Kala Pohon Pala di Romang Tak Bisa Digoyang Lagi

Kami Akan Lawan PT  GBU Sampai Titik Darah Penghabisan

“Masyarakat hanya menggoyang batang pohon pala dan buahnya yang sudah tua akan jatuh. Kemudian di goyang lagi dan buahnya jatuh kembali. Tidak perlu memetik langsung di atas pohon,”ujar Oyang Orlando Petrusz, Tokoh masyarakat pulau Romang, Kecamatan Pulau-pulau Terselatan, Maluku Barat Daya, kepada saya saat kami berbincang soal eksplorasi tambang oleh PT Gemala Borneo Utama (GBU) di pulau tersebut. Dia menggambarkan kesuburan tanah Romang sebelum datang GBU dengan misi eksplorasi emas.

Catatan: Tajudin Buano-Ambon

Pulau Romang merupakan salah satu pulau di kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Pada tahun 2006, Maluku Barat Daya masih bergabung dengan kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB).Luas Pulau Romang hanya 175,49 Km2. Kalau dikonversikan menjadi 17.500 Ha. Sumberdaya alam Pulau Romang memang melimpah. Selain tumbuhan umur panjang seperti Pala hutan, Pala super dan Cengkeh, kawasan hutan Romang juga dijadikan lahan Kakao. Sementara hasil hutan yang paling dominan adalah kayu cendana. Kawasan lautnya, jugadihuni banyak organisme; Lola, Teripang dan Ikan berbagai jenis.

Kesuburan tanah seluruh Pulau di kabupaten Maluku Barat Daya ini di pengaruhi kondisi alam. Seperti Romang, Damer, Wetar dan Babar pulau memiliki kesuburan tanah, karena daerah-daerah memiliki titik basah atau curah hujan tinggi sehingga menyebabkan tanahnya subur. Khusus di Romang, waktu suburnya tanah, mulai dari Oktober, November hingga Desember.

Pala hutan di Pulau Romang, mempunyai buah berukuran besar dan berkualitas. Biasanya buah pala yang hanya dipungut dibawah pohon tersebut setelah itu dikeringkan. Baik bunga maupun isinya hargai Rp70 ribu sampai Rp80 ribu per kilogram.

“Tapi itu dulu. Sejak PT GBU masuk hutan 2006, tumbuhan-tumbuhan ini mulai terganggu kehidupannya. Memang masih ada, tapi kuantitas dan kualitas rendah,” kata Orlando, menceritakan tentang kehidupan masyarakat pulau Romang 9 tahun lalu, sebelum anak perusahaan Robust Resources Limited dari Australia itu masuk dan beroperasi di kawaan Hutan Hukum Adat pulau Romang.

Luas areal pertambangan PT GBU 2000 ha lebih. Izin pertama 2000 ha, kemudian bertambah menjadi 9000 ha. Ketika masuk lahan Eksplorasi mencapai 9000 ha, terjadilah kemarahan rakyat yang sudah memuncak. Jika dibandingkan dengan luas total pulau Romang 17.500 H, maka sudah lebih dari setengah pulau areal eksplorasi tambang PT GBU.

Selain itu, pengambilan sampel menggunakan bahan kimia seperti Mercuri dan lainnya untuk memecahkan batu dan menggali tanah (sumur). Residunya (ampasan) Mercuri bercampur dengan air. Air yang terkontaminasi dengan bahan kimia itu mengalir dari hutan masuk ke perkebunan rakyat mencemari tanaman. Juga pohon-pohon umur panjang.

“Dari sinilah timbul keresahan-keresahan kecil dari masyarakat. Tapi sepertinya tidak mendapatkan perhatian dari pihak perusahaan maupun pemerintah,” tutur Orlando, yang pernah dianiaya, karena melaporkan Bupati MBD Barnabas Orno ke Polda Maluku, 2012 silam.

Konflik di Pulau Romang terjadi ketika PT GBU mulai melakukan penelitian di 3 desa yakni Negri Jerusu, Hila dan Solad pada tahun 2006. PT GBU kemudian melakukaneksplorasi, setelah memperoleh izin dari Bupati MTB pada 2008. Setelah beroperasi selama 2 tahun, perizinan eksplorasi kembali diperpanjang pada 2009.

Puncaknyapada tahun 2012 bulan Juni. Rakyat membuat penolakan besar-besaran dengantuntutan PT GBU harus angkat kaki dari hutan dan tanah pulau Romang. Caranya adalah, rakyat datang beramai-ramai ke lokasi eksplorasi untuk merusak Gly Camp dan alat-alat berat milik PT GBU. Sebelumnya, penyampaian lisan dan tertulis ke camat dan bupati tapi tidak digubris.

Setelah perlawanan masyarakat sudah gencar dilakukan, PT GBU kemudian melakukan pendekatan dengan bupati untuk mengamankan eksplorasi yang masih sementara berjalan. Hubungan akrab bupati dan PT GBU inilah muncul dugaan dengan pemberian uang sebanyak Rp8 Milyar. Dana ini diberikan kepada pemerintah daerah dengan pesan kuat.

“Tetapi karena bupati merasa berkuasa, maka mau diberikan kepada siapa saja atau digunakan sesuai hematnya pemerintah daerah. Yang tidak benar adalah, dana hibah dari PT GBU itu tidak dimasukan dalam dokumen Anggaran Pendapatan Asli Daerah. Padahal dana ini datang dari pihak ketiga (perusahan),”protesnya. Kata dia, sumber pendapatan terdiri dari APBN berupa Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), APBD dan pendapatan lain-lain dari sumbangan pihak ketiga.

Dia melanjutkan,Berdasarkan informasi yang diperoleh, dana Rp8 Milyar tersebut digunakan untuk pembangunan di daerah lain, bukan Romang. Karena itu, pemuka perjuangan masyarakat adat Romang, melaporkan bupati ke Reskrimsus POlda Maluku. Mereka dipimpim Orlando sendiri.Tetapi kasus ini tidak pernah dikembangkan. Tidak ada penyelidikan baik polda.

Dikatakan, aktifitas pertambangan di Pulau Romang, dibatasi UU oleh nomor 27 tahun 2007 yang telah diubah dengan UU nomor 1 tahun 2014 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam UU ini disebutkan, pulau atau wilayah dengan luas kurang dari 20.000 (dua puluh ribu) hektar tidak bisa dilakukan penambangan apapun.

“Sedangkan luas Pulau Romang hanya 175,49 Km2. Kalau di konversikan menjadi 17.500 Ha. Berarti, secara otomatis UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ini membatasi proses eksplorasi dan eksploitasi pertambangan ini. Untuk itu, Komnas HAM akan merekomendasikan agar izin-izin eksplorasi PT GBU harus dicabut,” jelasnya, berdasarkan kesimpulan akhir Komnas HAM dari kegiatan Ikuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Dalam Kawasan Hutan, di Sabtu (1/11) di Ambon.

Harapan Baru

Kesimpulan Komnas HAM ini menjadi tonggak dan harapan baru dalam memperjuangkan hak masyarakat pulau Romang. Mereka meminta, jika sudah keputusan legal soal tidak berlakunya lagi izin, maka PT GBU harus ganti rugi atas segala kerusakan hutan, matinya tanaman umur panjang dan masalah lainnya.

Hadirnya PT GBU, bukan hanya merusak lingkungan dan alam Romang, tetapi juga melahirkan konflik antar sesama masyarakat Romang. Karena ada yang dimanjakan dan ada juga yang tidak dipedulikan. Yang di manjakan ini hanya kelompok masyarakat tertentu saja. Maka keharmonisan dan persaudaraan hilang.

“Dulu, sebelum perusahaan GBU masuk, masyarakat tidak pernah menggubris soal pemanfataan batu dan tanah di kebun atau di laut. Mereka memanfaatkannya secara bersama dalam suasana kekeluargaan dan kebersamaan untuk pondasi rumah. Sekarang sudah tidak bisa lagi. Semoga Komnas HAM konsisten memperjuangkan ini,”kilahnya.

Harapan baru juga muncul dari kalangan Mahasiswa dan Pemuda Romang yang selama ini berjuang mempertahankan tanah mereka. Sebuah gerakan lintas komponen telah dibentuk. Nama gerakan ini“Save Romang”. Gerakan ini lahir dari rasa prihatin atas perlawanan masyarakat terhadap PT GBU yang tidak membuahkan hasil, sejak 2006.

Ketua Mahasiswa Romang, Isack Knyairlay berharap, gerakan Save Romang mendapatkan dukungan secara kolektif dari masyarakat Maluku. Terutama dari kabupaten Maluku Barat Daya. “perjuangan ini akan kami galakan dalam skala besar dengan mengusung tema”Save Romang”. Kita juga mengharapkan dukungan, terutama dari masyarakat Romang sendiri dan masyarakat Maluku secara keseluruhan untuk gabung,”ucap Isack.

Menurut dia, status tanah di Pulau Romang sejak dulu adalah tanah adat dan sudah diakui. Karena sebelum negara ini merdeka, masyarakat Romang sudah menjaga hutan dan sumberdaya lainnya dengan pendekatan hukum adat. Kalau pemerintah pusat dan daerah berdalil bahwa masuknya perusahaan tambang untuk memberikan kesempatan pekerjaan, juga merupakan upaya mematikan tatanan dan hukum adat secara sistematis.

Selain itu, masyarakat adat yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan tingkat sekolah dasar dan menengah, tidak memiliki kemampuan melakukan pekerjaan eksplorasi maupun produksi tambang. Ini terbukti, warga Romang yang bekerja di PT GBU hanya dijadikan sebagai kuli dan dihargai rendah dari semua pegawai dan karyawan PT GBU. Padahal mereka adalah pemilik lahan.

“Biasanya mereka dihargai 50-60 ribu dan statusnya sebagai pekerja lepas. Kalau kita bandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) buruh kasar yang ditetapkan oleh pemerintah, itu sekitar 60-75 ribu per hari. Ini kan namanya diskriminasi,” tegas dia.

Januari 2015, Mahasiswa dan semua komponen masyarakat Romang menentukan sikap. Kalau PT GBU tidak menghentikan kegiatan eksplorasi dan meninggalkan Romang, masyarakat akan by pas dan menggunakan hukum alam. Kalau PT GBU bertahan maka terus melakukan kegiatan penambangan.

Upacara adat akan dilakukan untuk membangunkan roh moyang para leluhur untuk melawan PT GBU. Bukan saja PT GBU, tetapi pihak-pihak lain yang berada dibelakang atau selama ini membekingi PT GBU. Target perjuangan ini adalah, PT GBU harus keluar dari Romang dan mengganti rugi.

“Upacara adat dengan lebah madu dan buaya akan kita hidupkan semua untuk berurusan dengan mereka. Selain itu juga kita akan angkat parang untuk melawan,”kata Isack dengan nada marah.

“Kami tetap akan melawan PT GBU sampai titik darah penghabisan. Uang sebanyak apapun tidak pernah bisa menggantikan darah yang sudah tumpah atau membayar keresahan selama ini.,”tegas Orlando Petrus. (*)

 

Penulis, Tajudin Buano, AJI Maluku