Penting! Peran Pendampingan dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial

Program Perhutanan Sosial menjadi angin segar masyarakat sekitar hutan bisa mengelola hutan. Namun  dalam perjalanannya,  banyak masyarakat yang sudah mendapatkan izin masih belum bisa mengelola hutan secara maskimal. Karena itu, peran pendampingan menjadi sangat penting agar masyarakat bisa mengelola hutan dari hulu-hilir dan memberikan dampak ekonomi yang nyata sekaligus melestarikan hutan. 

Program Perhutanan Sosial memang bukan merupakan program baru di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, program yang awalnya lebih dikenal dengan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ini pada tahun 2015 menjadi salah satu program utama Presiden Jokowi untuk memberikan kesempatan pada masyarakat di sekitar hutan memiliki akses mengelola  hutan.

Bila dulu akses pengelolan hutan hanya diperuntukkan bagi korporasi, namun dengan adanya program Perhutanan Sosial, masyarakat sekitar hutan bisa mendapatkan hasil hutan dengan mengelolanya sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan.

Direktur Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dra. Jo Kumala Dewi, M.Sc mengatakan, pada periode pertama ada sekitar 12,7 juta hektar (ha) area hutan negara yang akan diberikan kepada masyarakat untuk diberikan akses kelola.

“Memang pada awalnya sempat disalahpahami bahwa hutan ini akan diberikan kepada masyarakat. Padahal bukan lahan hutannya, tapi akses kelolanya. Akses kelola yang diberikan itu selama 35 tahun kepada masyarakat,“ ujarnya.

Sejak 2015 hingga saat ini, Jo Kumala Dewi mengatakan, sudah sekitar 4,9 juta ha lahan yang diberikan izin pengelolaanya kepada lebih dari 1 juta KK dengan lebih dari 7.400 Surat Keputusan (SK) Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Ditengah animo masyarakat dalam pengelolaan Perhutanan Sosial ini masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama dalam hal pendampingan. Kumala Dewi mengaku, banyak masyarakat yang kebingungan ketika mendapatkan ijin mengelola lahan yang luas untuk jangka panjang.

“Pengelolaannya harus benar-benar. Dalam pengelolaan secara keilmuan ada tiga. Pertama kelola kelembagaan, kemudian kelola kawasannya, yaitu fisik hutannya. Ketiga Kelola Usaha. Sehingga seringkali, pak Jokowi didalam event penyerahan SK selalu mengatakan jangan kelolanya secara konvensional,” ujarnya.

Peran Pendampingan

Karena itu peran pendampingan kepada masyarakat yang mendapatkan ijin pengelolaan hutan menjadi sangat penting. Pendampingan diperlukan agar masyarakat yang mendapatkan ijin hanya mengelola lahan secara konvensional namun harus menjadi bisnis Perhutanan Sosial.

Penampingan diperlukan dalam hal pengembangan usaha Kehutanan Sosial, terutama pendampingan cara menyusun rencana kelola bertahap mulai dari 1 tahun, 10 tahun hingga 35 tahun. Setelah memiliki RKPS masyarakat bisa membuat kelompok usaha untuk mendorong komoditas unggulan daerahnya.

“Bagaimana para pemegang ijin itu bisa menjadi businessman yang bergerak di bidang agroforestry. Silvopasture dan silvofishery kalau di pesisir, karena itu diaturlah ada kewajiban pemerintah memberikan pendampingan,” ungkapnya.

Kumala Dewi juga tak menyangkal jika pendamping (penyuluh kehutanan) yang saat ini berjumlah 1.510 dirasa masih sangat kurang. Seharusnya menurutnya, satu orang mendampingi 1 SK. Saat ini di lapangan ternyata tiap satu pendamping bisa lebih dari 1 SK.

“Jadi pendamping pemerintah bisa dibilang penyuluh kehutanan yang pegawai negeri, ada juga yang PKSN swadaya masyarakat, ada juga yang bakti rimbawan. Nah istilahnya pendamping pemerintah itu terdiri dari itu,” tuturnya.

Namun demikian kata Kumala Dewi, di luar pendamping tersebut pihaknya sedang mencoba membuat terobosan dengan kolaborasi pendampingan dengan penyuluh pertanian, penyuluh desa, bahkan penyuluh sosial BPK, dan kelautan perikanan.

Bukan hanya  penyuluh, pendampingan Perhutanan Sosial juga bisa dilakukan berbagai pihak. Dari mulai akedemisi dengan berbagai program inovasi mahasiswa dan sebagainya, LSM, dunia usaha dengan CSRnya hingga petani milenial yang kini sukses dengan berbagai terobosan dibidang  pengolahan hasil pertanian.

Diungkapkan Jo Kumala Dewi, petani milenial bisa memberikan pendampinan kepada para masyarakat dalam mengelola hasil hutan mulai dari mengolah, mengemas, hingga memasarkannya. Artinya, pendampingan jangan hanya dibayangkan sebagai pendampingan yang harus melekat secara terus menerus. Pendampingan bisa dengan konsep bermitra antara pendamping dengan masyarakat pengelola Perhutanan Sosial.

“Saya sudah sempat bicara dengan Sandy Okta, ketua petani millenial. Saya juga pernah coba dengan salah satu petani milenia di Makassar, kita ngobrol dengan para pendamping dari Maluku, Papua dan Makasar,” tambahnya.

Menurut Kumala Dewi, masih banyaknya permasalahan dalam pengelolaan Perhutanan Sosial. Ada beberapa lokasi yang sudah berhasil dan bisa dijadikan contoh. Seperti beberapa destinasi wisata di lokasi Perhutanan Sosial yang bukan hanya dijual hasil hutannya. Salah satunya destinasi wisata Aik Beriak di Lombok, NTB.

Memang kata Kumala Dewi, secara alam ada dalam hutan, hanya selama ini tidak dikelola dengan baik karena tidak  ada aksesnya. Namun ketika diberikan kepada masyarakat dan dikelola dengan baik, lalu dibuat akses jalannya dan kemudian masuk kulinernya, banyak wisatawan yang datang. “Masih banyak lagi hasil pengelolaan PS yang berhasil dan bisa dijadikan contoh,” ungkapnya.

Sumber artikel: https://tabloidsinartani.com/detail/indeks/agri-penyuluhan/20088-Penting-Peran-Pendampingan-dalam-Pengelolaan-Perhutanan-Sosial

Kelahiran Perpres, Percepat Lari Perhutanan Sosial

Perhutanan Sosial sebagai salah satu program Reforma Agraria yang Presiden
Joko Widodo canangkan sebentar lagi akan berlari kencang. Dengan terbitnya
Peraturan Presiden tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan
Perhutanan Sosial membuat implementasi program ini akan semakin lancar
dan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat di sekitar
hutan

Dalam lima tahun berjalan implementasi Program Perhutanan Sosial,  masih  dirasakan belum optimal. Dari hasil evaluasi yang dilakukan di 32 provinsi ada perlambatan implementasi, baik dilihat dari indikator sosial, ekologi dan ekonomi.

Terbitnya Perpres diharapkan akan  ada percepatan distribusi akses perhutanan sosial. Diharapkan target 12,7 juta ha dapat tercapai, tenaga pendamping perhutanan sosial sejumlah 25.000 orang dan peningkatan kualitas kelompok usaha perhutanan sosial.

Dalam Perpres ini  memuat perencanaan jangka menengah hingga tahun 2030 yang menjadi acuan para pihak dalam berkoordinasi, berkolaborasi dalam mencapai tujuan nasional melalui berbagi  peran, sumber daya dan tanggung jawab.

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup  dan  Kehutanan, Bambang Supriyanto mengungkapkan, perhutanan sosial lahir karena melihat 36,7% masyarakat yang tinggal   di     sekitar  hutan   hidup berada di  bawah garis kemiskinan. Bahkan sebelum tahun 2015, terjadi ketidakadilan akses pengelolaan hutan bagi pelaku ekonomi.

Dari 125 juta ha kawasan hutan, sekitar 43 juta telah diberikan hak kelola  kepada  perusahaan  seluas 42,6 juta  ha  (96%). Sementara hak kelola rakyat hanya seluas 400 ribu ha  atau  4%.   Ketimpangan  akses ini  mengakibatkan  akses produksi yang terbatas bagi masyarakat, sehingga banyak klaim yang berbuntut konflik dan berimplikasi hukum.

“Bahkan    kriminalisasi masyarakat penggarap kawasan hutan,”  ujar Bambang  kepada Tabloid  Sinar  Tani  di   Jakarta, beberapa waktu lalu. Karena itu hadirnya  program  Perhutanan Sosial menjadi angin segar bagi masyarakat yang tinggal di  25.863 desa yang ada di sekitar kawasan hutan.

Program Perhutanan Sosial memberikan   tiga   pilar  manfaat dan  fungsi.  Pertama,  pilar  sosial yaitu mampu menyelesaikan persoalan konflik tenurial melalui legalisasi  akses  kelola hutan  oleh masyarakat. Selain itu  memberikan pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah adatnya melalui lima skema   perhutanan   sosial   yakni hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,  kemitraan kehutanan dan hutan adat.

Kedua,     lanjutnya,     pilar ekonomi  yaitu  sebagai  solusi masalah  ekonomi.  Perhutanan sosial memberikan kesempatan penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan melalui usaha hasil hutan. “Perhutanan sosial akan menumbuhkan  sentra ekonomi lokal dan daerah,” kata Bambang.

Ketiga, pilar ekologi. Menurut Bambang, pilar ini  mempunyai manfaat   dan   fungsinya   sangat vital.  Secara   ekologi   perhutanan  sosial    akan     memulihkan masalah lingkungan dengan mengurangi kebakaran hutan, meningkatkan  tutupan  lahan, serta mengembalikan  kualitas lingkungan dan kelestarian hutan dengan partisipasi masyarakat.

Dengan target distribusi akses sebesar  12,7 juta ha, proporsi akses  kelola rakyat nantinya menjadi sebesar 30%. Harapannya ketimpangan akses dapat diselesaikan dan dengan proporsi yang cukup 1-2 ha/KK di  Jawa (budaya bertani) dan 4-5 ha/KK di luar Jawa (budaya pekebun).

Sampai    kini   capaian   akses kelola perhutanan sosial melalui pemberian SK Persetujuan Perhutanan  Sosial  sudah  seluas 4.929.380,01 ha dengan 7.494 unit SK dan  penerima manfaat 1.080.476 KK. SK tersebut telah ditindaklanjuti pengelolaannya dengan      pembentukan 9.219 Kelompok  Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).

Dampak Perhutanan Sosial

Bambang berharap, perhutanan sosial memberikan  dampak  nyata kepada masyarakat. Pertama, dampak jangka pendek yaitu perbaikan dan adaptasi sistem, tersedianya indikasi wilayah kelola dan perbaikan proses bisnis hutan sosial.

Selain   itu,     perbaikan    modal sosial, perbaikan akses masyarakat terhadap  lembaga   keuangan mikro,   pendampingan  dan  akses pasar terhadap produk masyarakat, serta peningkatan kapasitas manajemen masyarakat.

Sedangkan dampak jangka menengah yang akan dirasakan masyarakat  yaitu pengembangan ekonomi domestik, adanya sentra produksi hasil hutan, penurunan konflik tenurial (masyarakat dan perusahaan)   dan   kelestarian hutan. Dampak jangka panjang ialah terbangun pusat ekonomi domestik      dan      pertumbuhan desa sentra produksi hasil hutan berbasis desa yang menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan.

Pasca  persetujuan perhutanan sosial, Bambang  mengatakan, pemerintah terus mendorong masyarakat untuk  memanfaatkan dan mengoptimalkan tata kelola atas areal perhutanan  sosial yang telah diberikan melalui kelola kelembagaan   atau  kelompok, kelola kawasan dan  kelola usaha. Herman/Yul

Sumber. Artikel dari Tabloid Sinar Tani Pertanian Indonesia baru No 3945 Edisi 1 – 7 Juni 2020

KHDPK: Cara Baru Mengelola Hutan Jawa

Halo

Pada 18 Mei 2022, sekitar 4.000 karyawan Perum Perhutani berdemonstrasi ke kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka menolak kebijakan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).

Melalui kebijakan ini pemerintah hendak mengambil alih 1,1 juta hektare areal hutan Jawa, atau 49% dari luas hutan yang selama ini dikelola Perhutani, sejak zaman Belanda. Para karyawan khawatir kebijakan KHDPK akan mempengaruhi mereka. Para karyawan bahkan khawatir kebijakan baru ini mengancam kelestarian hutan Jawa.

Kekhawatiran para karyawan beralasan karena pemerintah belum melakukan sosialisasi KHDPK secara menyeluruh. Isu KHDPK baru sebatas obrol-obrolan, isu, dan bahan omong-omong, terutama setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan SK 287/2022 pada 5 April 2022 tentang luas KHDPK di tiap provinsi.

Di mana lokasi 1,1 juta hektare belum terang benar. Namun, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto dan Direktur SDM Perhutani Deni Ermansyah menegaskan bahwa KHDPK tak akan diikuti oleh pemecatan. Karyawan yang terdampak KHDPK akan disalurkan menjadi pendamping perhutanan sosial—satu skema yang diakomodasi dalam KHDPK.

KHDPK merupakan mandat UU Cipta Kerja dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang diturunkan dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan. Pemerintah beralasan, kebijakan KHDPK merupakan cara memperbaiki tata kelola hutan Jawa sekaligus memperbaiki performa bisnis Perhutani.

Selama ini BUMN kehutanan ini terbebani oleh pelbagai konflik sosial di areal garapan mereka. Tekanan masyarakat kepada hutan Perhutani melahirkan konflik tenurial yang tak mudah diselesaikan. Izin Pengelolaan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) dan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) yang menjadi skema perhutanan sosial di Jawa dianggap belum maksimal memberikan nilai tambah hutan Jawa kepada aspek ekonomi, sosial, dan ekologi.

KHDPK datang dengan tujuan menarik masalah Perhutani menjadi urusan pemerintah pusat. Sehingga, Perhutani akan fokus menggarap bisnis mereka sebagaimana umumnya perusahaan publik yang mendapat mandat memberikan dividen kepada negara. Relevankah tujuan ini? Bagaimana implementasinya? Bagaimana mencegah para penunggang gelap memanfaatkan celah kebijakan ini?

Kami mengulasnya dalam beberapa artikel. Selamat membaca.

Salam lestari,

Siti Sadida Hafsyah,
Redaktur
redaksi@forestdigest.com

artikel diambil dari forestdigest.com

Wamen LHK: FoLU Net-Sink 2030, Langkah Maju Indonesia untuk Penanganan Perubahan Iklim

SIARAN PERS
Nomor: SP.130 /HUMAS/PPIP/HMS.3/05/2022

Keseriusan Indonesia untuk urusan penanganan isu perubahan iklim, tergambar pada inisiasi “Indonesia FoLU Net-Sink 2030”. Komitmen ini merupakan pencanangan pencapaian penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya atau FoLU (Forestry and other Land Use). Suatu kondisi dimana tingkat serapan sudah berimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi sektor FoLU terkait pada tahun 2030.

Langkah maju dari sektor FoLU salah satunya adalah dengan keluarnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 168 tentang FoLU NetSink 2030 untuk pengendalian perubahan iklim pada tanggal 24 Februari 2022.

“Melalui Kepmen LHK Nomor 168 Tahun 2022 ini, pemerintah menunjukkan keseriusan untuk mengusung konsep ‘Indonesia FoLU Net Sink 2030’ sebagai sebuah pendekatan dan strategi dimana pada tahun 2030, tingkat serapan emisi sektor FoLU ditargetkan sudah berimbang atau lebih tinggi dari pada tingkat emisinya (Net Sink),” demikian disampaikan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong dalam webinar Green Economy Indonesia Summit 2022: The Future Economy of Indonesia, Rabu (11/05), di Jakarta.

Selanjutnya, dikatakan Alue Dohong setelah 2030 Sektor FoLU ditargetkan sudah dapat menyerap GRK bersamaan dengan kegiatan  penurunan emisi GRK dari aktivitas transisi energi atau dekarbonisasi serta kegiatan eksplorasi sektor lainnya, tidak terkecuali sektor pertanian.

“Dengan komitmen sektor FoLU yang ditargetkan dapat menurunkan hampir 60% dari total target penurunan emisi nasional, diharapkan ini dapat menjadi pondasi atau landasan untuk mencapai netral karbon/net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat,” tegas Alue Dohong dalam webinar yang diikuti lebih dari 2.500 peserta secara virtual.

Di samping FoLU, Pemerintah juga telah menyusun Strategi Implementasi NDC pada tahun 2017, ditindak-lanjuti dengan penyusunan Road Map NDC Mitigasi pada tahun 2019. Pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia juga menyampaikan update NDC dan menyusun strategi jangka panjang pembangunan rendah karbon berketahanan iklim (Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050 atau LTS-LCCR 2050) dan telah disampaikan ke Sekretariat UNFCCC pada Juli 2021 sebelum pelaksanaan COP 26 UNFCCC di Glasgow pada November 2021 kemaren. Penyampaian ini sesuai dengan Keputusan 1/CP.21 Pasal 4 Ayat 19 UNFCCC, yang memandatkan negara yang meratifikasi Paris Agreement untuk menyusun rencana jangka panjang rendah emisi karbon berketahanan iklim (LTS-LCCR).

“Bapak Presiden Jokowi juga telah menyampaikan target Indonesia untuk mencapai Net-Zero Emission pada tahun 2060 atau sedapat-dapatnya lebih awal. Arahan Bapak Presiden kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sangat jelas, bahwa kita menjanjikan yang bisa kita kerjakan, tidak boleh hanya retorika, karena kita bertanggung jawab pada masyarakat kita sendiri sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” tegasnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato yang hadir sebagai pembicara kunci dalam webinar ini, menyampaikan bahwa pengendalian perubahan iklim juga menjadi bagian dari agenda G20, dimana salah satunya adalah transisi energi.

“Di dalam transisi energi terkait juga dengan pembangunan rendah karbon. Pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan selain untuk upaya pencapaian target penurunan emisi juga perolehan dukungan finansial yang bisa mempercepat energi rendah karbon,” ungkap Airlangga.

Selain transisi energi, dikatakan Airlangga, untuk pembangunan lain berbasis hijau, pemerintah juga mendorong carbon capture dan storage. Pembangunan ini termasuk di dalamnya industri berbasis gasifikasi seperti yang ada di Sumsel dan Kaltim, dan akan dibangun prototype carbon capture dan storage di Pulau Jawa.

“Diharapkan kita bisa menghitung nilai serapan karbon yang dihasilkan sehingga target penurunan emisi 29% tahun 2030 dapat segera tercapai,” jelas Airlangga.

Turut hadir dalam webinar ini Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ego Syahrial, Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR Diana Kusumastuti, Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri Kemenperin Doddy Rahadi, dan perwakilan dunia usaha serta peserta webinar.

Sumber: https://www.menlhk.go.id/site/single_post/4769/wamen-lhk-folu-net-sink-2030-langkah-maju-indonesia-untuk-penanganan-perubahan-iklim

Sosialisasi Perhutanan Sosial dalam Rangka Pengembangan Jejaring Kemitraan dengan Dunia Usaha

Riau, 25 November 2021 – “Meraih Mimpi Bersama – Masyarakat Sejahtera Hutan Lestari – Masyarakat Perhutanan Sosial dan Dunia Usaha.

Direktorat Kemitraan Lingkungan, PSKL, KLHK menggelar kegiatan sosialisasi yang melibatkan hampir 100 peserta dari berbagai perusahaan BUMN dan BUMS yang ada di Provinsi Riau, di Hotel Premiere Pekanbaru. Acara perdana ini memperkenalkan program Perhutanan Sosial sebagai program prioritas nasional yang ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian hutan. “Dari tidak tahu menjadi tahu”, itu komentar yang muncul dari peserta setelah mengikuti acara pada hari ini. Tentunya hal ini perlu ditindaklanjuti agar terwujud kemitraan dunia usaha bagi perhutanan sosial.

Selain Direktur Kemitraan Lingkungan, Jo Kumala Dewi yang membawakan materi “Perhutanan Sosial dan Potensi Kerjasama Mitra Dunia Usaha”, Apri Dwi Sumarah, Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera memaparkan potret “Keberhasilan Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial dalam Kemitraan.”

Dilanjutkan dengan materi “Program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan/TJSL BUMN” berdasarkan PERMEN BUMN No.5 Tahun 2021 oleh Tedy Poernomo mewakili Asisten Deputi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Kementerian BUMN. Paparan diakhiri oleh Riyandoko, Kepala Balai Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat, Region Riau APP Sinar Mas, yang menceritakan pengalaman dalam menggalang kegiatan kemitraan.

Salah satu Mitra Strategis dalam mendukung Perhutanan Sosial adalah kalangan Dunia Usaha, baik melalui kegiatan CSR atau TJSL yang sangat sejalan dengan kesejahteraan masyarakat, kelestarian lingkungan dan perbaikan kualitas hidup. Begitulah inti paparan Direktur Kemitraan Lingkungan sebagai pembuka diskusi.

Sedangkan dari perspektif Kementerian BUMN, yang mendukung pernyataan Direktur Kemitraan Lingkungan bahwa peran sosial BUMN dan perusahaan di bawahnya sudah selayaknya mengacu pada pembangunan berkelanjutan berdasarkan prinsip akuntabilitas, terintegrasi, terarah, terukur dampaknya. Hal ini bertujuan agar memberikan manfaat bagi pembangunan perusahaan, berkontribusi pada penciptaan nilai tambah dan membina usaha mikro dan usaha kecil agar lebih tangguh dan mandiri, serta masyarakat sekitar perusahaan dengan berorientasi pada 4 pilar sosial, ekonomi, lingkungan serta hukum dan tata kelola. Selain itu Tedy juga menjelaskan bahwa peran BUMN dengan program-program lingkungan dan kehutanan sudah diamanatkan dalam semangat BUMN itu sendiri.

BPSKL Wilayah Sumatera menyoroti perkembangan program Perhutanan Sosial yang ada di Sumatera, khususnya di Provinsi Riau, tantangan dan hambatan, serta peluang dan potensi kerjasamanya antara perusahaan dengan KUPS.

Perhutanan Sosial merupakan pintu masuk dalam menjalin kolaborasi usaha bersama dengan masyarakat sekitar hutan, dapat dimulai dari yang merupakan kewajiban, berlanjut dengan hal yang beyond compliance, demikian pengalaman yang dibagikan oleh Riyandoko.

Kegiatan yang dimoderatori oleh Kepala P3E Sumatera ini mengawali langkah kerjasama di kalangan dunia usaha dalam mendukung keberhasilan program perhutanan sosial. Diharapkan pada kesempatan berikutnya lebih banyak informasi dan kegiatan yang lebih konkrit untuk didiskusikan menjadi program kerjasama dalam CSR/TJSL. Demikian salah satu hasil evaluasi dari peserta.

 

Pameran PSKL di Paviliun Indonesia, COP-26 di Jakarta.

Sejak tanggal 1-12 Nopember 2021, KLHK mengadakan pagelaran pameran dari seluruh perwakilan Direktorat Jenderal dan para mitra KLHK, di Paviliun Indonesia di Auditorium Manggala Wanabakti, KLHK. Hari ini adalah hari terakhir Paviliun Indonesia  turut serta merayakan acara COP 26-UNFCCC yang sedang berlangsung di Glasgow UK.

Paviliun Indonesia berfungsi sebagai soft diplomacy bersamaan dengan hard diplomacy meja perundingan digelaran COP-26 UNFCCC, Glasgow. Sebagai upaya untuk menyuarakan tindakan, strategi, dan inovasi Indonesia kepada dunia internasional berupa aksi-aksi iklim Indonesia dalam mencegah peningkatan suhu global dibawah 1,5 derajat Celcius.

Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan turut andil merayakan dengan membuka stand pameran dan menggelar talk show secara hibrid. Masing-masing Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL), memamerkan produk hutan bukan kayu yang telah diolah dan dikemas dengan menarik.

Produk unggulan BPSKL ini merupakan hasil karya para Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). KUPS dengan didampingi oleh para pendamping Perhutanan Sosial berhasil mengolah lahannya, sehingga produk meningkat secara kualitas juga kuantitas. Hasil hutan KUPS seperti; minyak cengkih dari Maluku, berbagai olahan pala dari Maluku Utara, kopi dan madu dari hampir seluruh BPSKL dan lain sebagainya.

Para wakil KUPS tersebut, juga berbagi pengalaman melalui media sosial yang saat ini sedang terkenal, yaitu podcast. Salah satu podcast yang digelar adalah obrolan antara ibu Yuli, bapak Olop dari Maluku dan ibu Tia dari Papua dengan host ibu Lilian dan Pijan. Obrolan mereka bertema “Pengarusutamaan Gender dalam Perhutanan Sosial“.

Berbicara tentang hasil hutan Maluku dan Papua berarti bicara rempah-rempah, ibu Yuli dari Maluku Utara lebih menggeluti pala, sedangkan bapak Olop dari Maluku sangat pakar dalam hal pengolahan cengkih. Sesuai tema, narasumber bercerita bahwa keberhasilan pengelolaan hasil hutan ini sangat bergantung pada para perempuan, juga didukung oleh anak-anak. Namun tetap mengutamakan keadilan yang responsif gender dalam pembagian pekerjaan.

Stand PSKL di Paviliun Indonesia di Auditorium Manggala Wanabakti menjadi etalase dari keberhasilan PSKL dalam mengelola kawasan hutan. Masyarakat setempat sebagai subjek pengolah, mendapatkan hasil langsung keberhasilan perhutanan sosial. Perhutanan sosial ini merupakan strategi dan tindakan bertujuan mensejahterakan masyarakat dan melestarikan hutan yang di ujungnya adalah turut menyumbang penurunan suhu global.

Sepuluh Pahlawan Lingkungan Terima Anugerah Kalpataru 2021

SEBANYAK 10 individu dan organisasi yang berjasa pada upaya pelestarian lingkungan hidup menerima anugerah Kalpataru 2021 pada hari ini, Kamis (14/10). Para pemenang penghargaan itu merupakan pahlwan lingkungan yang sudah berkontribusi dan sekaligus menjadi amanah dalam memberi contoh baik bagi masyarakat.

“Penghargaan Kalpataru merupakan amanah terhadap penerimanya untuk tetap menjaga dan terus meningkatkan kepeloporan serta upaya-upaya pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dalam acara Penganugerahan Kalpataru 2021, Kamis (14/10).

Siti mengatakan bahwa sejak awal perjalanan Kalpataru di 1980, para penerimanya merupakan contoh dari aksi nyata pada lingkungan. Hingga memasuki 41 tahun perjalanan anugerah tersebut diharapkan terus memberi dampak positif baik dari sisi ekologi, sosial budaya dan ekonomi terhadap lingkungannya.

Kalpataru diharapkan mampu memotivasi lebih banyak orang untuk peduli terhadap lingkungan. Para pemenangnya merupakan pelopor di tengah masyarakat. “Ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi, kepeloporan dan ketokohan dalam melakukan berbagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan secara berkelanjutan,” imbuhnya. Di tahun 2021, Kalpataru diberikan kepada 10 individu dan organisasi dari berbagai daerah di Indonesia.

Selain itu ada penghargaan khusus kepada tokoh pemuda yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Adapun, pemenang dalam kategori perintis lingkungan adalah Purwo Harsono dari D.I. Yogyakarta, Damianus Nadu dari Kalimantan Barat, Darmawan Denassa dari Sulawesi Selatan, dan Muh. Yusri dari Sulawesi Barat. Sementara untuk kategori pengabdi lingkungan dianugerahkan kepada Suswaningsih dari D.I. Yogyakarta dan bagi kategori penyelamat lingkungan adalah Lembaga Pengelola Hutan Desa Pasar Rawa dari Sumatra Utara, Forum Pemuda Peduli Karst Citatah dari Jawa Barat, Sombori Dive Conservation dari Sulawesi Tengah

Pada kategori pembina lingkungan diberikan kepada Suhadak dari Lampung dan K.H. Zarkasyi Hasbi dari Kalimantan Selatan. Sedangkan kategori penghargaan khusus diberikan kepada Ali Topan dari Sulawesi Selatan sebagai pemuda inspiratif untuk advokasi lingkungan. (H-3)

Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/439894/10-pahlawan-lingkungan-terima-anugerah-kalpataru-2021

Perempuan Mampu Menjadi Tokoh Pengelolaan Hutan

 

“Kesimpulan dari pertemuan hari ini bahwa perempuan mampu mengelola hutan dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu,” ujar Sekretaris Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama Desa Pal VIII, Feni Oktaviana pada Rabu, 6 Oktober 2021. “Perempuan juga mampu melestarikan dan melindungi hutan, … dan perempuan juga mampu menjadi tokoh dalam mengelola hutan,” tambah Feni.

Sejak pagi hingga sore hari Rabu itu, perwakilan KPPL Maju Bersama, KPPL Karya Mandiri Desa Tebat Tenong Luar, KPPL Sumber Jaya Desa Karang Jaya, KPPL Sejahtera Desa Sumber dan Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD) mendiskusikan kerusakan hutan, krisis iklim, krisis pangan dan dampaknya terhadap perempuan. Mereka juga mendiskusikan ketokohan perempuan dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu untuk ketangguhan iklim dan ketahanan pangan.

Diskusi tersebut mereka lakukan pada hari pertama Pelatihan Kepemimpinan Perempuan Dalam Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) untuk Ketangguhan Iklim dan Ketahanan Pangan yang dibantu oleh fasilitator Swary Utami Dewi, Anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial yang juga Climate Leader di Climate Reality. “Bila hutan mengalami kerusakan, maka yang dirugikan adalah semua mahluk hidup, terutama perempuan,” kata Feni.

Krisis Multi Dimensi

Bendahara KPPL Karya Mandiri, Nurlela mengatakan, perempuan harus mengambil peran dalam menjaga kelestarian hutan untuk membangun ketangguhan iklim dan ketahanan pangan. “Perempuan harus mengetahui penyebab, dampak dan upaya menghadapi perubahan iklim, … perempuan juga harus mampu menjaga ketahanan pangan agar tidak terjadi krisis pangan, krisis ekonomi, krisis pendidikan dan krisis-krisis lainnya,” kata Nurlela.

Selain mengelola hutan dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu secara berkelanjutan, Nurlela menambahkan, perannya lain yang juga mampu dilakukan oleh perempuan adalah melakukan patroli di hutan, membuat pembibitan dan membagikan bibit kepada masyarakat untuk memulihkan kerusakan hutan, dan mengajak masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan.

Memulihkan Kerusakan Hutan

Anggota KPPL Sumber Jaya, Rohima mengungkapkan, KPPL Sumber Jaya dan KPPL Sejahtera telah berencana untuk memulihkan kerusakan hutan dengan menanam beragam pohon kehutanan, termasuk Nangka, Alpukat, Bambu, Petai, Jengkol, Kabau, Durian dan Pala. “Insya Allah, kami dari kelompok Sumber Jaya dan Sejahtera akan melaksanakan apa yang kami rencanakan, sehingga kami dapat memulihkan kerusakan hutan,” kata Rohima.

KPPL Sumber Jaya dan KPPL Sejahtera sedang berproses menjalin kemitraan dengan Balai Besar TNKS untuk memulihkan sekitar 80 Ha kawasan TNKS. Proposal kemitraan konservasi yang mereka ajukan telah ditindaklanjuti oleh Plt. Kepala Balai Besar TNKS, Pratono Puroso dengan mengirimkan surat permohonan persetujuan kepada Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno.

Sementara itu, KPPL Maju Bersama dan KPPL Karya Mandiri telah menjalin kemitraan dengan Balai Besar TNKS untuk mengelola kawasan TNKS dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu di kawasan TNKS. Sedangkan KPPSWD merupakan komunitas perempuan muda yang aktif membantu perempuan desa penyangga TNKS untuk mengomunikasikan pengetahuan dan aspirasi terkait upaya pelestarian TNKS, yang merupakan bagian dari Tropical Rainforest Heritage of Sumatra yang masuk daftar Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites).

Koperasi Bersama

Sekretaris KPPSWD, Rika Nofrianti mengatakan, KPPSWD akan terus mengambil peran untuk membantu mengomunikasikan pengetahuan dan aspirasi perempuan desa penyangga TNKS melalui tulisan, foto dan video. Selain itu, KPPSWD akan ikut mendirikan badan usaha (koperasi) bersama KPPL Maju Bersama, KPPL Karya Mandiri, KPPL Sumber Jaya dan KPPL Sejahtera. “Kami juga akan ikut mengelola koperasi,” kata Rika.

Berpeluang Menjadi Role Model

Plt. Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Catur Endah Prasetiani P sangat mengapresiasi rencana pendirian koperasi oleh kelima kelompok perempuan tersebut untuk pengembangan usaha hasil hutan bukan kayu. Tidak menutup kemungkinan, menurut Catur, bisa menjadi role model usaha perhutanan sosial.

“Ibu-ibu bisa tetap fokus pada pengelolaan kawasan hutan dan pengolahan hasil hutan bukan kayu, sedangkan teman-teman milenial (KPPSWD) bisa berperan dalam pemasaran,” kata Catur saat memaparkan materi “Pengelolaan Kawasan Hutan dan Usaha HHBK Secara Berkelanjutan untuk Menghadapi Krisis Iklim dan Pangan” pada hari kedua Pelatihan Kepemimpinan Perempuan Dalam Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) untuk Ketangguhan Iklim dan Ketahanan Pangan, Kamis, 7 Oktober 2021.

Agar suatu usaha bisa berkelanjutan, Catur menambahkan, perlu memiliki strategi pemasaran yang tepat. Selain kualitas dan keunikan produk, hal lain yang harus menjadi perhatian adalah merek, kemasan dan strategi pemasaran digital. Oleh karena itu, Catur sengaja mengajak stafnya yang juga Anggota Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender di Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Ida Saidah untuk membantunya dalam menguatkan kapasitas peserta pelatihan terkait merek, kemasan dan pemasaran digital.

“Saya berharap ibu-ibu dan teman-teman bersedia untuk mengomunikasikan perkembangan koperasi. Bila ada kendala, mungkin kami bisa membantu untuk menemukan solusinya,” kata Catur. (**)

 

Keterangan gambar :

Perwakilan KPPL Maju Bersama Desa Pal VIII, KPPL Karya Mandiri Desa Tebat Tenong Luar, KPPL Sumber Jaya Desa Karang Jaya, KPPL Sejahtera Desa Sumber Bening dan Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD) bersama Plt. Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat, Ditjen PSKL, KLHK. Catur Endah Prasetiani P, Anggota Pokja PUG Ditjen. PSKL. Ida Saidah dan Anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial yang juga Climate Leader di Climate Reality, Swary Utami Dewi.

Forum Komunikasi Pendamping Perhutanan Sosial Wilayah Sumatera.

Untuk pertama kalinya “Forum Komunikasi Pendamping Perhutanan Sosial BPSKL Wilayah Sumatera”, dilaksanakan di Bogor, tanggal 28 – 29 September 2021 secara hybrid oleh Direktorat Kemitraan Lingkungan bersama BPSKL Sumatera.

Acara dibuka oleh Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, dihadiri 10 pendamping terbaik dari 10 Provinsi se Sumatera, Dinas yang membidangi Kehutanan, Pusat Penyuluhan LHK , TP2PS, dan Direktorat lingkup PSKL.

Dirjen PSKL menyampaikan agar menggunakan kesempatan ini secara efektif efisien, untuk membangun forum komunikasi dengan kepengurusan yang baik sebagai media komunikasi dan konsultasi sesama pendamping.

Beliau juga menyampaikan agar pendamping terbaik dari masing-masing Provinsi bisa menjadi “Duta Perhutanan Sosial“, yang mampu memotivasi dan menginspirasi pendamping dan kelompok lainnya dalam membantu keberhasilan progam perhutanan sosial. Agar forum ini dapat dilaksanakan di empat BPSKL lainnya, pesannya.

Selain itu, dalam acara ini Direktur Kemitraan Lingkungan menyampaikan terkait Kebijakan Pendampingan Perhutanan Sosial dalam PermenLHK No. 9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Direktur BAPENAS memaparkan Kebijakan dan Anggaran dalam mendukung Program Perhutanan Sosial dan perihal Evaluasi Pendamping PS tahun 2019 – 2021 diulas oleh Kepala BPSKL Wilayah Sumatera.

Pada sesi malam, pendamping terbaik berdasarkan rekomendasi Balai PSKL dan Dinas Kehutanan dari Propinsi Kepulauan Riau dan Propinsi Sumatera Barat berbagi cerita, dalam success story pendampingan perhutanan sosial di lokasi dampingannya. Dilanjutkan dengan diskusi tiga kelompok (kelola kelembagaan, kelola usaha dan kelola kawasan), sambil berkreasi membuat “Yel-yel” perhutanan sosial sebagai penyemangat antar kelompok.

Di hari kedua, kelompok menyampaikan hasil diskusi, dengan beberapa masukan untuk meningkatkan kinerja pendamping. Disampaikan permasalahan/kendala masing-masing kelola, usulan solusi dan saran tindak lanjut, sehingga dapat menjadi bahan evaluasi pendampingan ke depannya.

Pada sesi akhir forum, pendamping sepakat mendeklarasikan terbentuknya “Forum Komunikasi Pendamping Perhutanan Sosial Wilayah Sumatera”.

 

Salam sehat.

Kegiatan Pemberdayaan Mitra Perhutanan Sosial Bersama Bank Mandiri

Majalengka, 15 September 2021.

Direktorat Kemitraan Lingkungan,  melakukan pemberdayaa mitra perhutanan sosial guna mengupayakan pembinaan, pendampingan dan kerja sama kepada multi pihak. Acara ini dihadiri dan sekaligus dibuka oleh Direktur Kemitraan Lingkungan yang diwakili oleh Ibu Umi Rusyanawati.

Bank Mandiri merupakan mitra perhutanan sosial, sudah banyak membantu dan bekerja sama dalam meningkatkan kapasitas Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).  Bank Mandiri memberikan pembinaan/pendampingan sekaligus bantuan sarana dan prasarana  dalam bentuk pinjaman lunak berupa KUR. KUR dengan bunga rendah dan tanpa agunan hanya dengan syarat yang sangat ringan yaitu memiliki usaha minimal 6 (enam) bulan dengan tujuan usaha produktif.

Binaan Bank Mandiri di wilayah Kabupaten Majalengka sebagai penghasil komoditas utamanya adalah mangga, dengan memberikan dukungan yang bersifat sosial kepada 2 (dua) LMDH melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) yaitu :

  1. LMDH Rimba Raya Lestari dengan rincian :
  2. Pengadaan alat pembuat kripik
  3. Alat pemelihara tanaman mangga gincu
  4. Peningkatan sarana wisata gunung karang (Pembangunan Gazebo)
  5. LMDH Mekar Jaya dengan rincian :
  6. Alat pengolah mangga gedong gincu
  7. Alat pemeliharaan tanaman mangga gedong gincu
  8. Peningkatan sarana wisata gunung karang (Pembangunan Gazebo)
  9. Alat pemanen tanaman mangga gincu

Selain memberikan dukungan kepada 2 (dua) LMDH diatas, selama tiga hari dari tanggal 15 s/d 17 September 2021 Bank Mandiri bekerja sama dengan PT. Prima Kelola IPB mengadakan pelatihan budidaya dan pengolahan mangga.

Pelatihan kepada 6 (enam) LMDH di wilayah Kab. Majalengka, yaitu : LMDH Rimba Raya Lestari, LMDH Mekar Jaya, LMDH Batu Kompong, LMDH Situ Hiang, LMDH S ugih Mukti, LMDH Mekar Harapan.

Peserta berjumlah 40 orang petani dan materi yang diberikan berupa : overview budidaya mangga, teknis budidaya mangga, pasar dan pemasaran buah, praktek lapangan (on farm) dan praktek pengolahan berbasis buah mangga.