleh dikatakan, capaian kawasan karst Maros-Pangkep yang baru-baru ini dinobatkan sebagai taman bumi atau global geopark Unesco, tak akan bisa terwujud tanpa konsistensi seorang Iwan Dento.

“Jadi kalau dikatakan layak, Iwan sangat layak menerima Kalpataru. Karena itu bukan semata Soal prestisius tapi sebuah pengakuan negara dan pengakuan sosial atas gagasan dan konsistensi untuk keberlanjutan kehidupan dan identitas,” sebut Darwis.

Sekedar diketahui Penghargaan Kalpataru adalah penghargaan yang diberikan kepada perorangan atau kelompok atas jasanya dalam melestarikan lingkungan hidup di Indonesia oleh negara melalui Kementrian Lingkungan Hidup.

(TRI)
baca selengkapnya di https://sindomakassar.com/read/news/2663/konsisten-jaga-karst-di-rammang-rammang-iwan-dento-raih-penghargaan-kalpataru-1685606764

Jaga dan Kelola Hutan di Aceh, Desa Damaran Baru Diganjar Kalpataru

Kalpataru sebagai penghargaan tertinggi bagi individu atau kelompok penyelamat hutan dan lingkungan menjadi apresiasi negara untuk kerja keras warga.

SIMPANG TIGA REDELONG, KOMPAS — Lembaga Pengelola Hutan Kampung atau LPHK Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, memperoleh penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Desa Damaran Baru dinilai berhasil mendapat keuntungan ekonomi sembari tetap menjaga kelestarian hutan.

Anugerah Kalpataru diserahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Jakarta, Senin (5/6/2023), bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Penghargaan diterima Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh A Hanan serta Ketua LPHK Damaran Baru Sumini. Selengkapnya baca di https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/06/05/dinilai-berhasil-jaga-dan-kelola-hutan-desa-damaran-baru-diganjar-kalpataru

Misman dari Samarinda Kaltim Raih Penghargaan Kalpataru 2023

KLIKSAMARINDA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan penganugerahan Penghargaan Kalpataru 2023 kepada 10 Penerima Penghargaan dan 1 penerima penghargaan khusus.

Penyerahan penganugerahan Penghargaan Kalpataru 2023 ini berlangsung Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup tahun 2023.

Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar, memberikan langsung penghargaan Kalpataru kepada tokoh terpilih di Manggala Wanabakti, Jakarta, Senin 5 Juni 2023.

Satu di antara tokoh lingkungan penerima Kalpataru 2023 untuk kategori Perintis tersebut adalah Misman, warga Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) yang menerima penghargaan diwakilkan.

Misman merupakan penggiat lingkungan yang berupaya membuat Sungai Karang Mumus Samarinda lebih beradab dan terjaga ekosistemnya selama belasan tahun.

Dari Kaltim, selain Misman ada pula Yayasan Ulin yang menerima Kalpataru 2023 untuk kategori Penyelamat.

Berikut ini daftar tokoh penerima Kalpataru 2023 untuk kategori Perintis.

1. Muhammad Ikhwan Am. dari Sulawesi Selatan;
2. Misman dari Kalimantan Timur
2. Asep Hidayat Mustopa, Jawa Barat,
3. Dani Arwanton, DKI Jakarta.

Kategori Penyelamat:
1. Perkumpulan Pengelola Hutan Adat Dayak Abay Sembuak dari Kalimantan Utara,
2. Yayasan Ulin, Kalimantan Timur,
3. LPHK Damaran Baru, Aceh.

Selanjutnya untuk kategori Pengabdi diberikan kepada Arsyad dari Nusa Tenggara Timur.

Penghargaan Kaplataru untuk kategori Pembina dianugerahkan kepada Petronela Merauje (Papua) dan Dr. Ir. Nugroho Widiasmadi, M.Eg (Jawa Tengah).

Selain itu, diberikan penghargaan khusus bidang Pengembangan Jejaring Ekowisata kepada H. Awam (Jawa Barat).

“Sangat penting keberadaan penghargaan Kalpataru mengingat secara prinsip bahwa pendekatan penanganan perlindungan dan pengelolaan lingkungan harus dilakukan dengan pendekatan konstitusionalitas dan proseduril sebagai refleksi kaitan antara demokrasi dan lingkungan. Yakni demokrasi dan rasa untuk menjaga lingkungan oleh seluruh elemen bangsa. Di mana ada kaitan filosofis pelembagaan yang mendorong praktik atau rintisan untuk membangun nilai-nilai yang menghargai lingkungan serta menerapkan secara mendasar prinsip kelestarian lingkungan atau deep green pada penempatan dalam berbagai kebijakan. Aktualisasinya dalam bentuk dan orientasi partisipasi yang lebih atau semakin luas atau woder participations,” ujar Siti Nurbaya saat sambutan yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube KLHK. (Dw)

Baca selengkapnya di: https://kliksamarinda.com/misman-dari-samarinda-kaltim-raih-penghargaan-kalpataru-2023/

Penghargaan Kalpataru

Sobat Hijau, Tahun 2023 ini Kementerian LHK kembali memberikan Penghagaan Kalpataru.

Mengingatkan kembali, Penghargaan Kalpataru adalah penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada individu atau kelompok yang telah berkontribusi secara signifikan dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan, dan membina perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk apresiasi dan pengakuan atas upaya dan kontribusi yang dilakukan oleh para penerima.

Penghargaan yang awalnya dicetuskan oleh Emil Salim pada tahun 1980 ini sekarang sudah berkembang pesat. Hingga tahun 2022, ada 408 penerima Penghargaan Kalpataru.

Penghargaan Kalpataru dibagi menjadi empat tema/isu, jika ditotal sejak 1980 maka rinciannya sebagai berikut:

  1. ekonomi hijau dengan 57 penerima
  2. hukum dan budaya dengan 82 penerima
  3. konservasi dengan 243 penerima
  4. pencemaran dan perubahan iklim dengan 26 penerima.

Jika jumlahnya dilihat berdasarkan kategori, maka sebaran penerimanya sejak tahun 1980 adalah:

  1. Pembina, 63 penerima
  2. Pengabdi, 102 penerima
  3. Penyelamat, 122 penerima
  4. Perintis, 121 penerima

Berdasarkan sebaran dari 38 provinsi, Provinsi Jawa Timur menorehkan prestasi yang cukup bagus dengan 54 penerima. Kemudian disusul Provinsi Jawa Barat dengan 31 penerima dan Provinsi DI Yogyakarta dengan penerima sebanyak 29 orang.

Tak kalah menarik, ternyata banyak juga penerima Penghargaan Kalpataru berasal dari golongan perempuan, walaupun jumlahnya memang tidak sebanyak dari golongan laki-laki, yaitu sebanyak 37 orang. Selain dari individu, ada kategori kelompok yang menerima Pernghargaan Kalpataru, yaitu sejumlah 124 kelompok.

Penerima penghargaan dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, seperti konsistensi dalam menjalankan program atau kegiatan lingkungan, prakarsa, motivasi dalam melakukan kegiatan, inovasi dalam pengelolaan lingkungan, kreatifitas, dampak positif yang dihasilkan bagi lingkungan hidup dan masyarakat sekitar, dan keberlanjutan kegiatan yang dilakukan. Setelah melalui proses seleksi, penerima penghargaan akan diumumkan pada acara puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada tanggal 5 Juni setiap tahunnya.

Penulis: Ridwan Faqih

Editor: Nurhayati

Koordinasi Kegiatan Pendampingan Perhutanan Sosial Tahun 2023

Memasuki Tahun 2023, Sub Direktorat Pengembangan Pendampingan Perhutanan Sosial (PPPS) melakukan rapat koordinasi secara hybrid di Bogor. Tujuannya adalah membahas kegiatan pengembangan pendampingan bersama tiap Balai PSKL beserta masing-masing Seksi Wilayahnya.

Peta Sebaran Pendamping Perhutanan Sosial

Target kegiatan pada tahun ini adalah SK penetapan 1050 pendamping Perhutanan Sosial. Selain itu, pendamping juga diberi tugas khusus, yaitu mendampingi penyusunan RKPS dan pengisian nilai ekonomi di goKUPS. RKPS digital menjadi perhatian utama, yaitu dengan mengunggah dokumen RKPS ke dalam website goKUPS. Terakhir adalah melakukan monitoring dan evaluasi pendamping dan kegiatan pendampingan.

Terkait peningkatan kapasitas, saat ini Subdit PPPS tengah menyusun survey berbasis training needs assessment (TNA) dan berperspektif gender untuk melihat kebutuhan pendamping. Setelah dianalisis, hasilnya akan dibahas bersama BPSKL, Seksi Wilayah, dan BP2SDM guna peningkatan kapasitas pendamping. Sehingga, setiap peningkatan kapasitas pendamping benar-benar sesuai dengan kebutuhan pendamping di lapangan.

Setelah rapat koordinasi ini, harapannya adalah kegiatan pengembangan pendampingan berjalan selaras antara pusat dan daerah. Sehingga benar-benar menunjang tercapainya tujuan pokok PSKL dan KLHK.

Memupuk Asa dari Puncak Gunung Karang

Pengembangan usaha hutan sosial merupakan kegiatan lanjutan pasca diturunkannya izin pengelolaan hutan. Sebuah izin kelola selama 35 tahun yang diharapkan dapat meningkatkan harkat hidup masyarakat di sekitar hutan. Intinya, masyarakat dilibatkan dalam mengelola sekaligus menjaga dan meningkatkan kelestarian hutan.

Tantangan berikutnya setelah kelompok masyarakat mendapatkan izin adalah kapasitas pengelolaan usaha, kelembagaan, dan kawasan. Sebenarnya masalah atau tantangan ini bisa ditekan ke batas minimal. Caranya adalah melakukan kemitraan lingkungan dengan melibatkan para akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah, dan media.

Model ini biasa disebut dengan kemitraan ABCGM. Caranya adalah, para pihak tersebut bekerjasama bahu-membahu meningkatkan kapasitas kelompok usaha sesuai dengan peran dan tugasnya masing-masing. Secara praktik memang masih agak sulit diterapkan dengan kelima pihak secara bersama-sama, tetapi langkah ini adalah sebuah pertanda kemajuan yang baik bagi pengembangan kelompok usaha.

Perihal kemitraan, kita bisa belajar dari KUPS Gunung Karang. KUPS yang terletak di ujung selatan Desa Babakan Jawa, Majalengka. Hanya 8 KM dari pusat kota Kabupaten Majalengka.

KUPS yang baru dibentuk dan dikembangkan pada 2017 silam, sedang mengembangkan usaha jasa lingkungan ekowisata alam.  Usaha ekowisata yang diketuai oleh Tayum tak lepas dari masalah. Efek badai pandemi covid-19 berimbas pada penutupan lokasi ekowisata. Segala kegiatan terhenti, mati suri selama dua tahun.

Pada sisi lain, seharusnya Tayum dan anggotanya mendapat pendampingan dari pendamping perhutanan sosial. Nyatanya, karena satu dan lain hal, KUPS Gunung Karang belum mendapatkannya. Masalah ini tak menyurutkan langkah semangat mereka.

Usut punya usut, ternyata ada unsur penyemangat yang memberikan dorongan besar kepada masyarakat. Faktor sejarahlah yang memberikan energi positif. Masyarakat percaya bahwa di puncak Gunung Karang ini, dahulu, sebenarnya adalah taman dari sebuah kerajaan. Masyarakat sekitar yang bermalam di puncak sering mendapat penglihatan baik secara langsung maupun melalui mimpi. Masyarakat meyakini bahwa hamparan serta struktur batuan yang ada, menyerupai undakan-undakan yang tak sepenuhnya tersusun secara alami.

Cerita sejarah ini ingin dipertahankan oleh masyarakat agar anak cucunya kelak bisa mengetahui atau menyingkap lebih jauh daripada sejarah Gunung Karang. Kemudian, masyarakat ingin meramaikan kembali tempat ini. Ekowisata dinilai menjadi salah satu sarana pengenalan sejarah disamping pengembangan wisata berbasis alam. Bentuk yang diinginkan adalah ada sebuah usaha untuk menguri-uri budaya lokal.

Berbagai struktur batuan membentuk undakan bertingkat yang tersusun rapi. Pada puncak gunung terhampar bongkahan-bongkahan batu besar yang terlihat seperti bebatuan karang di tepian laut. Warga membangun spot foto berlatar pemandangan alam yang menakjubkan.

Sisi barat gunung berupa jurang terjal dan di bawah agak jauh terdapat Sungai Cimanuk. Bentang alamm yang memisahkan Majalengka dengan dengan Kabupaten Sumedang. Jika memandang sekelilingnya maka akan tampak perbukitan hijau kebiruan yang memanjakan mata. Sebelah kanan belakang juga tampak Gunung Ciremai yang berdiri megah.

Berdasarkan potensi alam ini, masyarakat berusaha mengembangkan jasa lingkungan ekowisata alam. Jasa yang ditawarkan berupa pemandangan alam, goa, spot foto, camping ground, dan eduwisata untuk mengenalkan budaya lokal seperti musik, tari, serta permainan tradisional.

Setelah sempat mati suri, KUPS Gunung Karang bermitra dengan Katadata sebagai upaya untuk bangkit kembali. Kemitraan yang dibangun ada 5 poin, yaitu identifikasi kebutuhan KUPS, peningkatan kapasitas pendamping, kegiatan promosi ekowisata, fasilitasi pengembangan kemitraan lingkungan, dan pembuatan konten pengembangan ekowisata.

Biasanya, ketika aset alam dikelola menjadi destinasi wisata, penggerak utamanya adalah kekuatan pasar (market driven). Yakni pemilik modal berkolaborasi bersama pemerintah setempat melakukan penguasaan lahan dan pengelolaan wisata secara ekslusif tanpa partisipasi masyarakat. Pendekatan ekonomi pariwisata seperti ini hanya akan memperkuat posisi investor dengan pola patron-klien. Investor menjadi patron dengan kekuatan modal dan jaringan yang dimiliki. Sementara masyarakat menjadi klien berupa kuli dalam kegiatan pariwisata.

Harusnya, pengembangan aset di dalam masyarakat bergeser dan bertumpu pada spirit kewargaan. Yaitu pembangunan yang digerakkan oleh komunitas warga (community driven development). Dalam konteks perhutanan sosial, pembentukan KPS yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan KUPS merupakan bentuk usaha pemberdayaan masyarakat yang berangkat dari komunitas warga (KUPS).

Kemitraan lingkungan menempatkan mitra perhutanan sosial dalam posisi yang setara dengan KUPS. Sehingga hubungan yang terbentuk adalah saling belajar dan meningkatkan kapasitas masing-masing. Bukan dalam kerangka pemberi dan penerima modal.

Harapannya, warga mampu mengorganisir diri melalui KUPS. Mereka melakukan inisiatif dan kontrol terkait orientasi pengembangan aset secara mandiri, bagaimana ekowisata berbasis lokalitas ini dapat tumbuh dan berkembang untuk menyejahterakan masyarakat.

Geliat wisata alam yang semakin menjamur bukannya tanpa persoalan. Misalnya masalah pemasaran dan penyebarluasan informasi yang belum terorganisir, kemampuan pengelolaan kelembagaan yang masih lemah, pengetahuan mengenai eko-edu-wisata yang perlu ditingkatkan, sarana dan prasarana menuju dan di lokasi, pengelolaan sampah, serta konflik dengan pengelola kawasan hutan sebelumnya.

Dalam konteks seperti inilah kolaborasi dan interkoneksi para pihak dalam ABCGM perlu diperjelas dan ditingkatkan. Permasalahan seperti ini perlu ditindaklanjuti dan dicari jalan keluarnya bersama-sama. Ada harapan atau asa yang perlu diwujudkan demi meningkatnya taraf hidup masyarakat sekaligus melestarikan hutan. Masyarakat bisa menjadi ujung tombak potensial demi kelestarian alam yang sering dibicarakan itu.

Penulis: Ridwan FA, editor: Nurhayati

Mendorong Percepatan Perhutanan Sosial Melalui Program Proper, CSR, dan TJSL

Denpasar, 13 Desember 2022, Direktorat Kemitraan Lingkungan menyelenggarakan Sosialisasi Pedoman Pengembangan CSR dalam Perhutanan Sosial. Sebanyak 95 peserta dari 57 perusahaan hadir secara faktual dan 41 peserta hadir secara virtual dari wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Turut hadir dalam sosialisasi ini Kepala Balai PSKL Wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara dan perwakilan Dinas terkait dari Provinsi Bali.

Kepala P3E Bali Nusra, Ni Nyoman Santi, dalam sambutannya menyampaikan pentingnya dunia usaha dalam percepatan Perhutanan Sosial, karena dunia usaha dapat berperan secara aktif dari program CSR dan TJSL-nya.
Direktur Kemitraan Lingkungan, Jo Kumala Dewi, memberikan arahan sekaligus membuka acara sosialisasi ini menyampaikan gambaran umum kebijakan perhutanan sosial. Ibu Jo mendorong para perusahaan untuk dapat melakukan kemitraan dengan Kelompok Perhutanan Sosial sesuai potensi yang dimiliki, termasuk dapat mengambil peran dalam kegiatan pendampingan perhutanan sosial.

Selain itu, ada 3 narasumber yang menyampaikan materi yaitu Direktorat Jenderal PPKL-Marhasak Deny TS (sinkronisasi Proper dalam mendukung program nasional Perhutanan Sosial), Asisten Deputi Bidang TJSL Kementerian BUMN-Edi Eko Cahyono (Sinkronisasi TJSL BUMN dalam mendukung Program nasional Perhutanan Sosial), dan Head Comrel & CID PT Pertamina EP Zona 7-Wazirul Luthfi (sharing pengalaman implementasi CSR bagi KPS dalam Proper).

Pelaksanaan sosialisasi yang diakhiri dengan diskusi dan berbagi pengalaman dari perusahaan menunjukkan keinginan dan motivasi yang tinggi untuk dapat berpartisipasi dalam percepatan perhutanan sosial melalui program Proper, CSR, dan TJSL.

Potensi Jasa Lingkungan di Kawasan Perhutanan Sosial

Jasa lingkungan merupakan produk sumber daya alam hayati dan ekosistem berupa manfaat secara langsung maupun tidak langsung. Produk jasa lingkungan secara umum dibagi menjadi 4 kategori:

  1. Penyerapan dan penyimpangan karbon (carbon sequestration and storage)
  2. Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection)
  3. Perlindungan daerah aliran sungai (watershed protection)
  4. Keindahan bentang alam (landscape beauty)

Berdasarkan pengkategorian tersebut, berikut adalah kegiatan usaha jasa lingkungan yang bisa dilakukan di kawasan perhutanan sosial:

  1. Ekowisata
  2. Pemanfaatan aliran air
  3. Pemanfaatan air
  4. Perlindungan keanekaragaman hayati
  5. Penyerapan dan penyimpanan karbon
  6. Pohon asuh
  7. Keindahan alam
  8. Pemulihan lingkungan

Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dapat mengembangkan usaha jasa lingkungan berdasarkan potensi yang ada di kawasan masing-masing. Saat ini sudah ada ratusan KUPS jasa lingkungan yang tersebar di pelosok Nusantara. Pengembangan usaha oleh KUPS bisa dibantu oleh mitra pentahelix (abcgm: academy, business, community, government, and media). Kemitraan pentahelix memungkinkan banyak aktor untuk saling bersinergi dan berbagi peran sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam mengembangkan usaha jasa lingkungan.

Harapannya adalah mempercepat usaha pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan. Sehingga memberikan dampak positif dalam upaya menjaga dan melestarikan lingkungan, meningkatkan taraf ekonomi, dan menjaga eksistensi sosial budaya masyarakat sekitar hutan. Tujuan akhirnya adalah hutannya lestari dan mayarakatnya sejahtera.

Baca atau unduh materi selengkapnya di bawah ini:

Mengenal Zulkifli, Sang Peduli Lingkungan dengan Gerakan Memanen Air Hujan dari Ternate

Zulkifli (Ipin) berbagi ilmu bagaimana cara memanfaatkan air hujan untuk persediaan air sehari-hari yang layak dikonsumsi.(Photo dok Ipin)

Ternate, Idola 92.6 FM – Tergerak untuk melakukan konservasi air tanah di wilayah Ternate Utara, Zulkifli menginisiasi Gerakan Memanen Air Hujan Kecamatan Ternate Utara (Gemma Camtara). Atas kepeduliannya itu, Zulkifli yang seharinya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemkot Ternate kerap dikenal sebagai ‘Pahlawan Air Hujan’ di Kota Ternate.

Gemma Camtara atau Gerakan Menabung dan Memanen Air Hujan Kecamatan Kota Ternate Utara adalah sebuah program inovasi yang digagas oleh Zulkifli yang bertujuan untuk mengajak semua pihak untuk bersama-sama melakukan konservasi air tanah.

”Awalnya prihatin karena kondisi air di tempat kami, bisa seminggu sekali dapat jatah air dari PDAM,” tutur Ipin panggilan akrab Zulkifli kepada radio Idola, pagi (03/10) tadi.

Ia pun didukung warga dan aparat kecamatan Ternate Utara terus bergerak menabung air hujan. Terlebih daerahnya curah hujan cukup tinggi setiap tahun.

”Menjaga air tanah, dengan mengisi air hujan sebanyak-banyaknya dan mulai tahun 2015-kami bangun sumur-sumur tanah di kelurahan,” jelasnya.

Kegiatan Zulkifli (Ipin) bersama warga untuk mendapatkan air bersih. (Photo dok Ipin)

Setahun berlalu gerakan memanen air hujan mulai terasa. Maka pada tahun 2016, Ipin dan tim membangun resapan biopori di 14 kelurahan di kecamatan Ternate Utara.

Seiring dengan bergulirnya waktu, banyak warga yang merasakan manfaat gerakan ini. Hingga gerakan menabung dan memanen air hujan merambah di luar kecamatan, kota dan luar pulau.

Lewat Gemma Camtara, Ipin juga meraih Penghargaan Kalpataru tahun 2022 dari kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI untuk kategori Pengabdi Lingkungan.

Selengkapnya, berikut ini wawancara radio Idola Semarang bersama Zulkifli “Ipin” Sang Peduli Lingkungan dengan Gerakan Memanen Air Hujan Kecamatan Ternate Utara

Penulis: Heri CS
Sumber: https://www.radioidola.com/2022/mengenal-zulkifli-sang-peduli-lingkungan-dengan-gerakan-memanen-air-hujan-dari-ternate/

Komoditi Tanaman Bertingkat Sebagai Model Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan

Salah satu masalah petani karet adalah ketika harga karet turun dan tidak menentu. Tanpa terkecuali, hal ini juga dialami oleh masyarakat Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba), Kecamatan Batin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi yang pemasukan utama didapat dari getah karet.

Secara tradisional, pemanfaatan lahan oleh masyarakat dimulai dengan behumo, yaitu pembukaan hutan untuk penanaman padi. Tahap selanjutnya, setelah panen padi, yaitu menanam tanaman semusim seperti cabai, jagung, sayuran, dan lain-lain. Begitu panen tanaman semusim, barulah menanam karet sembari ditumpangsarikan dengan durian, nangka, duku, dan lain-lain.

Masa tunggu tanaman karet hingga siap deres bisa sampai sepuluh tahun. Selama masa tunggu, lahan karet tadi dibiarkan begitu saja dibarengi dengan membuka lahan atau behumo di tempat lain. Begitulah pola olah lahan yang dilakukan.

Lahan karet yang dibiarkan tanpa perawatan tadi berubah menjadi hutan sekunder, baik tajuk maupun kerapatannya. Selama masa tunggu, karet akan bersaing dan berbagi lahan dengan tanaman lain yang tumbuh bebas. Pengelolaan karet seperti ini kurang bagus, dari 500 bibit tinggal 200-300 batang yang bisa besar karena persaingan dengan tanaman lain yang dibiarkan tumbuh tanpa diperhatikan.

Berubahnya lahan karet menjadi hutan sekunder sebenarnya menguntungkan secara ekologis, karena beberapa jenis flora-fauna akan tumbuh berdampingan. Secara tidak langsung, hutan sekunder lahan karet juga memiliki fungsi konservasi (penahan longsor, erosi, dan banjir) dan pengatur tata air tanah (hidrologis), dan lain-lain.

Pola pengelolaan lahan secara tradisional dan kurangnya perawatan menjadikan karet kurang menghasilkan secara ekonomi. Selain itu, karet yang ditanam bukan berkualitas tinggi, sehingga getah yang keluar juga sedikit.

Masalah akan bertambah ketika penghujan, karet sulit dideres. Apalagi ketika harga fluktuatif dan masyarakat tidak mempunyai tanaman lain yang bisa dimanfaatkan untuk menopang pendapatan.

Pada akhirnya, permasalahan ekonomi dan ekologi akan mempengaruhi pola pengelolaan lahan yang dalam jangka panjang dikhawatirkan akan merusak kawasan hutan. Jalan keluar yang bisa memadukan kepentingan ekonomi dan ekologi secara berkelanjutan sangat diperlukan.

Salah satunya adalah sistem komoditi tanaman bertingkat. bertujuan mengoptimalkan lahan dengan sedikit menggeser posisi karet sebagai tanaman utama dan diselingi dengan tanaman yang bisa memberikan penghasilan jangka pendek, menengah, maupun panjang.

Cara kerjanya adalah mengembangkan tanaman bernilai ekonomi sebagai pelengkap dan pendamping pohon karet. Antar pohon karet diberi tanaman yang kanopinya bertingkat (rendah, menengah, dan tinggi). Tanamannya juga harus yang memberikan penghasilan bertingkat (harian, mingguan, bulanan, dan tahunan).

Masyarakat dilibatkan dalam merencanakan dan mengembangkan sistem komoditi tanaman bertingkat. Mereka mempelajari jenis tanaman yang cocok sebagai pendamping karet, kondisi lahan, dan hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam menerapkan system komoditi bertingkat. Kunjungan ke daerah yang telah menerapkan sistem ini memberikan harapan dan semangat mengelola lahan dengan lebih baik.

Pohon kakao (cokelat), kapulaga, dan jernang dipilih masyarakat sebagai pendamping. Tanaman ini tidak mengenal perubahan cuaca dan berbuah sepanjang tahun serta harganya bagus di pasaran. Perpaduannya menghasilkan dukungan antar kanopi yang baik, kapulaga yang berkanopi rendah ditopang oleh kakao yang berkanopi menengah. Kakao ditopang karet yang berkanopi tinggi. Kemudian dilengkapi dengan jernang.

Pola ini bisa menjadikan penghasilan masyarakat bertingkat, tidak hanya bergantung pada satu tanaman. Hasil getah karet untuk menopang kebutuhan harian, kakao untuk mingguan, kapulaga untuk bulanan, dan jernang untuk tahunan.

Harapan dalam jangka panjang adalah perubahan pola budidaya tanaman dan pemanfaatan lahan. Pngembangan komoditi bertingkat juga akan membentuk pola pikir, bahwa hutan tidak lagi dipandang sebagai kawasan yang akan dibuka untuk diolah terus-menerus, tetapi juga perlu memperhatikan sisi ekologinya.

Metode komoditi tanaman bertingkat membuat ekonomi masyarakat Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) meningkat dan lestari secara ekologi.

Sumber:

Buku, Dinaldi, Sekelumit Kisah Lapangan: Mendorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Jambi: 2016, Warsi.

Foto: Agrozine

Ditulis ulang oleh: Ridwan Faqih A

Editor: Nurhayati