Memupuk Asa dari Puncak Gunung Karang

Pengembangan usaha hutan sosial merupakan kegiatan lanjutan pasca diturunkannya izin pengelolaan hutan. Sebuah izin kelola selama 35 tahun yang diharapkan dapat meningkatkan harkat hidup masyarakat di sekitar hutan. Intinya, masyarakat dilibatkan dalam mengelola sekaligus menjaga dan meningkatkan kelestarian hutan.

Tantangan berikutnya setelah kelompok masyarakat mendapatkan izin adalah kapasitas pengelolaan usaha, kelembagaan, dan kawasan. Sebenarnya masalah atau tantangan ini bisa ditekan ke batas minimal. Caranya adalah melakukan kemitraan lingkungan dengan melibatkan para akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah, dan media.

Model ini biasa disebut dengan kemitraan ABCGM. Caranya adalah, para pihak tersebut bekerjasama bahu-membahu meningkatkan kapasitas kelompok usaha sesuai dengan peran dan tugasnya masing-masing. Secara praktik memang masih agak sulit diterapkan dengan kelima pihak secara bersama-sama, tetapi langkah ini adalah sebuah pertanda kemajuan yang baik bagi pengembangan kelompok usaha.

Perihal kemitraan, kita bisa belajar dari KUPS Gunung Karang. KUPS yang terletak di ujung selatan Desa Babakan Jawa, Majalengka. Hanya 8 KM dari pusat kota Kabupaten Majalengka.

KUPS yang baru dibentuk dan dikembangkan pada 2017 silam, sedang mengembangkan usaha jasa lingkungan ekowisata alam.  Usaha ekowisata yang diketuai oleh Tayum tak lepas dari masalah. Efek badai pandemi covid-19 berimbas pada penutupan lokasi ekowisata. Segala kegiatan terhenti, mati suri selama dua tahun.

Pada sisi lain, seharusnya Tayum dan anggotanya mendapat pendampingan dari pendamping perhutanan sosial. Nyatanya, karena satu dan lain hal, KUPS Gunung Karang belum mendapatkannya. Masalah ini tak menyurutkan langkah semangat mereka.

Usut punya usut, ternyata ada unsur penyemangat yang memberikan dorongan besar kepada masyarakat. Faktor sejarahlah yang memberikan energi positif. Masyarakat percaya bahwa di puncak Gunung Karang ini, dahulu, sebenarnya adalah taman dari sebuah kerajaan. Masyarakat sekitar yang bermalam di puncak sering mendapat penglihatan baik secara langsung maupun melalui mimpi. Masyarakat meyakini bahwa hamparan serta struktur batuan yang ada, menyerupai undakan-undakan yang tak sepenuhnya tersusun secara alami.

Cerita sejarah ini ingin dipertahankan oleh masyarakat agar anak cucunya kelak bisa mengetahui atau menyingkap lebih jauh daripada sejarah Gunung Karang. Kemudian, masyarakat ingin meramaikan kembali tempat ini. Ekowisata dinilai menjadi salah satu sarana pengenalan sejarah disamping pengembangan wisata berbasis alam. Bentuk yang diinginkan adalah ada sebuah usaha untuk menguri-uri budaya lokal.

Berbagai struktur batuan membentuk undakan bertingkat yang tersusun rapi. Pada puncak gunung terhampar bongkahan-bongkahan batu besar yang terlihat seperti bebatuan karang di tepian laut. Warga membangun spot foto berlatar pemandangan alam yang menakjubkan.

Sisi barat gunung berupa jurang terjal dan di bawah agak jauh terdapat Sungai Cimanuk. Bentang alamm yang memisahkan Majalengka dengan dengan Kabupaten Sumedang. Jika memandang sekelilingnya maka akan tampak perbukitan hijau kebiruan yang memanjakan mata. Sebelah kanan belakang juga tampak Gunung Ciremai yang berdiri megah.

Berdasarkan potensi alam ini, masyarakat berusaha mengembangkan jasa lingkungan ekowisata alam. Jasa yang ditawarkan berupa pemandangan alam, goa, spot foto, camping ground, dan eduwisata untuk mengenalkan budaya lokal seperti musik, tari, serta permainan tradisional.

Setelah sempat mati suri, KUPS Gunung Karang bermitra dengan Katadata sebagai upaya untuk bangkit kembali. Kemitraan yang dibangun ada 5 poin, yaitu identifikasi kebutuhan KUPS, peningkatan kapasitas pendamping, kegiatan promosi ekowisata, fasilitasi pengembangan kemitraan lingkungan, dan pembuatan konten pengembangan ekowisata.

Biasanya, ketika aset alam dikelola menjadi destinasi wisata, penggerak utamanya adalah kekuatan pasar (market driven). Yakni pemilik modal berkolaborasi bersama pemerintah setempat melakukan penguasaan lahan dan pengelolaan wisata secara ekslusif tanpa partisipasi masyarakat. Pendekatan ekonomi pariwisata seperti ini hanya akan memperkuat posisi investor dengan pola patron-klien. Investor menjadi patron dengan kekuatan modal dan jaringan yang dimiliki. Sementara masyarakat menjadi klien berupa kuli dalam kegiatan pariwisata.

Harusnya, pengembangan aset di dalam masyarakat bergeser dan bertumpu pada spirit kewargaan. Yaitu pembangunan yang digerakkan oleh komunitas warga (community driven development). Dalam konteks perhutanan sosial, pembentukan KPS yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan KUPS merupakan bentuk usaha pemberdayaan masyarakat yang berangkat dari komunitas warga (KUPS).

Kemitraan lingkungan menempatkan mitra perhutanan sosial dalam posisi yang setara dengan KUPS. Sehingga hubungan yang terbentuk adalah saling belajar dan meningkatkan kapasitas masing-masing. Bukan dalam kerangka pemberi dan penerima modal.

Harapannya, warga mampu mengorganisir diri melalui KUPS. Mereka melakukan inisiatif dan kontrol terkait orientasi pengembangan aset secara mandiri, bagaimana ekowisata berbasis lokalitas ini dapat tumbuh dan berkembang untuk menyejahterakan masyarakat.

Geliat wisata alam yang semakin menjamur bukannya tanpa persoalan. Misalnya masalah pemasaran dan penyebarluasan informasi yang belum terorganisir, kemampuan pengelolaan kelembagaan yang masih lemah, pengetahuan mengenai eko-edu-wisata yang perlu ditingkatkan, sarana dan prasarana menuju dan di lokasi, pengelolaan sampah, serta konflik dengan pengelola kawasan hutan sebelumnya.

Dalam konteks seperti inilah kolaborasi dan interkoneksi para pihak dalam ABCGM perlu diperjelas dan ditingkatkan. Permasalahan seperti ini perlu ditindaklanjuti dan dicari jalan keluarnya bersama-sama. Ada harapan atau asa yang perlu diwujudkan demi meningkatnya taraf hidup masyarakat sekaligus melestarikan hutan. Masyarakat bisa menjadi ujung tombak potensial demi kelestarian alam yang sering dibicarakan itu.

Penulis: Ridwan FA, editor: Nurhayati