Negeri Hukurila dan Hutumuri, Memiliki Penetapan Hutan Adat Pertama di Indonesia Timur

Baru saja bersama-sama dengan kelompok masyarakat negeri Hukurila dan Hutumuri, selesai mengikuti Pelatihan Hutan Adat yg dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan. Keterlibatan sebagai calon pendamping yang diminta oleh BPSKL Maluku dan Papua mungkin karena pengalaman pendampingan di Pulau Seram khususnya Desa Adm Siatele-Seram Utara.

Bersama masyarakat selama hampir 2,5 tahun dalam proses implementasi program Emas biru – Emas hijau yang digagas Letjen Doni Monardo, memberikan sebuah pelajaran baru tentang bagaimana melihat masalah dan bagaimana mencari jalan keluarnya.

Salah satu masalah adalah masyarakat sering tidak paham fungsi dan penetapan kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah. Ada pemanfaatan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab dan mengesampingkan peran masyarakat yang punya hak ulayat terhadap tanah mereka. Sementara di satu sisi Pemerintah Pusat sudah memberi kemudahan dengan penetapan pemanfaatan hutan.

Menghadiri diskusi dan mencoba menjadi jembatan informasi pusat, daerah dan desa, menghasilkan pembelajaran bagi masyarakat tanpa mengeluarkan biaya banyak. Kementerian LHK menetapkan kawasan hutan sosial seluas 2.800 Ha bagi Desa Adm Siatele. Kebahagian tersendiri bisa membantu kelompok mendapat bantuan untuk pengembangan hutan sosial mereka.

Sudah barang tentu proses ini tidak sekedar membalik telapak tangan. Apalagi untuk kawasan hutan adat. Karena salah satu yang dibutuhkan adalah PERDA dari daerah (yang dibuat para wakil rakyat) atau SK Bupati/walikota bagi negeri-negeri yang mengusulkan. Alhasil negeri seperti Nuane, Sabuai, Kailolo, Haruku belum bisa diproses karena belum ada PERDA atau dukungan SK Bupati.

Kota Ambon sudah ada PERDA dengan demikian, melincinkan jalan sehingga kedua negeri ini telah mengantongi SK Hutan Adat.

 

Elsina Elizabeth Lateheru (Pendamping Hutan Adat, Pegiat Lingkungan dan Kehutanan)